Opiniindonesia.com – Coronavirus atau sering juga disebut sebagai Covid-19, bisa dibilang menjadi teror besar bagi Dunia di Tahun 2020. Sejauh ini, Covid-19 telah memakan korban meninggal hingga 202.000 orang di seluruh penjuru Dunia, sekaligus menjadikannya salah satu Pandemi paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia. Virus yang awalnya terdeteksi pertama kali di Wuhan, China ini dalam sekejap mengubah gaya hidup masyarakat di selruh Dunia dan menghantam banyak sektor, khususnya sektor ekonomi yang makin kepayahan menjaga kuda-kudanya dari hantaman Covid-19.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INdef) Tauhid Ahmad, Kerugian ekonomi global akibat pandemi Virus Corona tak ternilai. Bahkan lebih besar dibandingkan dengan dampak perang dagang Amerika dengan China. Kemudian, menurut riset McKinsey and Company, pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2020 diperkirakan akan menurun hingga 3 persen.
Jika di jabarkan, tentu akan banyak cabang permasalahan yang timbul, mulai dari tidak terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat ekonomi lemah, PHK massal, kriminalitas, kebijakan publik yang tidak stabil, serta kesehatan mental dan psikologi yang terus merosot. Disituasi yang serba mendesak seperti ini, manusia sebagai makhluk hidup secara alamiah akan mencoba survive dan mencari penyebab bagaimana problematika ini terjadi sebagai bentuk respon psikologis.
Berangkat dari hal tersebut, manusia perlahan latah secara bersamaan dengan menjadi hakim yang keras terhadap sosial mereka secara tiba-tiba. Munculnya kecurigaan, pembatasan, jijik, antipati dan lainnya merupakan wujud ketakutan akan ancaman. Kondisi seperti itu beberapa kali terjadi, dan bahkan rutin, salah satu contohnya adalah bagaimana munculnya Islamophobia di Eropa atas dasar sentimen negatif yang menggeneralisir bahwa muslim pelaku utama terorisme dan ekstrimisme, kemudian kian diperparah dengan tragedi serangan Al-Qaeda atas menara WTC, di New York, Amerika Serikat yang menjadikan umat muslim di seluruh dunia sebagai sorotan utama skeptisisme.
Kejadian serupa terjadi lagi kali ini di dalam Pandemi Covid-19, sebagian besar masyarakat dunia mulai menyoroti China, tidak hanya sebagai sebuah Negara ataupun Pemerintahan, tapi mulai menyentuh ranah Etnis dan Ras atas penyebaran virus corona yang sudah menjangkau setiap Benua.
Setidaknya sudah ada lebih dari 1.000 tindakan rasis di Amerika Serikat akibat Corona, salah duanya ada di San Fransisco dan Philadelphia yang kebanyakan di tujukkan kepada orang China dan keturunan China, bahkan akhir-akhir ini target mulai meluas hingga menjangkau orang-orang Asia Timur, bahkan Asia Tenggara, termasuk juga Indonesia.
Sejalan dengan Amerika Serikat, Australia juga menjadi salah satu Negara yang mendapatkan laporan tindakan rasisme yang ditujukkan secara khusus kepada orang Asia dan Keturunan orang Asia berkaitan dengan virus corona. Tindakan Rasisme yang dilakukan pun bermacam-macam, mulai dari melontarkan kata-kata kasar, kekerasan fisik, pengucilan, pembatasan fasilitas umum, hingga tindakan tak terpuji lainnya.
Bahkan Seorang psikolog dari University of Queensland, Dr Michael Thai, mengatakan tindakan rasis terhadap orang Asia saat pandemi virus corona telah berpengaruh pada kesehatan mental warga keturunan Asia di Australia. Tidak hanya itu, dalam jurnal Mental Health Impacts of Racial Discrimination in Australian Culturally and Linguistically Diverse Communities: A Cross Sectional Survey, menyebutkan bahwa rasisme yang dialami oleh korban yang sebagian besar merupakan imigran di Australia menyebabkan penurunan tingkat kesehatan mental korban. Hal tersebut tentunya menjadi kian parah dengan keadaan ekonomi yang serba susah dalam masa Pandemi Cpvid-19.
Dari beberapa contoh kasus tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa target rasisme mulai meluas ke berbagai sisi orang-orang dan keturunan Asia, mulai dari Asia Timur hingga semenanjung Asia Tenggarang, dan hal ini akan terus berlanjut serta makin meluas kepada Etnis maupun Ras Asia lain yang memiliki fisik dan Rupa yang hampir sama.
Sepertinya, persoalan Rasisme menjadi isu klasik yang seksi sejak 1900-an awal, mulai dari isu penghapusan apartheid dan lainnya. Jika diperhatikan, belum ada satu Negara pun di Dunia hingga saat ini yang bisa menemukan akar permasalahan Rasisme sekaligus ramuannya, rasisme menjadi perilaku rutin yang mengakar ke dalam sifat alamiah manusia.
Secara prioritas memang benar di situasi Pandemi Covid-19, Rasisme dan Skeptisisme akan dianggap menjadi persoalan yang “Ke-sekian” dibandingkan dengan persoalan ekonomi, kebijakan publik, pembatasan penyebaran virus, korban terpapar maupun korban meninggal.
Namun, rasanya Pemerintah dan masyarakat umum di setiap Negara pun tidak elok jika tidak mengambil langkah cepat atas problematika Rasisme yang dialami orang Asia di seluruh belahan dunia. Setidaknya, Tindakan Rasisme bisa menjadi fokus tambahan dengan menambahkannya dalam lingkup skala prioritas Covid-19, tanpa memecah fokus skala yang paling utama.
Setiap lapisan perlu mendorong dan menghangatkan lagi isu kritisnya Rasisme selama Pandemi Covid-19 atau bahkan untuk seterusnya, karena sejauh ini, Isu tindakan Rasisme belum terlalu disadari, padahal gerakan-gerakan atau tindakan Asianphobia sudah muncul ke permukaan baik secara individu maupun kelompok atau secara langsung ataupun tidak langsung.
Rasisme adalah tindakan yang tidak bisa dilepas tangan begitu saja, karena tindakan ini layaknya ideologi yang diturunkan dan akan terus melekat, generasi ke generasi. Kita perlu mengambil pelajaran dan Refleksi bagaimana Islamophobia tetap eksis sampai detik ini dan melukai jutaan umat muslim di seluruh dunia baik secara fisik dan psikologis, jangan sampai ada phobia-phobia lainnya, walaupun nyatanya Dunia telah gagal menahan gelombang Asianphobia 1.0 selama Pandemi Covid-19 berlangsung.
Jika gelombang Rasisme asia ini tetap berlanjut dengan intensitas yang sama, maka tidak menutup kemungkinan lahirnya turunan versi 1.0 yaitu Asianphobia 2.0, dan akan terus menambah panjang kegelapan rasisme yang tetap tidak ditemui ramuannya sampai detik ini.
Oleh : Syahlevy Lisando Abadia, S.H
Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.