DEBAT PILPRES 2019 akan digelar sebanyak lima kali. Debat pertama yang dimulai pada 17 Januari 2019 adalah kesempatan emas Prabowo Subianto menunjukan sisi barunya kepada publik di depan televisi.
Sisi baru Prabowo akan menarik para pemilih dengan rentang usia 17-40 tahun, terutama dari generasi milenial. Strong voters (pemilih emosional) antara Jokowi dan Prabowo sama kuatnya.

Artinya debat capres-cawapres merupakan opsi terbaik bagi mantan danjen Kopassus ini untuk mengambil gelembung terbesar swing voters dan undecided voters dari pemilih rasional dan milenial di Pilpres 2019.
The New Prabowo bisa jadi magnet elektoral buat mereka yang masih galau dalam menentukan pilihan. Prabowo Subianto harus maksimal memanfaatkan momen debat capres 2019 yang difasilitasi oleh KPU ini, tidak masalah siapapun moderatornya nanti.
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
https://opiniindonesia.com/2019/01/02/prabowo-adalah-magnet-baru-pemersatu-rakyat/
Sesuai nomor urut 02 (simbol V), The New Prabowo bisa dilihat dalam dua aspek: Visi-Misi (program) dan Visual-Verbal.
1. Visi
Visi ‘adil dan makmur’ adalah gambaran tentang apa yang akan diperjuangkan Prabowo Subianto jika terpilih. Kepada khalayak, visi Prabowo-Sandi dapat mengungkapkan program unggulannya untuk menjawab kesenjangan antara ‘das sein’ (kondisi aktual) dengan ‘das sollen’ (bagaimana seharusnya) terkait kondisi bangsa Indonesia sekarang ini.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Seperti tingginya harga kebutuhan pokok, kebijakan impor, utang luar negeri, kesempatan kerja, dan lain-lain. Namun begitu, tema debat pertama akan konsentrasi di masalah Hukum, HAM, Korupsi, dan Terrorisme.
Untuk masalah hukum, sisi buram pemerintahan saat ini memang penegakan hukum. Tebang pilih begitu istilahnya. Tajam kepada oposisi yang kritis, tapi tumpul ke pendukung petahana. Padahal di alam demokrasi, membangun sebuah oposisi adalah keharusan, baik itu dalam visi, maupun aksi.
Ada pendapat bahwa problem kebebasan beragama di masa presiden Jokowi justru bersumber dari ketidakadilan penegakan hukum ini. Ironis jika infrastruktur fisik jadi prioritas, sementara infrastruktur hukum termarginalisasi.
Prabowo Subianto bisa memanfaatkan momen ini dengan bersumpah bahwa jika rakyat Indonesia memberi kesempatan kepadanya, maka jabatan strategis Kejaksaan Agung dan Menkumham akan diserahkan kepada profesional, bukan dari partai politik.
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
Janji seperti ini akan dilihat publik sebagai diferensiasi ketegasan dan keberanian seorang pemimpin, bukan polesan pencitraan.
Untuk masalah HAM, Prabowo-Sandi bisa prediksi kemungkinan munculnya isu recehan yang beberapa waktu lalu kembali diucapkan lagi oleh Mahruf Amin – terkait penculikan aktivis 1998.
Sangat mudah menjawabnya. Karena isu ini senantiasa dimunculkan ketika Prabowo maju menjadi Capres, ibarat kue bolu yang dikukus berulang-ulang, namun ‘nyaris tak terdengar’ waktu Prabowo menjadi cawapres Megawati saat Pemilu 2009.
Aroma politisnya lebih kuat dari faktanya. Prabowo justru bisa memantik keuntungan dengan melakukan image restoration – karena dipersepsikan negatif – dengan bukti yang sebenarnya. Banyak fakta bisa diungkap bahwa tidak ada keterlibatan Prabowo sama sekali saat peristiwa itu terjadi.
Apalagi Presiden Jokowi seharusnya yang lebih pantas menjelaskan apa kinerjanya dalam pengungkapan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, yang cuma jadi ‘political gimmick’ demi meminimalisir citra negatif pemerintah. Padahal hal ini terbaca jelas di nawacita, dan sekarang malah kalah populer dibanding cita citata.
Untuk masalah korupsi, banyak yang menganggap pemilu itu hanya mengganti kera dengan monyet. Sami mawon, karena faktanya korupsi tetap marak, OTT semakin banyak. Dan ini terjadi di masa Presiden Jokowi. Mungkin karena kebanyakan janji, jadi banyak lupa.
Simple, Prabowo-Sandi cukup berjanji seperti saat deklarasi di Kartanegara bahwa jika dia menjadi Presiden terpilih maka kasus Novel Baswedan akan selesai dalam waktu 3 bulan saja – dengan membuat TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta).
Salah satu nilai positif Prabowo yang diakui semua pihak adalah tegas dan berani. Publik percaya itu, apalagi jika Prabowo mau mengulang terus ucapannya ini nanti di debat pertama Pilpres 2019. Hal ini tentu menyangkut kinerja Jokowi soal komitmennya dalam pemberantasan korupsi.
Eksplisit ini bisa membandingkan aura leadership antara Prabowo dengan kompetitornya. Jika perlu tambah lagi komitmen dan kepastian untuk tidak melakukan pelemahan KPK (merevisi UU KPK), menambah anggaran, menambah jumlah penyidik independen, membangun gedung baru, atau menambah jumlah atau gaji komisioner dan pegawai KPK.
Terkait masalah terorisme, kapasitas Prabowo jangan ditanya lagi. Ini menu utamanya sejak aktif menjadi tentara. Rekam jejaknya luar biasa. Prestasinya sebagai komandan Kopassus memimpin operasi pembebasan sandera Mapenduma mampu menyelamatkan nyawa 10 dari 12 peneliti Ekspediti Lorentz ’95 yang disekap oleh Organisasi Papua Merdeka.
Singkatnya, Capres dengan latar belakang militer lebih dipercaya publik manakala menyangkut persoalan keamanan dan pemberantasan terorisme. Tanyakan hal ini kepada semua lembaga survei independen, kecuali lembaga ‘sure pay’.
2. Visual
Bagaimanapun juga, yang terpenting dalam debat perdana nanti dan seterusnya adalah penampilan Prabowo itu sendiri. The New Prabowo harus terlihat, baik visual, juga verbal – walaupun memiliki style dan karakter sendiri tetaplah penting.
Manusia itu binatang mata. Secara teoritis, image pertama seseorang umumnya didasarkan pada aspek visual. Karena pikiran manusia itu terbatas (baunded rationality), biasanya persepsi pemilih cenderung disaring oleh filter fisiologis.
Faktor penampilan fisik (fenotipe optis) bisa menyentuh indra para pemilih terutama melalui layar kaca televisi atau penampilan seseorang di depan umum. Terkait penampilan, Prabowo Subianto cukup bertanya kepada tim medianya, cawapres Sandiaga Uno dan ahli designer internasional yang rendah hati, yaitu putranya sendiri: Didit Hediprasetyo.
Mereka paham selera jaman now. Kalau selera emak-emak mungkin Prabowo justru pakarnya. Terbukti setiap kunjungan Prabowo-Sandi ke berbagai daerah selalu antusias dibanjiri emak-emak.
Ketepatan Prabowo memilih Sandiaga Uno juga ‘blessing in disquise’. Prabowo dipandang punya keberpihakan terhadap anak muda dan milenial yang ingin perubahan dan kesempatan terjadinya regenerasi kepemimpinan.
Trend penurunan elektabilitas Jokowi wujud ketika berpasangan dengan Mahruf Amin, sedangkan Prabowo Subianto cenderung naik elektabilitasnya saat mendeklarasikan ‘the rising star’ Sandiaga Uno sebagai cawapresnya
Politik itu persepsi. Tetapi persepsi dalam politik tidak konstan dan bisa berubah, tergantung figur dan pilihan isunya. Re-branding Prabowo adalah proses membangun persepsi kekinian individu yang bersangkutan.
Terpenting re-branding tersebut dapat membangun ketertarikan yang sama (similarity atttraction) dengan potential voters yang melihat dan mendengar langsung dari sang tokoh.
Pemunculan (surfacing) Prabowo saat debat awal nanti merupakan uji citra publik yang penting, karena sudah menjadi nominator untuk dipilih dan mendapat liputan media nasional dan internasional secara luas.
Pemilihan diksi oleh Prabowo-Sandi haruslah tepat dan harus dipikirkan secara baik. Rumusnya sederhana, rileks seperti saat sedang berjoget.
Menyenangkan. Audience dan masyarakat pemilih akan “percaya” atas semua ucapan dan janji kandidat jika hal itu memang dianggap “penting” bagi mereka. Dengan kata lain, ada kesesuaian antara apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh publik saat ini.
Kelemahan petahana sekarang bisa terus dieksplorasi oleh Prabowo-Sandi, yaitu ada problem keselarasan antara janji dan realitanya. Agar tidak menjadi blunder, dukungan data yang valid harus jadi rujukan dalam debat. Argumentasi yang baik akan menguatkan citra, sentimen, dan persepsi positif terhadap “The New Prabowo”. (*)
[Oleh : Igor Dirgantara. Penulis adalah Direktur Survey & Polling Indonesia (SPIN)]
(*) Untuk membaca tulisan Igor Dirgantara yang lainnya, silahkan KLIK DI SINI.