OPINI INDONESIA – Ungkapan kelakar mengenai Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) dari cendekiawan muslim moderat Cak Noer (Prof. H. Noercholish Madjid, Ph.D.) amat tepat. “Ada empat rahasia Tuhan,” katanya, “yang tidak dapat diprediksi (unpredictable), yakni kelahiran, jodoh, kematian, dan Gus
Dur.” (Adnan, 2000). Dalam bahasa Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) (1992), “Tidak ada tokoh yang paling susah dipahami melebihi Gus Dur”. Tentu saja, tidak ada orang yang paling susah memahami Gus Dur (GD) melebihi umat GD sendiri.
Langkah kebijakannya sebagai pemimpin pondok pesantren, ketua DKJ, ketua umum PBNU, ketua Fordem, presiden WCRP, Ketua Dewan Syura PKB, dan sebagai Presiden IV RI, berani, bandel, sulit ditebak, dan sering nyeleneh di mata banyak pihak, termasuk oleh orang-orang di sekitar lingkaran kekuasaannya sendiri sekalipun. Sebagai ketua “rombongan ketoprak” NU — meminjam istilah Cak Nun (1992) lagi — misalnya, GD pernah melempar usul penggantian salam religius sakral universal Islam Assalamu’alaikum dengan ungkapan yang dianggap lebih sekular, yakni “Selamat Pagi” atau apa sajalah. Ketika hampir semua cendekiawan muslim berebut masuk ke dalam ICMI, yang menghijaukan politik Indonesia 1990an, GD malah mendirikan Forum Demokrasi (Fordem). Pasca-“Kuda Tuli” 27 Juli 1996, yang berdarah itu, GD tampak memihak Megawati Soekarnoputri (Presiden ke-5 RI), akan tetapi menjelang Pemilu 1997 GD malah runtang-runtung bersama Mbak Tutut (Siti Hardianti Roekmana), yang putri Presiden Soeharto itu, dari pesantren ke pesantren. Ketika Ketua Umum PAN Amien Rais mengusulkan GD sebagai calon presiden (capres) pada Pemilu 1999, GD sebagai politikus PKB malah mengusulkan Ketua Umum PDIP Megawati sebagai capres. Lebih nyeleneh lagi, GD juga mengharapkan agar Megawati mengusulkan Amien Rais sebagai capres. “Biar bunder,” katanya (Basyaib & Hermawan, 2000; Adnan, 2000).
Sosiolog strukturalis Arief Budiman, Ph.D., yang aktifis oposan abadi dan sahabat dekat GD di Fordem itu, pernah berkomentar agak lucu tentang GD sebagai presiden.
Baca Juga:
Pemenang Piilkada dan yang Kalah Saling Kerja Sama untuk Layani Rakyat, Kata Prabowo Subianto
“Gus Dur tak sempat mengurus negara,” katanya, “karena sibuk mengumpulkan lelucon.” (Basyaib & Hermawan, 2000). Dalam rimba “teater” perpolitikan formal Indonesia langkah GD adalah fenomena menyimpang.
Lembaga politik yang serba resmi, formal, angker, eksklusif, didewakan, dan jauh dari nuansa kejelataan–yang lahir sejak Indonesia merdeka dan makin dikokohkan selama 32 tahun rezim Orde Baru (Orba)–di tangan Presiden GD menjadi santai, informal, ramah, inklusif, mentah, bagai pasar tradisional.
Aksi dan terutama ucapannya selalu lucu dan terkesan seenaknya sendiri. Segala kebekuan formalitas lembaga politik, hukum, agama di Indonesia didekonstruksi bagaikan (bahkan mengalahkan!) panggung humor “Srimulat” dan “Ketoprak Humor”.
Halaman : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Selanjutnya