Opiniindonesia.com – Yang penting dalam menulis untuk dijadikan therapy guna menjaga nalar dan akal segat itu diantaranta adalah keimbangan dari egosentrisitas tak membyat daya kejut ke dakam diri sendiri yang mungkin sudah cukup rapuh untuk menerima beban yang tidak lagi dapat dipikul karena memang telah renta.
Egosentrisitas ini biasanya ada pada hampir semua bagian. Mulai dari hasrat untuk mengklaim semua pemikiran yang dilobtarkan adalah yang paling benar hingga keinginan untuk nemperoleh pembenaran untuk kemudian diharap bisa diikuti oleh orang lain. Padahal sikap kritis para pembaca sangat beragam, termasuk juga dari sisi perspektifnya yang mungkin saja tidak cuma berbeda, tapi juga kontraversial dari apa yang mampu dibayangkan sebekumnya
Sebetulnya, dalam pergumulan yang seru seperti inilah proses therapy bisa memperoleh hasil yang sugnifikan maju atau bahkan jadi drof. Tinggal bagaimana kesiapan diri untuk menerima berbagai kemungkinan yang memiliki bantak peluang untuk terhadi.
Sebaliknya begitu juga kemungkinan yang bisa saja kita terima dari para pembaca. Sebab sanjungan serta pujian tidak tertutup untuk datang dan kita terima sebagai penulis. Dalam konteks ini pun bentuk dan model yang mereka berikan bisa sangat beragam. Ada yang hanya sekedar memuji untuk sekedar menyenangkan hati. Ada juga yang diberikan dengan kesunguhan hati. Dalam diskursus serupa ini tentu saja efek bawaan psikologisnya untuk therapy nalar dan akal sehat agar tetap bisa terjaga, akan sangat tergantung dari sikap penerimaan kita pada semua respons positif maupun yang begatif sifatnya itu. Agaknya, pada babak inilah sikap rendah hati atau ugagari kita sebagai pemilik dan pemrakarsa gagasan dapat diuji, apakah sungguh mampu dapat lebih bijak menerima atau saat memberikan respon balik pada sikap komentar yang bersangkutan.
Baca Juga:
Termasuk Kapolda Bengkulu, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo Angkat 10 Kapolda Baru
Sebelum Dirawat, Paus Fransiskus Sempat Berselisih dengan Kardinal Soal Defisit Keuangan Vatikan
Therapys dengan cara memang lebih bersifat psikologis. Karena itu pengendalian sikap dan sifat yang lebih cenderung pada egosentrisitas sepatutnya mampu dikontrol dan dikendalikan, agar tidak sampai menimbulkan dampak negatif yang berbalik membuat rusak pada diri sendiri. Karena itu upaya untuk membuka diri dan bersikap rendah hati perlu juga dijaga kesetimbangannya dengan sikap dan sifat sensitif untuk hal-hal yang tidak terlalu prinsipil. Demikian pula sebaliknya untuk memberi tanggapan balik, misalnya yang hendak menjadi topik bahasan dalam paparan tulisan berikutnya, sikap kebih bijak hendaknya tetap menjadi pakem penuntun dengan cara menimbang rasa jika semua itu harus ditujukan pula pada diri kita sendiri. Maka itu sikap yang bijak pun dalam proses therapy untuk menjaga nalar dan akal sehat seyogyanya dapat juga dikontrol. Bils perlu dilakukan secara berkala seperti kayaknya mengukur tensi dan kadar gula di dalam darah. Sebabnya bila sampai salah, bukan hanya therapys dengan cara nenulis itu saja yang gagal, tetapi resiko lain bisa menimbulkan penyakut baru yang tidak kalah bisa kebih merepotkan kita.
[Oleh: Jacob Ereste. Penulis adalah Wartawan Senior Indonesia]