Opiniindonesia.com – Waktu mau bikin ibukota di Palangkaraya, Sukarno libatkan IPB teliti pasir di Kalteng yang ternyata rawan dipakai untuk membangun gedung-gedung.
Rencana pindah ibu kota batal karena isu ini ternyata digunakan Sukarno untuk merespon infiltran Malaysia, boneka Neokolim Inggris, yang mau kuasai penuh Borneo.
Sedang Semaun, ketua umum pertama PKI yang membisikkan pindah ibukota, punya kepentingan sendiri buat penetrasi komunisme.
Isu ibukota baru juga dipakai Sukarno untuk menghilangkan sentralisme Jawa yang menimbulkan ketidakpuasan & pergolakan di beberapa daerah seperti PRRI/Permesta.
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Sukarno dua kali ke Palangkaraya, 1957 & 1959.
Waktu pertama datang pukul dua malam langsung meditasi di tepi sungai Kahayan.
Disambut sebagai pahlawan besar.
Dalam upacara adat, rakyat yang hadir berkata dalam bahasa Dayak:
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
“Selama darah kami masih merah, kami tidak mau dijajah … ”.
Rakyat berebut salaman.
Mesin mobil diminta dimatikan.
Saking cinta, mobil Sukarno ditarik dan didorong rakyat rame-rame sampai ke lokasi yang jaraknya tiga kilometer.
Batal memindahkan IKN (Ibu Kota Negara) adalah hal lumrah. Terlebih di masa sulit. Di musim banyak rakyat jatuh melarat seperti hari ini, akibat Covid-19 dan perekonomian nasional yang ngeblangsak, yang menteri keuangannya seakan ngumpet di kolong meja.
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
Soeharto nggak jadi pindahin ibukota ke Jonggol.
Dulu Raffles pernah mau geser pusat pemerintahan ke Semarang. Daendels ke Surabaya. Semua batal karena urusan geoekonomi waktu itu.
Sukarno sendiri sebenarnya tau tidak ada uang buat mindahin ibukota, karena tahun-tahun itu perekonomian rakyat sangat sulit, dan banyak rentetan event politik & kenegaraan yang dia bikin, sebagai mercusuar negara yang baru merdeka dan promosikan Indonesia ke luar negeri.
Mulai dari sulitnya bahan bangunan, proyek Asian Games (1962), Ganefo/Canefo (1963), Konferensi Wartawan Asia Afrika (1963), dst.
Intinya butuh biaya besar untuk infrastruktur.
Pada 1956 itu pula Sukarno mengeluarkan Dekrit kembali ke UUD 1945. Di pasal 2 ayat 2 UUD disebutkan:
“Majelis Permusyawaratan Rakyat Bersidang Sedikitnya Sekali Dalam Lima Tahun Di Ibu Kota Negara”.
Inilah antara lain yang memperjelas pembatalan pindah ke Palangkaraya.
Ekonom pro rakyat Dr Rizal Ramli sejalan dengan Sukarno.
Menurutnya dalam ekonomi sulit seperti ini harus ada prioritas. Pindah ibukota jelas bukan prioritas, melainkan ada yang lebih penting, yaitu memenuhi kebutuhan masyarakat.
Jauh sebelum tiba virus Corona dari negeri China komunis, Rizal Ramli sudah menyampaikan peringatan ini. Apalagi waktu itu kondisi perekonomian nasional sudah memburuk.
Studi pembangunan IKN menelan banyak biaya. Selain itu yang mengerjakan bukan orang Indonesia, melainkan sebuah lembaga yang menurutnya berkelas amatiran.
“Studinya Rp 75 miliar. Amatiran. Asal-asalan. Mereka semua orang asing,” kata Rizal. Berkaitan dengan hal ini Rizal Ramli juga mempertanyakan peran Bappenas, yang tidak jelas. Mestinya total biaya yang sangat besar IKN dialihkan untuk penuntasan Covid-19 dan memompa perekonomian nasional.
Parahnya lagi, belakangan ini media massa memberitakan lokasi IKN tersebut rawan terjangan tsunami dengan tinggi gelombang yang sangat dahsyat.
Oleh : Arief Gunawan, Wartawan Senior Indonesia.