Alih Status Pegawai KPK Menjadi ASN, Inikah Puncak Pelemahan KPK?

Avatar photo

- Pewarta

Selasa, 11 Agustus 2020 - 18:04 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pakar Hukum/Guru Besar Filsafat Pancasila Undip, Prof Dr Pierre Suteki SH MHum. (Foto : ileaderstv.com)

Pakar Hukum/Guru Besar Filsafat Pancasila Undip, Prof Dr Pierre Suteki SH MHum. (Foto : ileaderstv.com)

Opiniindonesia.com – Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang alih status pegawai KPK maka pegawai KPK sekarang adalah berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Pertanyaan besarnya adalah: “Inikah yang disebut tahap akhir pelemahan KPK setelah beberapa kewenangan KPK dipreteli dengan UU KPK terbaru yakni UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK?”. Bagaimana dampat peralihan status ini terhadap independensi kinerja pegawai KPK khususnya dan KPK pada umumnya? Berkelindan deretan pertanyaan yang membelit kebijakan alih status pegawai KPK ini.

Mengapa alih status pegawai ini dikatakan sebagai tahap akhir pelemahan KPK? Hal ini disebabkan menyangkut masalah independensi pegawainya. Melalui PP ini tampak sekali bahwa Presiden Jokowi patut diduga berkontribusi langsung terhadap pelemahan KPK ini. PP ini saya kira juga bukan PP yang “ujug-ujug”, semunya sudah by design mengingat keberadaan PP itu merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari Revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 menjadi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Di UU KPK yang baru diatur bahwa pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai Aparatur Sipil Negara (UU No. 5 Tahun 2014) dan secara lebih spesifik harus tunduk dengan PP No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sesuai dengan PP 53 Tahun 2010 ini maka ASN harus PATUH KEPADA PEMERINTAH. Mungkinkah dengan konsep itu pegawai ASN di KPK akan memiliki independensi sementara yang diperiksa dan diawasi adalah PEMERINTAH (EKSEKUTIF)?

Kita sadar betul bahwa untuk bisa memberantas korupsi secara optimal diperlukan lembaga antikorupsi yang independen sebagaimana termaktub dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan The Jakarta Principles yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Pada The Jakarta Principles disebutkan di bagian awal bahwa:

“On 26-27 November 2012, current and former heads of anti-corruption agencies (ACAs), anti-corruption practitioners and experts from around the world gathered in Jakarta at the invitation of the Corruption Eradication Commission (KPK) Indonesia, the United Nations Development Programme (UNDP) and the United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) to discuss a set of “Principles for Anti-Corruption Agencies” to promote and strengthen the independence and effectiveness of ACAs.”

Melalui UU KPK 19 Tahun 2019 dan PP No. 41 Tahun 2020 ini maka impian tentang status independen menjadi AMBYAR karena KPK telah masuk ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif. ASN mempunyai kedudukan yang sangat rentan terkait dengan rezim yang tengah berkuasa. Kedudukannya pasti tidak akan independen ketika ASN masuk ke jaringan kekuasaan eksekutif, sementara tugas dan wewenangnya lebih condong pada kekuasaan pengawasan hingga yudisial. Lalu, di mana prinsip pembagian kekuasaan di negara demokrasi yang menganut trias politica ini?

Coba kita tengok rentannya pegawai KPK jika beralih status menjadi ASN KPK sebagai mana rentannya menjadi ASN yang umum berada di kekuasaan eksekutif. Ketika menjadi bagian eksekutif, maka ASN KPK pun akan terancam nalar kritisnya. Saya kira kita tidak lupa dengan penerbitan SKB 11 dan Portal Aduan ASN. Jadi, intinya, SKB 11 itu sangat MENGANCAM NASIB ASN KRITIS dan BERANI membela KEBENARAN DAN KEADILAN.

SKB ini berpotensi melakukan CHARACTER ASSASINATION (pembunuhan karakter) terhadap ASN KRITIS. Labelling RADIKAL akan terus disematkan kepada ASN kritis sehingga berpotensi menghancurkan bangunan hukum dan konsep HAM yang diperjuangkan dalam konstitusi dan UU yang ada.

Mungkin pembaca masih ingat pula adanya penyematan KELOMPOK TALIBAN di tubuh penyidik KPK lantaran mereka radikal amelioratif. Mereka kritis dan berani. Namun seolah terkesan adanya upaya merepresi ASN KRITIS dengan cara memunculkan HANTU RADIKALISME. Langkah itu adalah kebijakan keliru karena KONTRA PRODUKTIF terhadap penanganan radikalisme. Bukankah pemerintah lebih baik meningkatkan kualitas SDM ASN serta memastikan kesejahteraan dan keadilan mereka?

Pemimpin negeri ini seharusnya menjadikan ASN sebagai mitra. Dan mengarahkannya memiliki “sense of belonging” (rasa handarbeni) terhadap institusinya tanpa harus “menebar teror” dengan cara menakut-nakuti ASN dengan segudang LARANGAN yang terkesan hendak MEMBERANGUS KEKRITISAN ASN.

Government Autocritic itu juga penting. Dan harus diingat bahwa ASN itu singkatan dari APARATUR SIPIL NEGARA bukan APARATUR SIPIL PEMERINTAH (ASP). Negaralah yang “menggaji” ASN dengan UANG RAKYAT dan bahkan semua pejabat pemerintah pun juga “digaji” oleh negara, bukan oleh pemerintah itu sendiri.

Rilisbisnis.com mendukung program publikasi press release di media khusus ekonomi & bisnis untuk memulihankan citra yang kurang baik ataupun untuk meningkatan reputasi para pebisnis/entrepreneur, korporasi, institusi ataupun merek/brand produk.

Lalu, pantaskah bila ada ASN KRITIS lalu dihukum, dipersekusi bahkan selalu diancam dengan PEMECATAN? Ini +62 ataukah Korea Utara? Dan mungkinkah dengan keadaan seperti ini ASN KPK dapat bekerja secara independen tanpa rasa takut untuk dipecat, dinyatakan radikal dan sematan-sematan buruk lainnya karena tekadnya untuk membela kebenaran dan keadilan yang boleh jadi mengancam beberapa pihak dari rezim yang berkuasa. Bukankah keadaan ini akan semakin memperlemah posisi KPK yang seharusnya independen dalam upaya negara untuk memberantas korupsi di Indonesia? Ataukah memang itu “hidden agenda” alih status pegawai KPK menjadi ASN? Jadi, lebih baik dibatalkan segala upaya pelemahan KPK khususnya melalui alih status pegawai KPK menjadi ASN yang lebih berwarna sebagai Aparatur Sipil Pemerintah (ASP).

Oleh : Prof Dr Pierre Suteki SH MHum, Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru

Foto : PROPAMI Care salurkan bantuan untuk panti asuhan di Bekasi. Komitmen wujudkan masyarakat sehat, peduli, dan tangguh. (18/5/25) (Doc.Ist)

Megapolitan

Dukungan Emosional dan Logistik PROPAMI Care Ringankan Beban Panti

Senin, 19 Mei 2025 - 16:15 WIB