BEBERAPA HARI lalu saya melihat tulisan Tjahja Gunawan Diredja beredar di media sosial menyoroti soal ketidakpantasan Jokowi selfie di bencana Banten/Lampung.
Saya mengenal dia puluhan tahun lalu sebagai wartawan di Bandung. Terakhir dia menulis biography Chairul Tanjung si Anak Singkong.
https://opiniindonesia.com/2018/12/30/media-itu-anjing-penjaga-bukan-pujangga-istana/
Tulisan dia yang melakukan kritik terhadap rezim Jokowi, menambah jumlah wartawan senior atau mantan sebagai penulis2 volunteer dalam membela kebenaran di masyarakat kita.
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Keheranan saya yang bercampur kekaguman saat ini berfokus pada banyaknya mantan- mantan wartawan top saat ini membuat tulisan- tulisan di media sosial untuk mengkritik Jokowi dan pendukung-pendukungnya.
Tentu saja mereka sebagian besarnya, kalau tidak semua, juga membela Prabowo Subianto.
Awalnya penulis-penulis eks wartawan di kelompok oposisi hanya nama-nama itu saja, seperti Naniek S Deyang, Djoko Edhi Abdurrahman, Zeng Wie Jian, dan Nasihin (Nasihin sekarang menghilang atau menghilangkan dirinya?).
Namun, saat ini sudah berpuluh eks wartawan yang menulis sebagai oposisi. Ada Asyari Usman, Hersubono Arief, Tony Rasyid, M Ali, Nasrudin Joha, Tjahja Gunawan dll. yang saya sulit menghapal namanya.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Oh dulu juga ada alm. Derek Manangka, yang bahkan membuat tulisan “Jokowi ada Affair dengan Rini Sumarno”. Kita doakan saja beliau masuk Surga. Aamiin
Kenapa kita perlu mencatat fenomena ini? pentingkah? Ada 3 hal yang menjadi alasan bagi kita untuk membahas tentang mereka. 1) Soal idealisme. 2) Soal kemampuan menulis. 3) “Seeking the Truth“.
1) Soal idealisme, ini benar-benar menyentakkan kita. Sebab, mayoritas wartawan saat ini identik dengan amplop. Berbeda di masa lalu, di mana wartawan identik dengan perjuangan. Jaman Mocthar Lubis, misalnya, menjadi wartawan dianggap sebuah idelalisme.
Jus Soema Dipraja, misalnya, bergabung dengan pemberontak Malari, th 74, ketika koran di mana dia menjadi wartawan dianggapnya tidak sejalan dengan hati nurani.
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
Tentu wartawan bajingan juga ada di masa lalu. Namun, wartawan sebagai simbol idealisme menjadi mainstream. Sehingga pemilik koran atau media memberi ruang kebebasan bagi wartawan dan keredaksian.
Namun, sejak media menjadi industri dan sumber uang, informasi dan berita harus tunduk pada kepentingan pemilik modal. Wartawan dianggap hanya sebagai alat produksi. Karyawan semata.
Disinilah awal hilangnya idealisme.
Wartawan-wartawan atau mantan yang semakin banyak menulis di dunia media sosial menulis tanpa uang. Mereka bukan seperti konsultan politik, misalnya seperti Denny JA yang dibayar mahal untuk setiap Meme. Saya coba tanyakan hal itu ke Kisman Latumakulita, yang mengenal mereka, menurut Kisman semuanya volunteer.
2). Soal kemampuan menulis. Wartawan senior biasanya terkena doktrin 5W+1 (what, who, when, where, why dan how). Doktrin ini membuat mereka jeli, dalam dan “cover both side” dalam menulis. Ini beda dengan kebanyakan generasi medsos, generasi “copy paste” dan “forward“.
Apalagi jika menulis atau penulis berbayar, tentu yang disajikan hanyalah data data dan informasi propaganda, untuk medukung kelompoknya saja.
Dengan kemampuan menulis ala doktrin 5W+1 itu, Asyari Usman, Arief Sofianto, Tony Rasyid, Nasrudin Joha, Hersubeno Arif dll, juga terkahir ini Tjahja Gunawan menghadirkan tulisan berkelas. Tulisan berkelas artinya menampilkan fakta sebagai alat ukur. Sehingga kebenaran yang dicari pembaca bukan manipulasi, melainkan hal nyata.
3) “Seeking the truth”
Terlepas dari keterbelahan masyarakat (divided society) saat ini, masyarakat yang terbelah itu juga ingin mengetahui kebenaran yang sesungguhnya atas sebuah informasi yang beredar.
Hal ini tentu sulit didapatkan saat ini. Karena media sebagai pilar informasi sudah menjadi industri. Bahkan, lebih parah dari industri, media sudah lebih jauh berubah menjadi alat propaganda penguasa.
Bbeberapa media alternatif saat ini seperti rmol, teropong senayan, tabayun, eramuslim, nusantaranews, seruji, ahad, swamedium, pribuminews, faktanews, suaramerdeka, dlsb menjadi serbuan alternatif rakyat yang muak dengan informasi versi pemerintah.
Di masa Soeharto, ketika media dikontrol penguasa untuk memberitakan semua kebaikan penguasa, masih ada cela kebaikan karena wartawan-wartawan saat itu masih independen. Saat ini mencari wartawan baik pun susah.
Penulis-penulis (eks) wartawan senior ini pada kelompok oposisi akhirnya berfungsi menjadi pencerah dalam konteks mendapatkan informasi yang benar.
Banyak penulis seperti saya, Eddy Junaidi, Salamuddin daeng, Dr. Ahmad Yani bahkan Sri Bintang telah dipersepsikan begitu bias. Penulis seperti saya misalnya, seringkali menghindari “cover both side“. Meskipun tentunya soal “truth” yang saya sampaikan memenuhi unsur. (“Truth vs falsehood” yang diperbincangkan Aristoteles dan Plato dalam Theory of Correspondence dan Bertrand Russell dalam Theory or Coherence, bagi seorang ideolog tidak sepenuh benar. ini bahasan lain nantinya).
Sebaliknya, penulis-penulis berlatar belakang wartawan ini menyajikan fakta lengkap, sehingga lebih utuh informasinya. Ada kehausan masyarakat kepada tulisan mereka.
Dalm tulisan ini, saya melihat penulis2 (eks) wartawan ini adalah orang2 merdeka, karena tiga alasan penting tadi sebagai latarbelakang kajian kita: idelaisme, kemampuan menulis dan “seeking the truth“.
Mereka manusia-manusia pencerah, namun tak berbayar. Tanpa bayaran, mereka menjadi jaminan kemerdekaan mereka berpikir. Kemerdekaan berpikir tentu membuat mereka menjadi rujukan rakyat, disampinng kaum ideolog. Rujukan ini minimal untuk kebutuhan rakyat oposisi yang cinta kebenaran.
[Oleh : Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle]