KAWAN-KAWAN menganjurkan agar hasil survai Denny JA (DJA) tentang elektabilitas Jokowi, diabaikan saja. Diketawai saja. Tak usah dianggap serius. Saya setuju seratus persen. Tidak usah dibicarakan, buang-buang waktu. Saya juga sepakat.
Namun, saya masih perlu menuliskan sesuatu tentang Denny JA. Untuk menjawab pertanyaan mengapa gerangan Denny JA terus saja menerbitkan survai-survai yang mengunggulkan Jokowi? Dan bahkan mengapa pula dia sampai ikut membuat meme-meme yang mengangkat Jokowi dan sebaliknya mengecilkan Prabowo?
https://opiniindonesia.com/2018/12/19/denny-ja-mengejar-jokowi/
Dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan inilah, saya menyimpulkannya seperti judul tulisan di atas. Bahwa DJA setiap hari menguras tenaga dan pikirannya untuk survai dan meme karena dialah harapan terakhir Jokowi. Hanya DJA yang bisa menghibur Jokowi dengan angka-angka elektabilitas yang membuat petahana terbuai. Angka-angka itu berfungsi sebagai “obat bius” bagi Jokowi.
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Denny JA paham betul kapan harus menyuntik Jokowi dengan anastesi survainya. Gampangnya, ibarat kelengkapan personel medis di ruang bedah, DJA itu adalah “anaethetist”-nya. Ahli biusnya.
Dia mengerti betul tahapan dosis yang harus disuntikkan ke pasien yang sedang masuk IGD. Artinya, begitu Jokowi tersentak dan tampak kesakitan, langsung DJA sodorkan angka-angka anastetik yang kemudian membuat pasiennya kembali tenang.
Jadi, “obat bius” Denny JA itulah yang sekarang membuat Jokowi masih bisa tersenyum.
Nah, begitu bubar dari acara-acara kampanye yang ruangannya kosong, kembali Jokowi tersadar. Merasa nyeri. Kalau nyeri-nyeri kecil, DJA tidak menyuntikkan anastesi survainya. Cukup buat meme-meme saja. Sekadar menunjukkan kepada Jokowi bahwa Denny JA tetap berada di samping.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Ketika Reuni 212 selesai, Jokowi hampir pasti kesakitan lagi. Sangat nyeri. Tak tertahankan. DJA sudah bisa menduga itu. Dia ramu lagi obat bius yang berdosis istimewa. Dia buat survai yang hasilnya sangat menyenangkan Jokowi.
“Elektabilitas tetap tinggi, Pak. Jangan cemas,” kata Denny sambil membawakan selembar kertas glossy dengan grafik survai yang menenangkan dan menyenangkan Jokowi.
Kalau Pak Joko agak ragu, dia panggil para perawat yang menjaganya. Bila ada pertanyaan Pak Joko apakah angka-angka itu benar, otomatis para perawat tak berani membantah. Sebab, mereka tahu Denny JA adalah ahli anastesi survai lulusan Negeri Paman Sam.
Di situ hebatnya DJA. Dia bisa meyakinkan pasiennya. Dia buat Jokowi tenang meskipun hanya dalam ilusi. Karena itu, DJA adalah harapan terkahir Jokowi. Dialah yang terus setia membuatkan “obat bius” penghibur untuk menciptakan ketenteraman jiwa Pak Joko.
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
Dan, syukurnya, Jokowi bagaikan terkena sugesti bila melihat kertas survai yang dicetak sedemikian bagus oleh DJA. Tak sia-sia si ahli survai anastetik ini belajar psikologi politik di negeri seberang.
Tapi, mengapa gerangan DJA begitu setia mendampingi Jokowi dan membuatkan survai-survai anastetik untuk si boss? Kalau ini saya tidak bisa jawab. Yang jelas, DJA sadar betul bahwa pasien dia yang satu ini bukan dari jalur BPJS. Jokowi itu pasien VVIP. Banyak duit.
(Penulis adalah waratwan senior)
[12/20, 11:36 AM] Dhimam ABROR PS: YUSRIL MINTA KOMISARIS TINGGI URUSAN HAM PERSERIKATAN BANGSA2 SELIDIKI PELANGGARAN HAM DI XINJIANG
Jakarta (20/12/2018). Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra meminta kepada Komisari Tinggi PBB Urusan HAM (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights) atau OHCHR di Jenewa untuk melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan Pemerintah China atas pemeluk Islam di Xinjiang.
Hal itu dinyatakan Yusril Ihza Mahendra bersama Afriansyah Noor selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang dalam sepucuk surat yang dikirimkan kepada Ketua OHCHR di Jenewa, Swiss, hari ini.
Surat dalam bahasa Inggris itu juga ditembuskan kepada Sekjen Organisasi Kerjasama Islam di Saudi Arabia dan Pemerintah RI di Jakarta.
Yusril mengatakan, Partai Bulan Bintang yang dipimpinnya mengutuk keras tindakan kekejaman yang dilakukan Pemerintah China yang memaksa Muslim Uighur untuk meninggalkan keyakinan agamanya dan beralih memeluk Atheisme.
Pemerintah China, menurut Yusril, wajib mematuhi Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menjamin kebebasan memeluk agama.
Ribuan Muslim Uighur kini dimasukkan kamp2 konsentrasi untuk diindoktrinasi faham athesime sesuai ajaran Komunis yang secara resmi dianut oleh negara itu.
Pemerintah China berdalih, kamp konsentrasi itu adalah tempat untuk melakukan “pendidikan” kepada warganegaranya yang menganut faham ekstrimisme dan separatisme. Umat Islam di Xinjiang dan suku Han yang beragama Islam, selama ini dianggap Pemerintah China sebagai kelompok ekstrimis.
Perlakuan Pemerintah China terhadap umat Islam, kata Yusril, sangat melukai perasaan umat Islam di seluruh dunia. Karena itu Yusril minta OHCHR untuk segera mengirimkan tim penyelidik independen untuk mengungkapkan kepada dunia tentang adanya pelanggaran berat HAM yang dilakukan secara sistematik, terstruktur dan meluas di China. Dunia harus memberi sanksi atas pelanggaran HAM yang berat itu.
Selain meminta OHCHR, Yusril juga mendesak Oranisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk secara aktif memantau pelanggaran HAM atas umat Islam di China. Negara2 OKI dapat mengambil langkah bersama untuk menghentikan pelanggaran HAM ini.
Yusril juga mendesak Pemerintah RI untuk mengambil inisiatif membahas pelanggaran HAM terhadap umat Islam di China ini. “Sebagai negara mayoritas Muslm terbesar di dunia, Pemerintah Indonesia dapat mengambil prakarsa mengajak negara2 anggota OKI lainnya untuk melakukan pertemuan khusus membahas situasi di Xinjiang”.
Pemerintah RI secara mandiripun dapat mengambil langkah diplomatik mencegah Pemerintah China melakukan pemaksaan terhadap umat Islam di sana.
“Kepentingan China di negara kita juga cukup banyak. Karena itu, kita juga dapat memberi tekanan diplomatik kepada Pemerintah China untuk menghentikan pemaksaan terhadap umat Islam di China. Ini adalah persoalan kemanusiaan dan HAM, bukan ingin mencampuri urusan dalam negeri China”. Demikian dikemukakan Yusril kepada wartawan di Jakarta hari ini. (*)
[Oleh : Asyari Usman. Penulis adalah wartawan senior]
(*) Untuk membaca tulisan Asyari Usman yang lainnya, silahkan KLIK DI SINI.