Opiniindonesia.com – 2024 gaya politik pencitraan bakal tak laku. Lantaran sampai kini ada traumatik dari masyarakat yang terlena, terpesona dan terpikat dengan gaya ini. Tapi buntutnya, justru kecewa yang dialami.
Selama ini, selain politik identitas dan politik dinasti, politik uang yang merajalela juga politik pencitraan sangat menonjol. Ada lagi model politik pencitraan contohnya makan nasi akin, masuk gorong-gorong, naik becak, makan di warteg sampai foto selfie bareng.
Tapi, saya nilai barangkali saat ini pemilih lebih rasional. Saya prediksi ini tak akan laris lagi pada Pilpres 2024.
Ada pula gaya merakyat tapi pada dasarnya bukan tipikal cinta dan peduli rakyat kecil.
Dengan pengalaman-pengalaman waktu lalu publik pun sudah lebih banyak pengalaman dari sang pemimpin.
Kekuasaan menjadi nomor 1 ketimbang kepedulian terhadap rakyat.
Antara political branding dan political imaging (politik pencitraan) korelasinya sangat erat.
Saya kira pemilih ke depan akan melihat action and contribution atau tindakan dan kontribusi dari para calon. Bukan hanya pencitraan semata.
Jadi gaya pura-pura merakyat tapi pada dasarnya tak cinta rakyat. Contoh UU Omnibus Law Ciptaker dimana para legislator yang terhormat cuek akan vox populi (suara rakyat).
Oknum-oknum anggota DPR bahkan capres hanya mau suara rakyat tapi sudah duduk politik lupa diri muncul. Pemasungan hak rakyat banyak terjadi.
Adalagi pura-pura hilang ingatan dan politik lupa diri banyak muncul. Banyak pemilih mulai membedakan mana pemimpin yang benar-benar cinta
rakyat arau hanya mau suaranya saja.
Media audio visual menjadi sasaran para calon jadi settingan. Pas lagi makan di warteg dan diambil gambar daan ditayangkan di Televisi. Tapi black campaign and money politics masih tetap merajalela.