AWALNYA SAYA coba menutup mata dan telinga tentang apa yang menjadi perdebatan riuh akhir-akhir ini. Ini terkait dengan posisi media dalam mengemas pemberitaan aksi Reuni 212.
Alasan saya tidak berkomentar sederhana. Saya masih bersimpati pada rekan seprofesi. Simpati saya bukan pada petinggi medianya, tapi wartawan di lapangan yang tidak selamanya tahu menahu kebijakan ‘politik’ redaksi untuk memilah berita.
https://opiniindonesia.com/2018/12/08/reuni-212-kasus-tabloid-monitor-dan-media-nasional/
Jadi, tidak ada alasan untuk menyinggung nama satu institusi pun. Sebab saya selalu percaya institusi media bukan stempel satu warna. Di dalam satu media terdapat beragam warna pemikiran dan sikap. Sekalipun saat berbicara keluar institusi itu hanya mewakili satu sikap.
Baca Juga:
Dukungan Emosional dan Logistik PROPAMI Care Ringankan Beban Panti
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
Tulisan saya ini sebagai sebuah bentuk respons untuk mengomentari tulisan-tulisan sebelumnya dengan tema yang sama terkait posisi media dalam pemberitaan 212. Semoga tulisan ini bisa menjadi memperkaya perspektif.
Langsung ke pokok persoalan, pagi ini saya membaca tulisan dari Pepih Nugraha berjudul, “Belah Dadamu, Lihat Sendiri Dukung Siapa Kamu.” Tulisan yang begitu menggelitik saya adalah pesannya yang menyasar pada persona wartawan lain yang punya pandangan berbeda.
Secara singkat, tulisan Pepih menjadi sebuah ‘serangan balik’ terhadap tulisan Hersubeno Arief cs. Serangan yang sayangnya tidak direncanakan secara matang. Saya memandangnya hanya sekadar respons kilat untuk segera meredam kebisingan publik usai mereka membaca tulisan Hersubeno cs.
Jadi, tulisan itu tidak menjawab atau mematahkan pesan kritik yang disampaikann Hersubeno. Tulisan itu hanya berbicara kepada pembaca yang kini menghujat beberapa media. Jadi hujatan publik dibalas hujatan wartawan, meski dengan polesan kata dan diksi yang lebih tertata.
Baca Juga:
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Namun pertanyaan utamanya tentang sikap media terkait nilai berita 212 tidak terjawab lewat tulisan Pepih. Padahal di situ letak perdebatan sesungguhnya. Perdebatan utama harus diletakkan pada pesan yang disampaikan bukan ke persona si pembawa pesan.
Memang bukan hal yang haram untuk memperdebatkan si pembawa pesan. Tapi argumentasinya harus kuat dan punya landasan. Bukan sekadar penerawangan hati atau spekulasi dengan meraba nada-nada tulisan.
Jika kita menilai nada tulisan yang dibuat Hersubeno cs selama ini menandakan dukungnya ke Prabowo, maka dengan konstruksi berpikir yang sama kita pun dengan mudah bisa mengatakan bahwa Pepih berada di kubu politik sebaliknya. Jadi tulisan Pepih juga bisa diartikan sebagai bentuk curahan hati atas diri sendiri.
Kembali ke bahasan utama, dengan jumlah massa dan dampak yang dihasilkan, sulit membantah bahwa Reuni 212 adalah peristiwa besar. Untuk membuktikan besarnya dampak Reuni 212, kita bisa merasakan bahwa hingga hari ini kontroversi seputar pemberitaannya masih deras bergulir di ruang publik. Bahkan tulisan Pepih sendiri membuktikan bahwa 212 adalah peristiwa besar.
Baca Juga:
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Sebab segala perdebatan ini bermula dari aksi Reuni 212. Mau pro dan kontra, peristiwa 212 sulit dikecilkan dari segi nilai berita.
Kalau itu aksi politisasi agama, membahayakan ideologi NKRI, dan bermuatan kampanye Prabowo maka itu jadi lebih wajib untuk diangkat ke halaman pertama. Tapi lain halnya jika kegiatan bermakna kecil sama sekali. Jika peristiwa 212 maknanya kecil maka wajar jika tak menjadi sorotan utama media. Kalau 212 maknanya kecil sudah pasti tidak akan muncul banyak pro dan kontra.
Tapi nyatanya, baik yang pro dan kontra menilai 212 punya makna yang besar dalam kaca mata berbeda. Kaca mata positif dan negatif.
Lagi-lagi, jika kaca mata yang dipakai dalam memortet 212 itu negatif, maka nilai beritanya akan jauh lebih besar ketimbang media yang memotretnya secara positif. Media yang berpandangan seperti itu malah punya kewajiban lebih untuk memuatnya di halaman utama. Ini layaknya berita serangan terorisme atau kasus korupsi besar yang sudah barang tentu bakal menjadi menu halaman utama media-media.
Sebab harus dipahami bahwa media adalah alat kritik atas segala fenomena di tengah masyarakat. Media bukanlah alat untuk menjilat atau menutupi kotoran. Jadi makin tak wajar apabila ada media melihat adanya aksi politik jutaan massa dan calon presiden dengan mempolitisasi agama, tapi tidak mengkritisinya di halaman utama. Non sense.
Kambali ke tulisan Pepih, pada akhirnya barisan tulisannya yang berikut ini bisa menjawab pesan yang hendak dia sampaikan dari tulisan itu. “Dalam suasana yang sedang mendidih ini, mungkin agak sulit diterima menjelaskan secara berbusa-busa bahwa media punya “editorial policy” dalam menurunkan sebuah berita, punya sudut pandang berbeda tentang “news value” alias nilai-nilai berita, media punya visi dan misinya sendiri, dan seterusnya, yang semua itu pasti dicibir.. “ah, bela diri mulu deh lo.”
Dari tulisan itu, Pepih sudah mengakui pesimismenya untuk bisa menjawab pesan. Dia pun sejak awal sudah meemprediksi bahwa jawabannya hanya sekadar membela diri. Itulah poin yang bisa saya tangkap dari tulisan itu.
Dalam ilmu jurnalistik manapun yang saya pelajari, sulit rasanya menyatakan Reuni 212 itu kecil dari segi bobot berita. Mau dimaknai positif atau negatif, Reuni 212 adalah peristiwa yang berbobot berita besar.
Memotret Reuni 212 dengan nama pemberitaan negatif bukanlah sebuah kesalahan. Pun halnya memotret pemberitaan Reuni 212 dengan kaca mata positif. Sebab keduanya mewakili persepsi masyarakat yang berhak mendapat informasi.
Tapi menjadi sebuah kesalahan terbesar dan menjadi sejarah terburuk bagi media apabila memanipulasi peristiwa Reuni 212. Peristiwa coba dikerdilkan secara makna. Peristiwa bernilai berita besar coba ditutupi dari halaman muka. Di situlah letak persoalan yang sesungguhnya.
Jika pola manipulasi ini terus jadi kredo media, maka kehancuran bisnis ini tinggal menunggu waktu saja. Saya memakai diksi senjakala media yang pernah dipopulerkan wartawan Kompas Bre Redana lewat artikel opininya.
Rasanya perlu revisi atas pandangan bahwa senjakala hanya terjadi karena perubahan piranti. Sebab senjalaka media itu bukan seekadar akibat kertas koran, tapi akibat problem akal sehat dan kejujuran wartawan.
[Oleh : Bin Ali Chaidar, penulis adalah wartawan bukan kawakan]