Opiniindonesia.com – Pada Senin (22/6/2020), bertempat di Jakarta, sejumlah elemen yang tergabung dalam ALIANSI NASIONAL ANTI KOMUNIS (ANAK NKRI) mengeluarkan Pernyataan Bersama. Dari 8 (delapan) poin Pernyataan Bersama, dimana selain menolak RUU HIP dan meminta RUU HIP dibatalkan, didalam pernyataan juga terdapat 3 (tiga) tuntutan penting, yaitu :
Pertama, Aliansi mendesak aparat penegak hukum untuk menegakkan dan melaksanakan UU nomor 27/1999 tentang Perubahan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, khususnya pasal 107a, 107b,107c, 107d, dan 107e terhadap oknum-oknum pelaku makar terhadap Pancasila.
Kedua, Aliansi mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa dan memutuskan permohonaan pembubaran parpol dan sekaligus membatalkan ketentuan hanya pemerintah yang boleh membatalkan partai politik yang menjadi inisiator dan konseptor RUU HIP karena terbukti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan; dan atau melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI.
Baca : Wacana dan Silang Pendapat Seputar RUU Haluan Ideologi Pancasila
Ketiga, Aliansi mendesak DPR agar sesuai undang undang 45 mendorong MK dan MPR segera menggelar Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Joko Widodo apabila memberi peluang atau akan mengubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila serta membangun kerja sama dengan Partai Komunis China.
Baca Juga:
Dukungan Emosional dan Logistik PROPAMI Care Ringankan Beban Panti
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
Mengenai tuntutan Pemakzulan (pemberhentian) terhadap Presiden Jokowi, jika dikaitkan dengan RUU HIP, maka harus ada hubungan kausalitas antara Presiden selaku pemegang kekuasaan Eksekutif dengan DPR selaku pemegang kekuasaan legislatif, dalam membuat dan merancang konsep RUU HIP.
Apabila Eksekutif (Presiden) terlibat dalam membuat konsep RUU HIP, maka Eksekutif terlibat dan dapat dimintai pertanggungjawaban hukum dan politik, sampai pada tingkat Pemakzulan Presiden, karena RUU HIP telah secara nyata memuat norma yang mengganti ideologi Negara, menjadi Trisila bahkan menjadi Ekasila.
Untuk melihat ada tidaknya keterlibatan Presiden, bukan dilihat dari pernyataan Presiden. Kaidah ini berlaku juga bagi DPR. Terlibat atau tidaknya PDIP, tidak bisa diukur dari pernyataan PDIP.
Semua dikembalikan pada norma yang ada dalam RUU HIP. Apakah norma tersebut mengatur sejumlah kewenangan Presiden, sehingga presiden memiliki kepentingan dan sudah pasti wajib terlibat dalam membahas RUU bahkan sejak membuat konsepsi RUU HIP. Baik melalui kelembagaan Presiden secara langsung, maupun melalui lembaga dibawah kendali Presiden.
Baca Juga:
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Mengenai ada tidaknya kepentingan Presiden dalam RUU HIP, hal ini sangat terlihat jelas pada norma pasal yang memberikan kewenangan penuh kepada Presiden selaku pemegang kekuasaan dalam Pembinaan
Haluan Ideologi Pancasila.
Dalam Pasal 44RUU HIP, disebutkan :
(1) Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila.
(2) Dalam menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden membentuk suatu badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan Ideologi Pancasila.
Baca Juga:
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
(3) Badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan Ideologi Pancasila sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Belum lagi, sejumlah pasal telah memberikan wewenang penuh kepada Presiden (eksekutif) untuk membentuk peraturan pelaksanaan baik melalui Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden.
Misalnya saja, dalam ketentuan Pasal 42ditegaskan bahwa Tata cara pembangunan budaya Pancasila sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 huruf e diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Atau didalam Pasal 36mengenai Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, organisasi dan tata kerja kementerian/badan yang menyelenggarakan urusan riset dan inovasi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 diatur dengan Peraturan Presiden.
Artinya, Presiden berkepentingan langsung dengan RUU HIP karena dalam tataran konsepsi Presiden mendapat mandat selaku pemegang kekuasaan dalam Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila. Adapun dalam tata laksana kebijakan, Presiden diamanatkan dalam RUU HIP sebagai pihak yang membentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden untuk menjabarkan RUU HIP dalam tataran pelaksanaan.
Keterlibatan Presiden dalam pembahasan RUU HIP, meski tidak langsung juga bisa mendelegasikan melalui organ dibawah eksekutif. Dalam hal ini, BPIP jelas dibawah kekuasaan Presiden dan pihak yang dilibatkan dalam proses membuat RUU HIP, kerena RUU ini juga akan menguatkan legal standing BPIP yang sebelumnya hanya berdasarkan Pepres menjadi berdasarkan UU.
Karena itu, pernyataan Presiden Jokowi yang mengaku tidak tahu menahu, menyatakan RUU HIP murni inisiatif DPR, kemudian menyatakan menunda dengan tidak mengirimkan Surat Presiden (Supres), adalah pernyataan yang tidak bernilai. Sebab, dalam norma pasal yang diatur melalui RUU HIP tegas melibatkan kepentingan Presiden selaku pemegang kekuasaan Eksekutif, baik sebagai pembina BPIP maupun pihak yang mengeluarkan aturan pelaksanaan melalui PP dan Pepres.
Kembali kepada RUU HIP yang tegas memuat norma mengganti ideologi Negara Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila dengan substansi “Gotong Royong” yang bernafaskan Komunisme, sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 RUU HIP, pertanggungjawaban atas adanya penyelewengan ideologi Negara ini tidak dapat dibebankan sepihak kepada DPR atau Parpol dan individu Anggota Parpol, tetapi juga pertanggungjawaban tanggung renteng, pertanggungjawaban bersama DPR dan Presiden selaku pemegang kekuasaan Eksekutif.
Dengan demikian, jika ada tuntutan Partai Politik yang terlibat dalam merumuskan RUU HIP dibubarkan, individu Konseptor RUU HIP dipidanakan, maka sangat beralasan jika ada tuntutan agar Presiden juga dimakzulkan.
Terlibat dalam mengubah Pancasila sebagai ideologi Negara menjadi Trisila dan Ekasila adalah kejahatan terhadap Konstitusi Negara, dan karenanya seorang presiden bisa dimakzulkan karena terlibat merongrong idelogi Negara.
Belum lagi, semasa kepemimpinan Jokowi, presiden melakukan kerjasama dengan menerima kunjungan Partai Komunis China. Padahal, ideologi Komunisme jelas Terlarang berdasarkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.
Karenanya, secara konstitusi tuntutan agar DPR, MPR dan MK mengaktifkan pasal Pasal 7A, 7B, dan 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) tentang Pemakzulan Presiden, adalah tuntutan yang sangat beralasan dan Konstitusional. Mari segenap rakyat turut mengawal, agar DPR, MPR dan MK menegakkan Konstitusi dengan mengaktifkan pasal Pemakzulan terhadap Presiden.
Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H. Advokat, Anggota Hizbut Tahrir.