Soal Pesangon UU Cipta Kerja, Apa yang Menjadi Masalahnya?

Avatar photo

- Pewarta

Jumat, 9 Oktober 2020 - 11:00 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pengamat Bahasa & Dosen Unindra, Syarifudin Yunus. (Foto : Istimewa)

Pengamat Bahasa & Dosen Unindra, Syarifudin Yunus. (Foto : Istimewa)

Opiniindonesia.com – RUU Cipta Kerja telah diketok palu jadi UU di rapat paripurna DPR, 5 Oktober lalu. Sekalipun terkesan “kejar tayang” dan terbilang kilat, UU Cipta Kerja adalah sebuah realitas.

Karena pemerintah menganggap regulasi ini dapat memacu peningkatan investasi di Indonesia dan mampu mengatrol pertumbuhan ekonomi nasional.

Bahkan dianggap dapat menciptakan peluang kerja lebih banyak terutama di masa pandemi Covid-19. Tentu, semua itu harus ditunggu buktinya

Salah satu butir menarik yang patut disoroti adalah soal pesangon pekerja. Bagian dari klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja. Kalangan pekerja atau buruh merasa keberatan. Demonstrasi pun tidak bisa dihindari.

Ada yang menganggap pasal pesangon dihilangkan. Ada pula isu PHK (pemutusan hubungan kerja) dapat dilakukan secara sepihak dan tidak ada pesangon. Maka beredar hoaks seputar UU Cipta Kerja pada klaster ketenagakerjaan, terkhusus soal pesangon.

Lalu apa masalahnya dengan soal pesangon di UU Cipta Kerja? Selain untuk meluruskan isu yang beredar, mungkin publik maupun pekerja perlu tahu dengan gamblang soal pesangon di UU Cipta Kerja yang baru disahkan.

Secara prinsip tidak ada perubahan yang signifikan soal pesangon. UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dengan tegas di Pasal 156 menyatakan

ayat (1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Maka ketentuannya adalah: a) uang pesangon (UP) maksimal 9 kali upah, tergantung masa kerja

(ayat 2), b) uang penghargaan masa kerja (UPMK) maksimal 10 kali upah, tergantung masa kerja

(ayat 3), dan c) uang penggantian hak (UPH) seperti cuti tahunan tetap berlaku

(ayat 4). Kecuali uang penggantian hak kesehatan dan perumahan dengan faktor 15% upah dihapus karena dianggap sudah ter-cover dari BPJS Kesehatan dan Tapera.

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru