Oleh Igor Dirgantara
Ahmad Dhani Prasetyo (ADP) divonis satu tahun enam bulan penjara lantaran terbukti melanggar Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Intinya, ADP divonis bersalah karena ujaran kebencian. Vonis yang dijatuhkan hakim kepada ADP menambah daftar panjang korban pasal karet UU ITE. Kasus ADP mirip kasus Asma Dewi atau Habib Rizieg. Trend percakapan terkait penahanan ADP begitu tinggi di media sosial. Ada tiga cuitan twitter ADP dulu soal ‘penista agama’ yang menyeretnya ke penjara diduga karena posisinya yang sering disebut kampret. Lalu bagaimana dengan kasus yang pelaporan ke ranah hukum terhadap penyanjung rezim yang kerap dinamai kecebong? Setidaknya ada 20 kasus telah dilaporkan ke pihak kepolisian juga Bawaslu (menurut tim BPN Prabowo-Sandi) – tapi sepertinya belum ada satupun yang diproses, bahkan ‘nyaris tak terdengar’. Padahal Jokowi saat debat pertama Capres 2019 kemarin bersuara keras soal penegakan hukum ini: “laporkan..laporkan, biar semua diproses,” begitu ucapnya.
Apa karena sebut misalnya Bupati Bojonegoro atau Sukmawati dan kawan-kawan (dari kubu cebong ) tidak diproses karena mereka mendukung penguasa (petahana). Ketika usut Ratna Sarumpaet begitu cepat seperti larinya gundala putra petir, tapi giliran usut tabloid Barokah lamban ibarat bekicot lagi piknik jalan-jalan. Ada 31 kepala daerah di provinsi Jawa Tengah terang benderang mendukung paslon 01, diam dan membisu. Sementara, giliran Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan seorang diri berpose dua jari bergaya layaknya paslon 02, hebohnya seperti Vanessa Angel terciduk di hotel.
Kasus ADP terasa kental nuansa politiknya ketimbang hukum. Jika murni masalah hukum, harusnya ‘equal before the law’. Baik itu untuk kecebong, ataupun kampret. Semua manusia seharusnya sama di depan hukum, tapi lihatlah apa yang terjadi di belakang penegakan hukum saat ini. Kelompok cebong dibiarkan menyalak dengan lantang, dan kubu kampret dibungkam memakai instrumen hukum. Di media sosial, atas nama Pancasila dan NKRI kaum cebong bebas dan bersemangat memaki ‘with no fear’.
Tebang pilih begitu transparan. Oposisi dipukul, pendukung rezim di rangkul. Keadilan gratis bagi penyanjung, tapi ada resiko yang harus dibayar bagi pengkritik.
Kampret dicarikan berbagai pasal agar terjerat hukum, sementara cebong sekolam bisa semaunya mencari alasan supaya selamat dari delik hukuman. Penjara seolah bukan tempat untuk orang bersalah atau dibuktikan kesalahannya.
Penjara jadi tempat orang yang sedang berkuasa memperlihatkan power-nya. Banyak kasus yang lebih berat dari Ahmad Dhani tetapi entah kenapa kok jarang diproses. Hukum tajam ke kampret, tapi tumpul buat kecebong. Al-Qur’an menyebutkan: “Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena adil itu lebih dekat kepada takwa (QS Al-Maidah: 8).
Di semua negara demokrasi, beroposisi adalah keharusan, baik itu dalam visi maupun aksi. Dan penegakan hukum yang adil adalah marwah terkuat bagi sistem demokrasi. There is no freedom without justice. Upaya penguasa menggunakan instrumen hukum tampak lebih terbuka dan sistematis jelang Pemilu 2019. Begitu juga tekanan terhadap gerakan #2019GantiPresiden. Politik putar halauan Tuan Guru Bajang, Hary Tanoe, La Nyalla, dan lain-lain yang merapat kepada rezim adalah contoh opsi aman menghindari resiko pidana. Disinyalir salah satu alasan penggunaan instrumen penegakan hukum adalah demi antisipasi manuver politik oposisi. Bisa jadi rezim kurang percaya pada ketangguhan dan efektivitas mesin parpol pengusung, atau relawan pendukungnya yang baperan.
Orang mungkin saja benci terhadap ADP, tetapi tidak akan respek terhadap perlakuan hukum yang tidak adil terhadapnya. Bagi pembenci dan penggemarnya, lagu-lagu ciptaaan ADP akan tetap disukai, didengarkan, atau dinyanyikan di tiap sudut rumah karaoke atau smule. Tidak perduli cuitan dan preferensi politiknya. Setelah ADP, Rocky Gerung yang dikenal kritis terhadap penguasa berpotensi target kriminalisasi selanjutnya. Jika persepsi perlakuan hukum yang tidak adil dirasakan oleh publik, sentimen positif ada di Prabowo-Sandi.
Igor Dirgantara adalah pengelola Survey Polling Indonesia (SPIN).