Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah Itu Apa? Bagaimana Caranya?

Avatar photo

- Pewarta

Senin, 31 Agustus 2020 - 16:34 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bendera Khilafah (Foto : mediaumat.news)

Bendera Khilafah (Foto : mediaumat.news)

Opiniindonesia.com – Dalam diskusi mengenai disuatu grup WhatsApp, ada teman yang bertanya dan berkeinginan untuk menjadikan khilafah berdasarkan khilafah yang Menempuh Jejak Nabi atau Khilafah ‘ala Minhajin Nunuwwah.

Untuk menjawabnya, berikut dibawah ini dapat dijawab dengan argument yang dirangkum dan diambil dari beberapa literatur yang sangat dekat denga pengertian Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah ini.

Hingga saat ini masih banyak kelompok umat Islam yang gigih memperjuangkan khilafah yang sesuai dengan kehendaknya saja. Ini menunjukkan kesalahapahaman dalam menerjemahkan bentuk negara dalam Islam.

Khilafah yang diperjuangkan oleh ISIS berupaya membentuk kekhilafahan di Irak dan Suriah, islamic state atau negara Islam menjadi tujuan utama perjuangan mereka. Namun, kondisi nyata di mana mereka melakukan kekerasan, teror, dan pembunuhan dalam memperjuangkan khilafah menjadi tanda tanya besar yang justru hal ini menjadikan khilafah menjadi nomeklatur atau kata yang menakutkan dan menyeramkan, yang selanjutnya dipakai oleh musuh islam untuk mendegradasikan arti khilafah itu sendiri.

Mereka mendasarkan diri pada hadits Nabi Muhammad SAW dengan keyakinan bahwa khilafah bakal terlahir kembali hanya dibaca secara tekstual, leterlek saja. Termasuk beberapa hadits yang dipakai seperti kalimat khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khilafah yang menempuh jejak kenabian) dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Kenyataannya Hadits yang menjelaskan potongan kalimat tersebut masih diperdebatkan statusnya. Ada yang mengatakan shahih, hasan, dan dhaif (lemah).

Berikut bunyi terjemahan hadits dimaksud :

“Adalah masa kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa khilafah yang menempuh jejak kenabian (khilafah ‘ala minhajin nubuwwah) adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa kerajaan yang menggigit (Mulkan Adhdhon) adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia mengehendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa kerajaan yang menyombong (Mulkan Jabariyah) adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa khilafah yang menempuh jejak kenabian. Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR Imam Ahmad)

Khamami Zada dalam Meluruskan Pemahaman Keagamaan Kaum Jihadis (2018) menjelaskan bahwa terlepas dari perbedaan para ahli hadits tentang status hadits di atas, khilafah ‘ala minhajin nubuwwah tidak dapat diartikan secara leterlek atau apa adanya, bahwa akan muncul khilafah yang sesuai dengan manhaj kenabian. Akan tetapi, khilafah di sini ialah salah satu bentuk negara yang dipraktikkan oleh umat Islam, baik bentuknya imamah, imarah, maupun mamlakah (kerajaan) dan syura (republik).

Dapatlah dipahami disini bahwa makna khilafah bukan dalam artian mendirikan negara Islam atau daulah Islamiyah. Ia lebih pada arti sistem pemerintahan. Jika sebuah sistem pemerintahan dapat membawa rakyat pada kondisi aman, adil, makmur, dan sejahtera, maka itulah sesungguhnya penerapan khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.

Karena sistem pemerintahan yang menempuh jejak kenabian ialah berdasarkan kebersamaan dan keadilan bagi semua bangsa dalam perjanjian dan kesepakatan yang termaktub dalam 47 pasal Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama. Mitsaq al-Madinah menjadi bukti otentik dalam sejarah peradaban Islam bahwa negara pertama yang didirikan Nabi Muhammad SAW ialah negara Madinah, negara kesepakatan atau perjanjian (Darul Mitsaq), bukan negara Islam, bukan daulah Islamiyah atau khilafah dalam pandangan kelompok ISIS.

Dengan demikian, tidak otomatis khilafah ISIS adalah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Karena justru yang dilakukan kelompok ISIS mencederai nilai-nilai ajaran Islam yang menjunjung tinggi kasih sayang terhadap sesama. Mereka mengangkat senjata, menumpahkan darah, dan tidak segan-segan membantai kelompok mana pun yang berbeda pandangan serta tidak mengikuti daulah yang ingin didirikannya.

Rilisbisnis.com mendukung program publikasi press release di media khusus ekonomi & bisnis untuk memulihankan citra yang kurang baik ataupun untuk meningkatan reputasi para pebisnis/entrepreneur, korporasi, institusi ataupun merek/brand produk.

Dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), layaknya Piagam Madinah, Pancasila merupakan konsensus kebangsaan yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia.

Para pendiri bangsa di antaranya terdiri dari para ulama dan aktivis Islam. Mereka sangat paham agama dan fiqih siyasah sehingga negara berdasarkan Pancasila tidak menyalahi syariat Islam. Justru syariat dan nilai-nilai Islam menjadi jiwa bagi Pancasila. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial merupakan nilai-nilai universal Islam yang terkandung dalam Pancasila.

Jika khilafah ‘ala minhajin nubuwwah diterjemahkan sebagai sistem pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian, Indonesia merupakan negara yang mempraktikkannya. Ukurannya bisa dilihat bahwa Nabi Muhammad mendirikan negara kesepakatan (Darul Mitsaq) bersama umat beragama, suku, dan kabilah-kabilah di Madinah berdasarkan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Serupa, Indonesia juga mempunyai konsensus kebangsaan atau kesepakatan seluruh bangsa yang mendiami tanah air Republik Indonesia berupa Pancasila. Seluruh bangsa yang ada di dalamnya, tak terkecuali, dilindungi oleh negara selama mereka tidak melanggar kesepakatan dan tidak melanggar hukum yang berlaku secara norma, etika, dan legal.

Terlihat jelas disini bahwa Ulama dan Cendikia Muslim Indonesia sebagai pendiri bangsa, telah mengambil inspirasi dari praktik pendirian negara Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Disinilah Beliau telah memberi semacam pertimbangan kepada umat Islam bagaimana membangun sistem pemerintahan Islami berdasarkan kesepakatan bersama warga bangsa. Kendati demikian, Islam tetap menjiwai praktik kepemimpinan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW kala itu.

Dengan viralnya film dokumenter “Jejak Khilafa Di Nusantara (JKDN)” menjadikan Khilafah kembali di perbincangkan dan menjadi diskursus dalam mendefinisikan apa yang dimaksud Khilafah tersebut.

Semoga saja kita menjadi lebih paham dan akhirnya ummat islam khususnya dan masyarakat lainnya dapat menerima khilafah sebagai suatu bagian dari sistem ketatanegaraan yang selama ini telah lama kita pelajari, seperti; Kerjaan, presidensial, parlementer, demokrasi, dan lainnya, dan akhirnya kata atau nomenklatur “Khilafah” ini bukan lagi sebuah kata yang menakutkan dan menyeramkan seperti yang di dengung2kan orang yang belum paham dan mengaku2 sebagai pembela pancasila tanpa paham apa arti Khilafah itu sesungguhnya.

Oleh : H.G. Sutan Adil, Ketua DPP FKMI (Forum Komunikasi Muslim Indonesia).

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru