AWALNYA AKU hanya ingin tahu dan ingin melihat saja. Tentang reuni 212 yg katanya di hadiri jutaan manusia.
Pukul 6’oo aku berangkat dari Depok menuju Monas. Titik tempat berkumpulnya alumni 212. Jam 7 kurang aku sudah sampai.
https://opiniindonesia.com/2018/12/05/2-kali-mata-saya-basah-di-reuni-akbar-alumni-212-yang-kedua/
Aku terkejut dan takjub, karena memasuki bunderan HI manusia sdh berjubel. Mobilku pun berjalan merayap di antara jamaah yang rata-rata berbaju dan berpeci putih.
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Mereka begitu ramah mempersilahkan mobilku lewat. Namun aku tak bisa meneruskan, karena sudah tidak bisa masuk lebih jauh lagi dan jalan sudah dipadati manusia.
Seorang jamaah dengan sopan bertanya padaku, “Mau kemana Bu..!?”,
“Mau cari parkir pak”, jawabku tersenyum.
“Ibu mutar ke kanan terus lurus, 100 m dr sini ada tempat parkir di halaman gedung itu, masih bisa parkir”, katanya santun sekali.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Setelah berjalan terseok akhirnya sampai juga aku di gedung yang ditunjukan bapak tadi.
Selesai memarkir aku dan keluargaku keluar dari halaman gedung. Aku terkejut bahkan terperangah. Karena jalan sudah penuh sesak dengan lautan manusia.
Mereka kompak tanpa dikomando membaca sholawat dan mengibarkan ratusan bendera tauhid berwarna warni. Aku tahu bendera tauhid dari dunia sosmed.
Aku dan keluargaku pesimis, apakah mereka menerima kami untuk ikut nimbrung. Ataukah sebaliknya mrk akan mengusir kami. Dan aku pun berpikir bagaimana bila terjadi rusuh…!?.
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
Dalam situasi yg pesimistis dan kebimbangan. Tiba-tiba beberapa jamaah menghampiri kami, dan memberikan topi yg bertulisan tauhid. Dan anggota keluarga ku pun di berikan beberapa slayer. Kami di persilahkan ikut bergabung.
Rasa euporia menghinggapi keluarga. Kami rela berdesakan dg orang lain yang tak saling mengenal tapi jiwanya ada rasa kebersamaan.
Akupun tak dapat menahan tangis haru begitu juga anggota keluarga ku. Jutaan rasa yg menghinggapi kami membuat aku terisak. Beberapa jamaah memberikan tisue kepadaku.
Aku mengusap air mataku, belum pernah perasaan ini berkecamuk sebegitu dahsyatnya. Rasa takjub dan bangga belum pernah aku lihat manusia sebanyak ini begitu tertib.
Puji Tuhan…!!! Ini sungguh luar biasa.
Apalagi saat mendengar lantunan sholawat yang begitu kompak. Tak henti hentinya aku mengusap air mata yg menggenangi mataku.
Setelah berjalan sekian puluh meter.
Aku bertemu dengan rekan-rekan yang ku tahu mereka adalah non muslim. Rupanya mereka merasakan hal yg sama denganku.
Dan aku semakin lebih takjub, karena banyak yang non muslim pun berdatangan.
Ikut membaur dengan para jutaan jamaah.
Mereka pun tak membedakan kami, kami dapat snak dan minuman seperti jamaah yang lain.
Mereka memandang kami sebagai saudara.
Yg lebih mengharu birukan seorang nenek tua memelukku sambil menangis memberikan sebungkus nasi uduk.
Tuhanku, Rasanya lutut ini lemas tak berdaya. Air mata ini semakin deras membanjiri ku. Begitupun yg menyaksikan peristiwa ini.
Mereka seakan terbawa arus yg ku alami. Aku yg tadinya sempat menilai negatif thinking tentang ini semua. Jadi mendapatkan suatu nilai moral yang luar biasa.
Aku dan keluarga besarku yang biasa dengar Pasteur khotbah di gereja, atau denger Bhikkhu di vihara. Tak pernah sampai seharu ini…
Puji Tuhan. Di sinilah, di 212 lah aku menyaksikan dengan mata kepala ku sendiri.
Merekalah orang orang yang mempunyai hati terpilih. Yang mempunyai pesan moral yang tiada ternilai. Untuk menyikapi rasa persaudaraan sesama anak bangsa.
[Oleh : Siem Mei Hwa, Susi Melianawaty]