Humor Gus Dur : Multikulturalisme-Inklusif vs Sektarianisme-Inklusif 1

Avatar photo

- Pewarta

Kamis, 14 Januari 2021 - 14:23 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Mantan Presiden Indonesia keempat,  Abdurrahman Wahid. /Instagram.com/@gusdur_fans.

Mantan Presiden Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid. /Instagram.com/@gusdur_fans.

OPINI INDONESIA – Ungkapan kelakar mengenai Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid) dari cendekiawan muslim moderat Cak Noer (Prof. H. Noercholish Madjid, Ph.D.) amat tepat. “Ada empat rahasia Tuhan,” katanya, “yang tidak dapat diprediksi (unpredictable), yakni kelahiran, jodoh, kematian, dan Gus

Dur.” (Adnan, 2000). Dalam bahasa Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) (1992), “Tidak ada tokoh yang paling susah dipahami melebihi Gus Dur”. Tentu saja, tidak ada orang yang paling susah memahami Gus Dur (GD) melebihi umat GD sendiri.

Langkah kebijakannya sebagai pemimpin pondok pesantren, ketua DKJ, ketua umum PBNU, ketua Fordem, presiden WCRP, Ketua Dewan Syura PKB, dan sebagai Presiden IV RI, berani, bandel, sulit ditebak, dan sering nyeleneh di mata banyak pihak, termasuk oleh orang-orang di sekitar lingkaran kekuasaannya sendiri sekalipun. Sebagai ketua “rombongan ketoprak” NU — meminjam istilah Cak Nun (1992) lagi — misalnya, GD pernah melempar usul penggantian salam religius sakral universal Islam Assalamu’alaikum dengan ungkapan yang dianggap lebih sekular, yakni “Selamat Pagi” atau apa sajalah. Ketika hampir semua cendekiawan muslim berebut masuk ke dalam ICMI, yang menghijaukan politik Indonesia 1990an, GD malah mendirikan Forum Demokrasi (Fordem). Pasca-“Kuda Tuli” 27 Juli 1996, yang berdarah itu, GD tampak memihak Megawati Soekarnoputri (Presiden ke-5 RI), akan tetapi menjelang Pemilu 1997 GD malah runtang-runtung bersama Mbak Tutut (Siti Hardianti Roekmana), yang putri Presiden Soeharto itu, dari pesantren ke pesantren. Ketika Ketua Umum PAN Amien Rais mengusulkan GD sebagai calon presiden (capres) pada Pemilu 1999, GD sebagai politikus PKB  malah mengusulkan Ketua Umum PDIP Megawati sebagai capres. Lebih nyeleneh lagi, GD juga mengharapkan agar Megawati mengusulkan Amien Rais sebagai capres. “Biar bunder,” katanya (Basyaib & Hermawan, 2000; Adnan, 2000).

Sosiolog strukturalis Arief Budiman, Ph.D., yang aktifis oposan abadi dan sahabat dekat GD di Fordem itu, pernah berkomentar agak lucu tentang GD sebagai presiden.

“Gus Dur tak sempat mengurus negara,” katanya, “karena sibuk mengumpulkan lelucon.” (Basyaib & Hermawan, 2000). Dalam rimba “teater” perpolitikan formal Indonesia langkah GD adalah fenomena menyimpang.

Lembaga politik yang serba resmi, formal, angker, eksklusif, didewakan, dan jauh dari nuansa kejelataan–yang lahir sejak Indonesia merdeka dan makin dikokohkan selama 32 tahun rezim Orde Baru (Orba)–di tangan Presiden GD menjadi santai, informal, ramah, inklusif, mentah, bagai pasar tradisional.

Aksi dan terutama ucapannya selalu lucu dan terkesan seenaknya sendiri. Segala kebekuan formalitas lembaga politik, hukum, agama di Indonesia didekonstruksi bagaikan (bahkan mengalahkan!) panggung humor “Srimulat” dan “Ketoprak Humor”.

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia
Jasasiaranpers.com dan media online ini mendukung program manajemen reputasi melalui publikasi press release untuk institusi, organisasi dan merek/brand produk. Manajemen reputasi juga penting bagi kalangan birokrat, politisi, pengusaha, selebriti dan tokoh publik.

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru