DI TENGAH gelombang kritik dan kemarahan publik terhadap penganiayaan Bu Ratna Sarumpaet, ada suara yang menyalahkan perempuan lemah fisik itu. Suara itu keluar dari muncung Denny Siregar. Saya ulangi apa komentar Denny di akun Twitter dia.
“Minimal kalau emaknya digebukin, anaknya kek yang teriak, atau keluarga dekatnya. Masak mereka gak tau ? Tapi ternyata diam semua..
https://opiniindonesia.com/2018/10/05/hoax-ratna-dan-skenario-menjegal-prabowo/
Yang teriak2 malah @MardaniAliSera @LawanPoLitikJW @fadlizon eh si lemon @AkunTofa ikut teriak juga gak ya ? 😁😁
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Denny menyalahkan anak Bu Ratna yang tidak berteriak ketika penganiayaan terjadi. Memang tidak mengherankan komentar Denny ini. Tapi, menyalahkan korban pemukulan sampai babak belur oleh sekelompok preman biadab, tentulah sangat disayangkan.
Tidak ada frasa yang paling pas untuk menggambarkan komentar Denny Siregar di Twitter-nya itu kecuali kalimat bahwa dia sedang mengalami “lost conscience”. Yaitu, kehilangan nilai moral tentang baik dan buruk.
Denny seharusnya memahami bahwa orang yang sedang menghadapi serangan tiba-tiba, cenderung tak bisa berkata-kata. Mereka tergemap. Terkejut. Sehingga, mungkin ini yang menyebabkan mereka diam saja.
Bagi saya, Denny tak bisa menyembunyikan rasa senangnya terhadap penganiayaan Bu Ratna yang dilakukan oleh anjing-anjing suruhan itu. Rasa senang Denny itu terselip rapi pada kata “digebukin”. Dia tidak menggunakan kata “dipukuli” atau “disiksa”. Sepintas laku, kata “digebukin” itu biasa saja. Tetapi, sesungguhnya, terlampir ekspresi kesyukuran Denny. Dia senang. Sekaligus, kata “digebukin” itu menyimpan “mampus lo”.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Kemudian, alinea (paragraf) kedua cuitan Denny juga mendeskripsikan rasa senang beliau. Lihat dua emoticon tertawa (😁😁) di ujung komentar Denny tentang orang-orang yang dia sebut “berteriak-teriak” atas penganiayaan. Kata “berteriak-teriak” itu tidak hanya ejekan kepada orang-orang yang memprotes atau berkomentar terhadap penganiayaan Bu Ratna, melainkan juga menunjukkan “puncak rasa senang” Denny Siregar.
Cuitan Denny sebelumnya juga tidak menunjukkan simpati sama sekali. Ini dia selengkapnya.
Digebukin tanggal 21 September, hebohnya tanggal 2 Oktober..
Trus polisi dipaksa menuntaskan masalah, sedangkan TKP udah acakadut.. 🤔🤔
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
Denny juga menggunakan kata “digebuki”. Sama seperti pembahasan di atas. Dia menyimpang rasa senang. Denny mempertanyakan mengapa pemukulan tanggal 21 Septmber 2018 baru diributkan pada tanggal 2 Oktober. Kenapa Anda, Denny, seolah berpendapat bahwa pengungkapan penyiksaan itu berselang 11 hari setelah kejadian, adalah masalah yang patut dipersoalkan? Mengapa, lagi-lagi, Anda menayahkan Bu Ratna.
Sekali lagi, kedua cuitan Denny itu tak mengherankan datang dari mulut dia. Anggap saja Denny seperti yang dikatakan tadi, yaitu “kehilangan nilai moral dalam melihat kebaikan dan keburukan”.
Karena itu, marilah kita tunjukkan simpati kepada korban penganiayaan. Apalagi, korban adalah salaah seorang akivis demokrasi.
Seorang yang selalu kritis melihat berbagai penyimpangan dan pelanggaran.
Tidak pun Anda bersimpati kepada Bu Ratna, paling tidak janganlah Anda menunjukkan rasa senang dan komentar yang menyalahkan korban karena tak begitu, tak begini.
[Oleh : Asyari Usman, wartawan senior]