Dongeng dan Hoaks Rp 7.000 Triliun

Avatar photo

- Pewarta

Rabu, 19 Desember 2018 - 12:54 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

BEBERAPA WAKTU lalu beredar meme hoax bernada heroik bahwa Presiden Jokowi oleh lawan-lawan politiknya tidak akan dibiarkan terpilih kembali karena ia berniat memulangkan Rp7000 triliun uang korupsi WNI yang kini disimpan di Swiss. Itu adalah hoax paling lucu sekaligus paling menyedihkan yang pernah lewat di timeline saya.

Mereka yang dulu intens mengikuti pembahasan RUU Tax Amnesty pasti langsung tertawa ngakak. Salah satu alasan kenapa dulu orang menolak tax amnesty adalah undang-undang tersebut akan digunakan sebagai alat pemutihan asset sebelum negara-negara anggota G-20 dan OECD memberlakukan Common Reporting Standard (CRS) yang mulai berlaku pada 2018 ini.

https://opiniindonesia.com/2018/12/11/membangun-tanpa-utang-contoh-buat-sandi-dan-sri/

Seperti kita ketahui, pada Februari 2014 anggota G-20 dan OECD sebenarnya telah menyetujui Common Reporting Standard (CRS) sebagai instrumen pertukaran informasi perbankan secara otomatis. Terdapat 56 negara berkomitmen untuk melaksanakan pertukaran informasi itu pada 2017, dan 40 negara lainnya, termasuk Indonesia, pada tahun 2018 ini. Informasi yang dipertukarkan ini sebenarnya merupakan instrumen efektif bagi pemerintah untuk mengejar kewajiban pajak warganya yang menyembunyikan hartanya di luar negeri.

Dulu orang menolak tax amnesty karena Indonesia sebenarnya bisa menarik potensi pendapatan sepuluh kali lipat lebih besar daripada potensi pendapatan hasil Tax Amnesty jika mau menunggu implementasi AEOI/CRS yang efektif tahun 2018 ini, meskipun pendapatannya baru bisa dinikmati pada 2019 nanti. Tapi pilihan ini tidak diambil oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mereka menolak menunggu berlakunya perjanjian AEOI/CRS dan lebih memilih menggulirkan RUU Tax Amnesty.

Latar belakang munculnya gagasan Tax Amnesty sejak awal memang patut dicurigai bukan untuk menambah pendapatan negara, sebagaimana yang sering diutarakan Pemerintah, melainkan untuk “memutihkan” pelanggaran hukum dan kejahatan ekonomi yang pernah terjadi di masa lalu. Melalui tax amnesty, para pengemplang pajak dan konglomerat hitam yang menyembunyikan hartanya di luar negeri hanya akan dikenai tebusan antara 2% hingga 6% saja.

Jadi, tax amnesty yang penuh diskon itu memang pantas dicurigai sebagai bentuk fait accompli atas usaha penegakan hukum mengikuti perjanjian AEOI/CRS tadi, karena di atas kertas tax amnesty lebih menguntungkan para pengemplang pajak daripada keuangan negara. Sehingga, dalam perspektif CRS, alih-alih meningkatkan penerimaan negara, tax amnesty sebenarnya malah telah mengurangi potensi penerimaan negara.

Apalagi Presiden Jokowi kemudian memutuskan bahwa para koruptor juga bisa menggunakan fasilitas tax amnesty. Padahal, saat awal digulirkan, kasus korupsi, human traficking, narkoba, dan terorisme, dikecualikan dari fasilitas tax amnesty.

Anda masih ingat berapa hasil tax amnesty?!

Ya, penerimaan negara dari program tax amnesty “hanya” mencapai Rp135 triliun. Jumlah ini terdiri dari uang tebusan Rp114 triliun, pembayaran bukti permulaan Rp1,75 triliun, dan pembayaran tunggakan Rp18,6 triliun. Hasil ini jauh dari klaim ribuan triliun yang semula digembar-gemborkan.

Jadi, jika belakangan ini beredar meme soal uang ribuan triliun di luar negeri yang ingin dikembalikan oleh pemerintahan Jokowi, maka ingat-ingatlah kembali UU Tax Amnesty. Ingat-ingatlah alasan kenapa pemerintahan sekarang ini menolak menunggu implementasi AEOI/CRS. Mereka sejak awal tak pernah punya komitmen untuk mengurus hal-hal tadi.

Rilisbisnis.com mendukung program publikasi press release di media khusus ekonomi & bisnis untuk memulihankan citra yang kurang baik ataupun untuk meningkatan reputasi para pebisnis/entrepreneur, korporasi, institusi ataupun merek/brand produk.

[Oleh :Tarli Nugroho, Penulis Buku Polemik Ekonomi Pancasila]

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru