Ratna Sarumpaet, Kekerasan Politik dan Demokrasi Kita

Avatar photo

- Pewarta

Rabu, 3 Oktober 2018 - 11:43 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

RAKYAT SARUMPAET hancur wajahnya berantakan, setengah kepalanya dijahit. Foto – foto Ratna menyebar di group WA memancing amarah yang besar, kenapa seorang perempuan aktifis bisa dihancurkan kepalanya? Siapa yang tega?

Ratna adalah aktifis pergerakan, seniman, budayawan dan ibu dari artis terkenal Atiqah Hasiolan (Bintang Lux). Dia “single parent” alias janda, yang bertanggung jawab untuk anak2 nya dan juga bekerja untuk bangsa.

https://opiniindonesia.com/2018/10/03/ada-yang-kelihatannyan-senang-ratna-sarumpaet-dianiaya/

Sumber disekitar Ratna mengatakan bahwa pemukulan ini terjadi beberapa hari lalu di Bandung, sehabis Ratna mengisi ceramah di pertemuan jurnalis internasional.

Ketika Ratna menumpang taxi, dia dicegat segerombolan orang, lalu dihancurkan kepalanya dan wajahnya.

Kekerasan Politik

Sejak Jokowi berkuasa, kekerasan politik merajalela. Kontras dengan Jokowi yang seolah2 lemah lembut. Beberapa kekarasan politik antara lain penganiayaan terhadap ulama (khususnya di Jabar jelang Pilkada 17), kekerasan terhadap alumni ITB yang bekerja untuk IT habib Rizieq, Hermansyah, yang ditusuk leher dan perutnya, kekerasan terhadap Neno Warisman, simbol “2019 Ganti Presiden di bandara Riau, kekerasan terhadap mahasiswa di Medan dlsb.

Penangkapan2 pun acap dilakukan seperti dalam kasus “makar”, kasus “buku Jokowi anak PKI”, kasus ust. Alfian Tanjung, kasus Ahmad Dhani, dll. Ratna sendiri ditangkap dituduh Makar. Hal ini menambah catatan kelam politik kita yang selama reformasi berjalan penuh demokratis, khususnya di masa sepuluh tahun SBY.

Khusus untuk SBY, meskipun berlatar belakang militer, komitmennya terhadap demokrasi begitu kental. SBY mendorong dicabutnya pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP, terkait adanya kasus Eggi Sujana dan mantan wakil ketua DPR RI, Zainal Maarif.

SBY juga tidak memangkap Rizal Ramli yang menggerakkan demo anti kenaikan BBM, 2008, padahal terjadi kerusuhan dan bakar membakar mobil di depan DPR.

SBY juga tidak menangkap para aktifis yang membawa Kerbau bertuliskan dirinya (SBY) ke depan istana.

Rilisbisnis.com mendukung program publikasi press release di media khusus ekonomi & bisnis untuk memulihankan citra yang kurang baik ataupun untuk meningkatan reputasi para pebisnis/entrepreneur, korporasi, institusi ataupun merek/brand produk.

SBY dalam konteks demokrasi adalah penyayang rakyatnya. Tidak ada orang luka atau mati terbunuh (seperti alm. Munir) di masa SBY.

Kekerasan politik adalah sebuah kejahatan besar dalam demokrasi. Setting politik demokrasi adalah menghargai perbedaan. Berbeda dengan rezim otoriter, settingnya memang pembungkaman hak hak asasi untuk berpendapat, berkumpul dan berdemonstrasi.

Demokrasi Kita

Ratna Sarumpaet adalah pejuang seumur hidup. Pada 1997 saya (MPKR= Majlis Permusyawaratan Kedaulatan Rakyat) dan dia (bersama Ulil dan alm. Arnold Purba) membuat acara bersama di Tugu Proklamasi melawan Suharto. Ratna mementaskan teater Merah Putih, setelah orasi Alm. Dr. Adnan Buyung Nasution dan Dr. Sri Bintang Pamungkas. Perjuangan dia dan mayoritas aktifis lainnya adalah menumbangkan Suharto demi adanya kebebasan. Kebebasan apa?

Dalam demokrasi kebebasan yang dicari adalah kebebasan bersuara, berkumpul, berorganisasi, dan berdemonstrasi, mengatakan pendapat.

Kebebasan ini adalah harga mahal, yang tidak diperjuangkan oleh orang2 dahulu bersekutu atau jadi pemain band metalika jaman Suharto.
Ini diperjuangkan oleh Ratna Sarumpaet.

Lalu mengapa demokrasi yang ada ini dirusak oleh orang2 yang menyukai kekerasan politik? Lalu mengapa pejuang lahirnya demokrasi dihancurkan kepalanya?

Apakah demokrasi telah mati?

Penutup

Tugas rezim Jokowi adalah memulihkan demokrasi. Jika bisa dibuktikan bahwa urusan Ratna Sarumpaet bukan persoalan politik, maka buktikanlah. Hancurkan lah preman2 itu. Karena preman tidak ada tempatnya dalam demokrasi. Demokrasi dan supermasi hukum adalah dua sisi mata uang dalam logam yang sama.

Kalau tidak, apalagi Ratna adalah Jurkamnas Prabowo 2019, maka kecemasan bahwa rezim ini semakin anti demokrasi, akan semakin dalam. Dan kita kembali ke masa silam yang gelap.

[Oleh : Dr.Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle]

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru