Rangkap Jabatan Petinggi TNI/Polri Menggelisahkan Negeri Demokrasi

Avatar photo

- Pewarta

Selasa, 23 Juni 2020 - 13:35 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane. (Foto : Instagram @habibneta)

Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane. (Foto : Instagram @habibneta)

Opiniindonesia.com – Fenomena rangkap jabatan oleh TNI Polri aktif di posisi sipil makin menggelisahkan aparatur sipil negara. Selain menjadi komisaris, setidaknya ada tiga jenderal polisi aktif duduk di kementerian.

Indonesia Police Watch (IPW) mendesak, ketiganya segera pensiun dini. Jika tidak, ya segera mundur dari jabatannya di kementerian maupun komisaris. IPW berharap Presiden Jokowi dan kabinetnya jangan mengulang kebobrokan rezim Orde Baru dan bertingkah seenaknya melanggar UU.

IPW mengingatkan, soal rangkap jabatan ini telah diatur di UU TNI Nomor 34/2004. Misalnya di pasal 47 ayat 1 menyebutkan, prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keperajuritan.

Berkaitan dgn itu pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 tahun 2017 yang melarang TNI dan Polri duduk di jabatan pimpinan tinggi (JPT) aparatur sipil negara (ASN). IPW berharap pejabat TNI Polri bisa taat UU.

Baca juga : Opini dan Pernyataan-pernyataan Tegas Neta S Pane Lainnya, di Sini

Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 juga menyebutkan bahwa polisi tidak boleh merangkap jabatan di luar tugas-tugas kepolisian, apalagi jika anggota polisi itu masih jenderal aktif. Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian”.

IPW menilai Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri Kelautan dan Perikanan sudah menabrak UU ini. Sebab keduanya mengangkat perwira Polri aktif menjadi pejabat di kementeriannya. Perwira tinggi Polri itu tak mundur dari institusinya dan dibiarkan tidak beralih status menjadi ASN. Mereka adalah Komjen Andap Budhi Revianto yang diangkat menjadi Inspektur Jenderal Kemenkumham yang masa aktifnya di Polri masih lima tahun lagi. Irjen Reinhard Silitonga yang diangkat menjadi Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang masa pensiunnya di Polri masih sangat panjang, yakni enam tahun lagi.

Sementara Komjen Antam Novambar yang diangkat sebagai plt Sekjen KPP masa pensiunnya tinggal lima bulan lagi. Langkah kedua menteri itu tentu akan membuat ASN frustrasi. Seolah alumni Akpol adalah warga negara kelas satu. Menkumham dan Jokowi yang membiarkan hal ini seakan hendak kembali ke era Orba.

Sebab, di era Orba cukup banyak pejabat militer yg menduduki posisi jabatan sipil maupun rangkap jabatan. Era ini yg dikenal sebagai dwifungsi ABRI. Saat Orba tumbang rakyat mempermasalah soal dwifungsi dan rangkap jabatan militer ini. Sehingga di awal reformasi dwifungsi dan rangkap jabatan ini dihilangkan. Namun di era Presiden Jokowi, rangkap jabatan dan dwifungsi ini muncul lagi dgn gaya baru. Jokowi memberi peran yg cukup besar pada kalangan kepolisian, sehingga muncul istilah dwifungsi polri. Selain menjadi menteri dan komisaris, cukup banyak posisi sipil yg dipegang jenderal polisi.

Jika Soeharto memanjakan militer, maka Jokowi sangat memanjakan jenderal polisi. Sepertinya strategi dwifungsi ini adalah strategi balas jasa. Jika Soeharto balas jasa ke kalangan militer, Jokowi melakukan balas jasa ke kalangan polri.

Jokowi boleh saja menerapkan politik balas jasa seperti Soeharto, tapi tetap harus patuh dengan UU. Untuk itu jenderal polisi yang menjadi menteri ataupun komisaris BUMN harus mundur dari Polri, seperti yang diamanatkan UU dan mereka jangan mau seenaknya saja di negeri demokrasi ini.

Rilisbisnis.com mendukung program publikasi press release di media khusus ekonomi & bisnis untuk memulihankan citra yang kurang baik ataupun untuk meningkatan reputasi para pebisnis/entrepreneur, korporasi, institusi ataupun merek/brand produk.

Oleh: Neta S Pane, Ketua Presidium Indonesia Police Watch.

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru