PADA PEMILU 2014, angka golput mencapai 30 persen dari jumlah pemilih. Jumlah yang terbilang tinggi dalam kontestasi Pemilu, dan dianggap ancaman bagi legitimasi sistem demokrasi. Tak hanya itu, sisa surat suara karena golput juga rawan di manipulasi oleh oknum-oknum tertentu dan menimbulkan potensi kecurangan yang akut (kejahatan demokrasi).
Ini tentunya tidak akan membawa perubahan signifikan bagi kondisi Indonesia yang lebih baik. Selain itu, pemilu dan penyelenggaranya bisa dianggap bermasalah atau gagal, jika persentase pemilih yang golput lebih besar dari pemilih yang menggunakan hak suaranya.
https://opiniindonesia.com/2018/12/18/caleg-dan-pilpres-2019/
Mengapa Golput?
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Pertama seseorang bisa golput karena masalah tehnis- administratif. Adakalanya pemilih yang sah tidak terdaftar di DPT. Aktualisasi hak politik individu karena persoalan klasik DPT ini bisa menyebabkan mereka kehilangan hak pilihnya secara konstitusional.
Seseorang terancam tidak bisa menggunakan haknya untuk memilih pada Pemilu 2019 jika tidak memiliki e-KTP, Surat Keterangan (Suket), atau salinan bukti terdaftar sebagai Pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Tempat Pemungutan Suara (TPS) masing-masing.
Jelas bahwa yang membedakan pemilu sebelumnya dengan Pemilu Serentak 2019 adalah bahwa dulu pemilih bisa melakukan kewajibannya sebagai warga negara yang baik hanya dengan de facto (kehadiran fisik) saat pemungutan suara, sementara sekarang syaratnya adalah de jure, yaitu pemilih wajib mempunyai surat keterangan identitas resmi dari yang bersangkutan.
Kedua, golput pun bisa saja terjadi karena nasib atau musibah, bukan pilihan. Misalnya besok niat mau nyoblos ke TPS, tetapi malam harinya mendadak sakit, kecelakaan motor, atau besoknya rumahnya kebakaran, dan lain lain. Intinya ada kejadian di luar prakiraan sebelumnya yang membuat seseorang batal melakukan pemungutan suara untuk menuju ke TPS.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Ketiga, golput sering terjadi karena adanya apatisme politik dalam diri seseorang. Mungkin bagi mereka pemilu itu ibarat hanya ganti monyet sama kera saja (sami mawon). Toh Korupsi tetap marak, bahkan semakin banyak yang tertangkap tangan. Atau pada intinya itu #2019TetapNyojek. Hidup tetap susah.
Janji politik semakin manis, tanpa ada implementasi. Apatisme politik ini juga bisa disebabkan karena ragu atau jenuh dengan pilihan politik yang ada sekarang ini. Skema PT (Presidential Thrashold) 20% bisa jadi sumber kejenuhan yang berakibat tidak banyaknya varian pilihan-pilihan politik yang bisa ditawarkan kepada publik, ketimbang jika PT tersebut adalah 0%.
Keempat, golput ideologis. Pada konteks ini, golput adalah pilihan. Umumnya mereka yang golput merasa elite politik yang berkompetisi dalam kontestasi politik praktis tidak memiliki keberpihakan pada nilai-nilai ideologis yang mereka anut dan yakini. Misalnya, siapapun yang terpilih diprediksi tetap tidak akan punya nilai penghargaan dan komitmen yang kuat terhadap hak-hak asasi manusia.
Terakhir adalah munculnya niat sebagai golput yang pragmatis. Pemungutan suara dilaksankan pada hari Rabu, 17 April 2019. Sementara hari Kamisnya adalah “Harpitnas” (Hari Kejepit Nasional), karena Jumatnya merupakan hari libur memperingati ‘Jumat Agung’ sebelum Minggu Paskah. Hari Sabtu dan juga Minggu biasanya dinikmati sebagai libur kerja.
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
Pemungutan suara mendekati suasana dan kondisi hari libur seperti ini sering mendorong pemilih berpikir panjang untuk menggunakan hak suaranya pada hari ‘H’ pemungutan suara. Mereka cenderung ingin mengambil kesempatan menikmati libur selama 5 hari.
Hal semacam ini senantiasa terjadi dalam berbagai kesempatan dan momentum. Selalu ada untuk niat mengambil cuti dan menikmati libur panjang sebagai motivasinya.
Belakangan sempat muncul gerakan coblos samping atau coblos semua – yang sangat berbeda dengan istilah golput. Jika menjadi golput, seseorang itu sama sekali menolak mencoblos dan tidak mau datang ke TPS.
Gerakan coblos samping atau coblos semua justru melakukan hal sebaliknya. Mereka tetap dateng ke TPS tetapi hanya untuk mencoblos bagian samping di luar kotak pilihan dari kedua calon, atau mencoblos semua kandidat sehingga surat suara menjadi tidak sah.
Bagaimanapun juga, hasil riset biasanya membuktikan bahwa:
1. Jika angka golput pilpres lebih tinggi dari angka golput pemilu legislatif (pileg), ini menandakan adanya faktor ketidakpercayaan terhadap petahana, seperti halnya terjadi pada pemilu di 2004.
2. Sebaliknya, jika angka golput pemilu legislatif yang justru lebih tinggi ketimbang angka golput pilpresnya, maka persoalan teknis administratif terkait dengan data pemilih itulah yang cenderung menjadi faktor krusial. (*)
[Oleh : Igor Dirgantara. Penulis adalah Direktur Survey & Polling Indonesia (SPIN)]
(*) Untuk membaca tulisan Igor Dirgantara yang lainnya, silahkan KLIK DI SINI.