Opiniindonesia.com – Berapa thn yll saya pernah mengatakan bhw kita belum memerlukan atau belum siap utk ber-Mahkamah Konstitusi (MK). Mengapa? Karena, waktu itu saya khawatir bhw, politik akan mengintai MK. Manalagi putusan MK berlabel “final dan mengikat”.
Dg kondisi masyarakat kita spt dulu dan bahkan skrg ini, apakah label tsb tdk berbahaya? Pastinya. Klo putusannya benar dan meyakinkan, itu sih no problem. Tp akan menjadi bermasalah kalau putusannya bersifat contaminated politically. Kalau putusannya spt itu, apa mau tetap bersifat “final dan mengikat” juga? Bagi banyak ahli hukum putusan tsb mmg hrs tetap bersifat “final dan mengikat”.
Sederhana saja, karena putusan itu sdh menjadi hukum. “Tegakkan hukum, wlp langit akan runtuh”. Begitulah prinsipnya. Tp kalau masalahnya dilihat dg kacamata politik, apakah putusan yg salah itu hrs tetap terus dipertahankan sbg bersifat “final dan mengikat”? Tentunya, tidak. Yg salah hrs dikoreksi! Maka prinsip yg dipegang pun hrs berubah dari “tegakkan hukum” menjadi “tegakkan kebenaran sekalipun langit akan runtuh”! Sebab, kalau kebenaran tidak ditegakkan, maka kehidupan masyarakat akan dipenuhi oleh rasa kecewa dan frustrasi, yg akan berujung pada timbulnya destabilisasi politik.
Itulah yg dialami Indonesia pasca putusan MK utk mensahkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin dlm Pilpres 2019. Putusan MK ini tetap dianggap absah olh banyak pakar hukum, dg berbagai dalih, pd saat Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan yg berimplikasi “korektif” thd putusan MK itu.
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Apa benar putusan hukum yg berjalan tdk bisa dikoreksi? Saya berpendapat, boleh dan hrs bisa dikoreksi. Sebab, hal yg salah memang hrs dikoreksi, demi tegaknya kebenaran dan utk mencegah berulangnya lagi kesalahan yg sama di masa depan. Kalau tidak begitu, maka nnt kita tidak akan punya pegangan, mana yg benar mana yg salah. Karena itu sifat “final dan mengikat” tidak selayaknya diberikan kpd lembaga yg tidak mampu menjamin tegaknya kebenaran.
Oleh : Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, Dosen Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 1968- 2007