Pembuat RUU Minim Sense of Crisis, Perlukah BPIP & RUU BPIP?

Avatar photo

- Pewarta

Senin, 20 Juli 2020 - 11:36 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ketua DPR RI, Puan Maharani. (Foto : Instagram @puanmaharaniri)

Ketua DPR RI, Puan Maharani. (Foto : Instagram @puanmaharaniri)

Opiniindonesia.com – Ada fakta yang menarik dari jumpa pers antara Pemerintah dengan DPR pada hari Kamis, 16 Juli 2020 tersebut, yakni selain adanya pernyataan sikap Pemerintah yang sama dengan aspirasi masyarakat–diterjemahkan: menolak—-terkait dengan RUU HIP, ternyata Pemerintah juga menyampaikan berkas RUU BPIP. Lha kok bisa, orang Jawa menyebut “ujug-ujug” ada berkas usulan RUU BPIP? Mengapa minim sekali sense of crisis para pembuat UU ini?

Ketua DPR Puan Maharani dalam konferensi pers menjelaskan, RUU BPIP berbeda dengan RUU HIP yang selama ini memicu gelombang protes dari masyarakat. Ia berjanji tidak akan memasukkan pasal-pasal kontroversial dalam draf RUU tersebut. RUU BPIP hanya memuat ketentuan tentan tugas, fungsi, wewenang, dan struktur BPIP.

Pertanyaannya, apakah demikian mudah rezim legislator mencabut dan mengganti RUU di luar Prolegnas yang sudah ditetapkan, lalu apa fungsi prolegnas jika sangat cair konsistensi pelaksanaannya? Bagaimana efektivitas Pasal 23 UU No. 15 Tahun 2019 terkait syarat rigid RUU yang diajukan di luar Prolegnas?

Miskinnya sense of crisis rezim legislator semakin dibuktikan adanya hasil Rapat Paripurna DPR Kamis, 16 Juli 2020. CNN Indonesia, Jakarta ( 16/7/2020 ) mewartakan bahwa Rapat Paripurna DPR RI resmi mengesahkan sebanyak 37 rancangan undang-undang yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 hasil evaluasi.

Salah satu di antara 37 RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 itu ialah RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Rezim legislator ini menurut saya memang sudah keterlaluan perilakunya. Protes MUI, ratusan ormas dan seluruh elemen masyarakat Indonesia tampaknya tidak digubris.

Kebijakan Pemerintah mengajukan ganti RUU HIP dengan RUU BPIP harus pula dinilai sebagai bentuk “pelecehan” atau setidaknya pengabaian terhadap rakyat yang menuntut agar episentrum kegaduhan ideologi politik, yaitu BPIP dibubarkan. Atas fakta-fakta menohok ini, masihkah umat Islam dan rakyat ini merasa “punya muka”? Sebagai umat yang memiliki marwah, umat Islam seharusnya tidak membiarkan mesin rezim legislator rusak sehingg muncul produk perundangan yang tidak memiliki legitimasi. Apakah tidak lebih baik bila umat Islam tetap

menggelorakan penolakan dan pembatalan RUU HIP dari Prolegnas 2020 dengan segala metamorfosenya.

Saya tegaskan lagi, Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan bubar lantaran tidak adanya BPIP dan UU HIP, namun justru patut diduga bahwa adanya BPIP mengancam terjadinya DISINTEGRASI bangsa Indonesia karena:

  1. Menjadi lembaga PENGONTROL KEHIDUPAN RAKYAT atas nama PANCASILA DAN NEGARA, bahkan berpotensi menjadi EXTRACTIVE INSTITUTION represif. BPIP memiliki kewenangan memberikan rekomendasi atas hasil kajiannya terhadap penyelenggaraan pemerintah negara.
  2. Berpotensi menjadi GODAM ALAT GEBUK bagi lawan-lawan politik pemerintah atau pihak yang berseberangan dengan pemerintah.
  3. Hadirnya TAFSIR TUNGGAL Pancasila ala Rezim karena BPIP berwenang membuat pelembagaan nilai dari Ideologi Pancasila. Akan memicu kegaduhan dan konflik baru di tengah masyarakat.
  4. Berpotensi menjadi lembaga SUPER BODY mengatasi kekuasaan lembaga-lembaga negara dalam menyusun HALUAN NEGARA yang mestinya menjadi wewenang MPR.
  5. OVERLAPPING dan REDUNDANT atas tugas dan wewenang BPIP dengan tugas dan wewenang DPR, MPR dalam menentukan orientasi bangsa dan negara.
  6. Potensi penyalahgunaan kekuasaan (ABUSE OF POWER) khususnya dalam bidang pendidikan, riset dan inovasi karena Dewan Pengarah bisa menunjuk Ketua atau anggota BPIP menjadi pengarah di bidang itu secara EX OFFICIO.

Oleh karena itulah pendirian saya tetap hingga kini, hanya ada satu kalimat yang pas untuk menyikapinya yaitu:

“TOLAK RUU HIP TANPA RESERVE, BATALKAN DARI PROLEGNAS”, “USUT TUNTAS DUGAAN MAKAR IDEOLOGI” dan TOLAK RUU BPIP DAN BUBARKAN BPIP.

Oleh : Prof Dr Pierre Suteki SH MHum, Pakar Filsafat Pancasila, Hukum dan Masyarakat

Rilisbisnis.com mendukung program publikasi press release di media khusus ekonomi & bisnis untuk memulihankan citra yang kurang baik ataupun untuk meningkatan reputasi para pebisnis/entrepreneur, korporasi, institusi ataupun merek/brand produk.

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru