PIDATO CALON presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto saat meresmikan posko pemenangan Prabowo-Sandi di hadapan kader Partai Gerindra dan para pendukungnya, di Boyolali pada Selasa (30/10/2018) berbuntut panjang.
Banyak pihak yang terhasut oleh politikus-politikus parpol pendukung Jokowi yang menggoreng statemen Prabowo Subianto di Boyolali tersebut.
https://opiniindonesia.com/2018/11/05/aktifisme-anti-prabowo/
Bahkan sejumlah politikus mengerahkan warga yang terhasut untuk menggelar berbagai aksi dan langkah hukum segala. Padahal yang disampaikan Prabowo tidak seperti yang disuarakan oleh para politikus itu.
Aneh ya. Bukankah rakyat juga sudah pintar, mereka sudah tau mana berita faktual, mana berita pelintiran, dan mana berita yang digoreng politikus?
BACA JUGA : Mengenang Jasa Prabowo Selamatkan TKI dari Hukuman Mati
Politikus bodoh itu masih saja mengira rakyatnya masih bodoh? Memang saiki wis wayahe. Sudah saatnya rakyat yang sudah pintar bergabung orang-orang yang pintar. Biarlah rakyat yang waras bergabung dengan orang-orang yang waras.
Mau tau, seperti apa pidato utuh Prabowo yang disampaikan kepada para kadernya itu? Berikut ini adalah Pidato Lengkap Prabowo yang Singgung Tampang Boyolali
Dan dirasakan sekarang, saudara-saudara yang merasakan sekarang, saya bertanya ke saudara-saudara, apakah saudara-saudara sudah merasakan adil? Sudah merasa makmur atau belum?
(Hadirin ramai berteriak ‘belum’).
Saudara-saudara saya hari ini didampingi, ditemani oleh ketua umum Partai Amanat Nasional, Pak Zulkifli Hasan, tapi beliau juga kebetulan adalah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (Ketua MPR RI), pemegang perwakilan rakyat yang tertinggi di Republik Indonesia.
Saya juga didampingi tokoh Jawa Tengah dan tokoh TNI yaitu mantan Gubernur Jawa Tengah, Letjen TNI (Purn) Haji Bibit Waluyo.
Saudara-saudara dari Jawa Tengah yang lebih tahu bagaimana seorang Bibit Waluyo itu, seorang gubernur yang bekerja keras untuk rakyat, untuk petani, untuk nelayan, untuk wong cilik di seluruh Jawa Tengah. Dengan semboyan ‘relo bali deso mbangun deso’ Bali deso mbangun deso berarti membangun bangsa dan negara.
Saudara-saudara, saya kenal Pak Bibit Waluyo sudah lama, sebenarnya beliau adalah senior saya. Beliau yang dulu mlonco-mlonco saya, yang mengembleng saya, termasuk beliau. Karena dulu saya taruna yang nakal, tapi kalau nggak nakal, mungkin saya nggak jadi jenderal.
Saya kenal beliau di daerah operasi, kami ini tentara. Dulu kita bukan tentara di belakang meja, kita bukan tentara di kota, kita tentara di lapangan. Kita naik dan turun gunung, kita membela negara ini, pertaruhkan jiwa kita untuk menjaga keamanan negara dan bangsa Indonesia.
Dari sejak muda kami pertaruhkan nyawa kami, untuk bangsa Indonesia, untuk merah putih yang kami cintai. Sekarang seharusnya kita pensiun, seharusnya kita istirahat tapi kami melihat bahwa negara dan bangsa kita masih dalam keadaan tidak baik.
Ekonomi kita tidak di tangan bangsa kita sendiri. Saya lahir di Jakarta, saya besar di Jakarta. Saya memberi usia saya untuk bangsa ini, saya memberi jiwa saya dan raga saya untuk bangsa ini.
Tapi begitu saya lihat keliling Jakarta, saya melihat gedung-gedung mewah. Gedung-gedung menjulang tinggi. Hotel-hotel mewah. Sebut saja hotel mana di dunia yang paling mahal, ada di Jakarta.
Ada Ritz Carlton, ada apa itu, Waldorf Astoria, namanya saja kalian nggak bisa sebut.
(Peserta acara tertawa)
Ada Saint Regis, dan macam-macam itu semua. Tapi saya yakin kalian tidak pernah masuk hotel-hotel tersebut. Betul?
(Hadirin ramai-ramai menjawab: betul)
Kalian kalau masuk, mungkin kalian diusir. Karena tampang kalian tidak tampang orang kaya, tampang-tampang kalian ya tampang Boyolali ini. Betul?
(Hadirin ramai-ramai menjawab: betul)
Saya sebagai prajurit, saya lihat kok negara saya bukan milik rakyat saya, untuk apa saya berjuang, apakah saya berjuang supaya negara kita jadi milik orang asing, saya tidak rela, saya tidak rela.
Karena itulah saya melihat rakyat saya masih banyak yang tidak mendapat keadilan, dan tidak dapat kemakmuran dan tidak dapat kesejahteraan, bukan itu cita-cita Bung Karno, bukan itu cita-citanya Bung Hatta. Bukan itu cita-citanya Pak Dirman, bukan itu cita-citanya Ahmad Yani, bukan itu cita-cita pejuang kita.
(Hadirin berteriak takbir).
Karena itu saudara-saudara, Pak Bibit, saya, lama tidak ketemu. Saya tidak minta beliau mendukung saya. Beliau yang menyatakan ‘saya mendukung Prabowo dan Sandi’. Saudara-saudara, tokoh-tokoh seperti Pak Zul, tokoh-tokoh PAN, tokoh-tokoh PKS, tokoh-tokoh Gerindra, relawan-relawan dari mana-mana bergabung bersama Prabowo-Sandi. Apakah mereka berharap uang? Tidak! Kami partai-partai yang tidak berkuasa. Kalau mendukung kami jangan mengira kami bisa membagi-bagi uang, membagi-bagi sembako, membagi apa-apa, tidak!
[Oleh : Ki Hartokarjono, pemerhati masalah komunikasi politik]