Bendera, Ormas dan Pilpres 2019

Avatar photo

- Pewarta

Selasa, 30 Oktober 2018 - 19:38 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

HTI DIORBITKAN jadi musuh bersama. Dicabut ijinnya oleh Kemenkumham dan distigmakan sebagai ormas terlarang, anti Pancasila dan mengancam NKRI. Oknum Banser dijadikan sebagai barisan terdepan untuk mempersekusinya.

Masalah utamanya bukan pada HTI dan Banser. HTI dicabut ijinnya, semua kantornya tutup, tak lagi ada gerakan dan semua identitasnya tak lagi muncul ke publik. Tahu diri. Begitu juga dengan Banser, tak ada masalah organisasional dengan HTI. Banser adalah aset umat dan bangsa. Kecuali sejumlah elit yang sengaja memanfaatkan kepolosan sebagian anggota Banser dan menjadikannya oknum. Tujuannya? Tak jauh-jauh dari agenda pilpres 2019.

https://opiniindonesia.com/2018/10/28/benarkah-pelaku-pembakar-bendera-tauhid-tidak-ada-niat-jahat/

Kenapa HTI dan Banser yang dibenturkan? Pertama, karena HTI dengan “mimpi khilafahnya” paling potensial dibenturkan dengan Pancasila dan NKRI. Di Indonesia, ide khilafah itu ahistoris. Dianggap melawan kesepakatan keberagamaan umat Islam secara umum. Maka, mudah distigmakan negatif. Kedua, HTI adalah ormas kecil. Sementara Ansor dengan Bansernya adalah bagian dari organisasi NU. Ormas terbesar di Indonesia. Jika perang opini, HTI pasti nyungsep. Dan NU-lah pemenangnya. Ini faktor mayoritas melawan minoritas. Ketiga, HTI diidentifikasi sebagai bagian dari pendukung oposisi. Dalam konteks ini adalah Paslon no 2. Jadi, memperburuk citra HTI akan berimbas pada buruknya citra Paslon no 2.

Point yang ketiga ini salah dan fatal. HTI menolak demokrasi. Tidak pernah ikut dalam pemilu. Bagi HTI, demokrasi itu haram. Mereka selama ini golput. Mengidentifikasi HTI bagian dari pendukung Paslon No 2, itu menggelikan. Opini menyesatkan. Bahasa agamanya “fitnah’. HTI tidak mendukung Paslon manapun. Itulah opini. Adu kuat isu di media.

HTI berhasil didesign jadi “target antara”. Target utamanya adalah Paslon No 2. Dan Banser, oleh “pihak tertentu” dimanfaatkan untuk menjadi penahan arus gelombang massa oposisi, dengan isu HTI mengancam NKRI. Sejumlah oknum Banser marah, HTI dihajar.

Publik perlu tahu, umumnya ormas di Indonesia menolak paham khilafah ala HTI. Bagi sejumlah ormas, ide khilafah di Indonesia tak lebih dari “impian langit” yang sulit dibayangkan punya kesempatan berjejak di bumi Nusantara. Hanya saja, ormas-ormas itu bersikap lebih soft. Cenderung mengutamakan persaudaraan dan menghargai potensi dakwah yang dilakukan kader HTI.

Jika ingin proporsional, kita perlu buka kembali sejarah. Drama ini dimulai sejak kasus Ahok. Jokowi harus menghadapi gelombang oposisi umat Islam yang kecewa. Lalu, Jokowi merapat ke pimpinan PBNU dan Ansor. Ini bagian dari strategi untuk mengimbangi kekuatan massa oposisi. Bahkan mengambil Ma’ruf Amin sebagai cawapres adalah bagian dari langkah strategis ini. Dengan segala dinamika yang sangat dramatis. Hubungan Jokowi-PBNU plus Ansor adalah hubungan simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan. Jokowi butuh massa Nahdliyyin (termasuk Ansor dan Banser) semata-mata sebagai penyeimbang gerakan massa umat Islam yang berada di kubu oposisi. PBNU dan Ansor, bagaimanapun akan sangat menguntungkan jika dekat dengan pemerintah.

Hubungan pimpinan PBNU dan Ansor dengan Jokowi adalah hubungan politis, bukan ideologis. Ungkapan Mahfudz MD, jika Jokowi tidak ambil Ma’ruf Amin, NU akan tarik dukungan. Ungkapan ini clear sekaligus menegaskan bahwa hubungan Pimpinan PBNU-Jokowi itu politis, bukan ideologis. Begitu juga dengan pimpinan Ansor. Karena hubungannya yang bersifat politis, maka ajakan ketum PBNU kepada Nahdliyyin untuk dukung Jokowi tak sepenuhnya berhasil. Bahkan mendapat teguran dan protes keras dari “dhurriyat” K.H Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah, para pendiri NU. Karena dianggap merusak khittah, dan terlalu jauh menyeret NU dalam politik praktis.

Hubungan Jokowi PBNU dan Ansor itu ada pada level pemimpin, bukan NU, Ansor (dan Banser) secara organisatoris. Sebab, NU, Ansor dan Banser adalah ormas, bukan organ politik. Sesuai AD/ARTnya, NU dan semua underbownya punya khittah non partisan. Hal ini ditegaskan oleh para “dzurriyat” pendiri NU.

Menyoal kasus bendera, meski sangat disesalkan karena menyinggung “perasaan keberagamaan umat’, tetap saja tak lepas dari komoditas politik. Banyak yang menduga itu bagian dari simbiosis mutualisme elit.

Rilisbisnis.com mendukung program publikasi press release di media khusus ekonomi & bisnis untuk memulihankan citra yang kurang baik ataupun untuk meningkatan reputasi para pebisnis/entrepreneur, korporasi, institusi ataupun merek/brand produk.

Dalam kasus ini telah terjadi adu jumlah massa dan benturan opini. Kemana gelombang opini bertiup, maka akan jadi pertimbangan utama untuk mengkalkulasi elektabilitas capres- cawapres. Kalau sinyalnya bagus, pembelaan terhadap pelaku pembakaran bendera diteruskan. Kalau tak menguntungkan, pembelaan dihentikan.

Nampaknya gelombang protes menguat, opini makin memburuk untuk pelaku dan para pendukungnya. Inilah yang dibaca oleh Jusuf Kalla (JK). Dalam konteks ini, JK netral atau punya agenda? Sebagai wapres atau penasehat timses Jokowi? Allahu A’lam.

JK melihat situasinya mulai tidak kondusif. Lalu, langkah sigap dan cepat ia ambil. Kumpulkan semua pimpinan ormas, dan membuat pernyataan bersama. Diantara pernyataan itu adalah bahwa pimpinan Ansor dan PBNU menyesalkan peristiwa pembakaran itu. Oh ya?

Kok JK yang mewakili NU dan Ansor ya? Publik mulai mempertanyakan. Kenapa JK yang membacakan pernyataan itu. Kenapa bukan ketua PBNU atau ketua Muhammadiyah yang hadir di konferensi pers itu?

Tersisa keraguan publik: apakah betul pimpinan Ansor dan PBNU menyesalkan pembakaran bendera itu? Mengingat beberapa hari sebelumnya, pimpinan Ansor dan PBNU justru seolah memberi pembelaan, terkesan melindungi dan menjustifikasi kebenaran yang sedemikian tegas dan tegar terhadap pelaku. Apakah publik salah paham terhadap pernyataan ketua Ansor dan PBNU? Atau ketua Ansor dan ketua PBNU sudah berubah pendapatnya? Qaul qadim _dinasakh_ qaul Jadid? Atau JK yang salah kutip? Masih perlu diklarifikasi.

Sikap cepat JK dianggap reaktif. Kemana JK pada saat para ulama dipersekusi? Kemana JK saat terjadinya ujaran kebencian di Surabaya yang bebas dari tuntutan hukum? Tidakkah itu semua berpotensi jadi pemicu konflik dan kegaduhan nasional? Kenapa baru sekarang JK muncul ketika terjadi gelombang protes? Kenapa pemerintah, termasuk JK tidak melakukan langkah-langkah pro-aktif?

Kita akan lihat, apakah reaksi cepat JK efektif, atau sudah terlambat? Apapun jawabannya, pembakaran bendera hanya salah satu dari sekian banyak letupan emosional yang remote controlnya terhubung dengan pilpres 2019. Tidak ada urusannya dengan HTI dan Banser. (*)

[Oleh : Tony Rosyid. Penulis adalah pengamat politik dan pemerhati bangsa]

(*) Untuk membaca tulisan Tony Rosyid yang lainnya, silahkan KLIK DI SINI.

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru

Foto : PROPAMI Care salurkan bantuan untuk panti asuhan di Bekasi. Komitmen wujudkan masyarakat sehat, peduli, dan tangguh. (18/5/25) (Doc.Ist)

Megapolitan

Dukungan Emosional dan Logistik PROPAMI Care Ringankan Beban Panti

Senin, 19 Mei 2025 - 16:15 WIB