Opiniindonesia.com – Wabah covid-19 memang telah menghantam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang, pada gilirannya, melemahkan rezim Jokowi dan parpol-parpol pendukungnya. Namun, di pihak lain hal ini dijadikan blessing in disguise oleh Jokowi maupun Megawati. Ketika masyarakat terkurung di rumah, Jokowi mengeluarkan sejumlah RUU dan Perppu yang kontroversial. Salah satunya adalah RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Sementara PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri menginisiasi RUU Haluan Ideologi Pancasila.
Kedua RUU kontroversial itu kini menuai badai. Berbagai elemen masyarakat, di antaranya, purnawirawan TNI/Polri, NU, Muhammadiyah, MUI, dan tokoh masyarakat, ramai-ramai menolak RUU HIP. MUI pusat dan provinsi bahkan mengeluarkan maklumat berisi ancaman akan melakukan demonstrasi besar-besaran bila RUU HIP tidak dicabut dari prolegnas. MUI pusat juga mengharuskan RUU Omnibus Law yang sangat merugikan buruh dicabut dari pembahasannya di DPR.
Pasalnya, RUU HIP mendegradasi dan mendistorsi makna Pancasila. Pancasila yang berposisi sebagai falsafah negara, sumber dari semua sumber hukum, direduksi sekadar menjadi UU. Kalau RUU HIP lolos menjadi UU, presiden menjadi penafsir tunggal Pancasila yang berpotensi membuka peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan. Pancasila yang tadinya merupakan “ideologi” terbuka, kini menjadi tertutup di mana hanya tafsiran presiden yang benar. Ini mirip dengan era Orla dan Orba di mana Soekarno dan Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat kekuasaan untuk menggebuk orang-orang kritis terhadap rezim.
RUU HIP nampaknya memiliki empat tujuan. Pertama, mengembalikan Pancasila hasil konsensus 18 Agustus 1945 menjadi Pancasila 1 Juni 1945 yang diusulkan Soekarno. Pancasila usulan Soekarno menempatkan ketuhanan pada urutan kelima dengan tambahan kalimat “yang berkebudayaan”. Megawati seperti tak rela Pancasila rumusan Soekarno berubah sebagaimana bentuknya saat ini, hasil modifikasi para tokoh bangsa di mana Soekarno salah satunya.
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Keinginan Megawati mengembalikan Pancasila 18 Agustus 1945 ke Pancasila rumusan Soekarno terlihat dari pidatonya pada 2017. Ketika itu ia mengemukakan Pancasila dengan susunan yang persis seperti pidato Soekarno pada 1 Juni 1945. Bahkan, meniru Soekarno, ia mengatakan Pancasila dapat diperas menjadi trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Trisila ini dapat diperas lagi menjadi ekasila, yaitu gotong royong. Pancasila dengan ciri trisila dan ekasila inilah yang menjadi haluan dalam RUU HIP.
Pantas saja kalau muncul reaksi keras dari sejumlah komponen bangsa. Secara filosofis dan yuridis pun keliru karena menjatuhkan posisi Pancasila yang merusak sistem ketatanegaraan. Rahmawati Soekarnoputri pun menentang RUU HIP. Di matanya, RUU itu dapat membuat Indonesia bubar.Tak dimasukkannya TAP MPRS No XXV Tahun 1966 yang melarang ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme di seluruh wilayah Indonesia sebagai konsideran atau rujukan menimbulkan kecurigaan umat Islam dan tentara khususnya bahwa RUU HIP bertujuan mengakomodasi aspirasi PKI.
Kedua, menjadikan Indonesia negara sekuler murni. Bentuk negara Indonesia saat ini adalah jalan tengah antara sekuler dan relijius. Ketika Sekjen PDIP Hasto Kristianto membuat bargaining dengan umat Islam bahwa PDIP bersedia menjadikan TAP MPRS tersebut sebagai rujukan dan menghapus pasal pemerasan Pancasila menjadi trisila dan ekasila asalkan larangan radikalisme dan khilafahisme juga dijadikan rujukan menjadi jelas bagi kita bahwa RUU HIP dibuat untuk menghambat faham lain selain Pancasila, khususnya Islamisme. Tawaran ini ditolak. Bukan karena MUI, Muhammadiyah, dan NU, mendukung berdirinya negara Islam di Indonesia — negara berdasar Pancasila sejak awal didukung oleh ulama, termasuk FPI pimpinan Habib Rizieq Shihab — tapi lantaran Pancasila sebagaimana adanya sekarang mau diselewengkan PDIP. Maksudnya, Megawati ingin menjadikan Pancasila usulan ayahnya sebagai jalan menuju sekularisme.
Dengan ciri Pancasila yang dapat diperas menjadi trisila, posisi agama menjadi kabur karena sila ketuhanan yang berkebudayaan menyamakan agama dengan budaya atau agama merupakan ciptaan manusia, bukan ciptaan Tuhan. Lebih jauh, dengan ekasila, posisi agama makin tidak jelas, bahkan hilang. Artinya, agama menjadi terpisah total dari negara atau hanya menjadi masalah pribadi. Megawati sendiri bisa jadi tidak percaya Tuhan. Beberapa tahun lalu, ia mengkritik kaum Muslim yang percaya pada kehidupan akhirat setelah kematian, yang merupakan salah satu rukun iman.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Ketiga, memberi bekal kepada Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. BPIP di mana Megawati adalah Ketua Dewan Pengarah diperkuat kedudukannya. Karena dibentuk hanya berdasarkan Kepres, RUU HIP memberikannya landasan UU. RUU HIP menetapkan BPIP di bawah kekuasaan presiden dan posisinya sejajar dengan kementerian. Dalam konteks ini, pengakuan Jokowi bahwa ia tidak tahu apa-apa tentang RUU HIP menjadi aneh. Memang RUU HIP adalah inisiatif DPR. Tapi mustahil ia tidak diberi tahu soal ini. Apalagi, pembahasannya di DPR telah berlangsung beberapa bulan. Yang Jauh lebih penting, RUU HIP menempatkan presiden sebagai penafsir tunggal Pancasila. Ini mestinya sangat menarik perhatian Jokowi. Penentangan publik muncul juga disebabkan selama ini BPIP tidak berguna dan hanya menghabiskan anggaran negara. Anggotanya bergaji ratusan juta tanpa diketahui apa pekerjaan mereka.
Keempat, RUU HIP melindungi Pancasila dari kemungkinan penafsiran yang berbeda dari tafsiran rezim sekaligus dijadikan alat penggebuk terhadap kelompok-kelompok yang kritis terhadap rezim. Tak heran kalau RUU HIP mendapat gelombang protes berbagai pihak karena berpotensi menciptakan rezim ototiter. Di masa pandemi covid-19 yang diperkirakan akan berlangsung sampai tiga tahun ke depan — yang berpotensi mengancam keberlangsungan rezim Jokowi — RUU HIP diperlukan untuk menghantam kaum oposisi sedini mungkin.
RUU HIP dan RUU Omnibus Law kini menempatkan Megawati dan Jokowi dalam posisi sulit. Maklumat MUI, juga penentangan dari NU, Muhammadiyah, maupun purnawirawan TNI/Polri terhadap RUU HIP mengharuskan Megawati mencabut RUU itu. Jokowi juga harus menghentikan total pembahasan RUU Omnibus Law yang dituntut MUI. Sudah pasti sikap MUI didukung kaum buruh yang memang sudah mengeluarkan ancaman akan turun ke jalan kalau RUU yang berpihak pada para pemodal masih dibahas DPR.
Namun, mundurnya Megawati dan Jokowi dari kedua RUU itu menjadi ujian berat bagi kepemimpinan keduanya. Apalagi hubungan keduanya kini mungkin retak akibat Jokowi menolak bertanggung jawab terhadap RUU HIP. Bila Megawati mundur dari RUU itu, posisinya dalam partai melemah. Ini akan berpengaruh pada kinerja PDIP dan kemungkinan menurunnya perolehan suara partai dalam pemilu mendatang. Hal ini tentu bukan kabar gembira dalam konteks Puan Maharani akan ikut kontestasi dalam pilpres 2024. Jokowi juga tak mudah keluar dari persoalan karena harus menghadapi tekanan dari pemodal dan buruh serta MUI.
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
Bila Megawati dan Jokowi bertahan pada posisi masing-masing seperti saat ini, keduanya akan menghadapi tsunami politik. Memang keduanya seperti menghadapi buah simalakama. Mundur dari kedua RUU itu akan melemahkan posisi keduanya, tapi masih lebih baik ketimbang menghadapi goncangan lebih besar, yang dapat mengakhiri riwayat politik keduanya. Pemimpin memang harus punya kapasitas yang cukup untuk memahami fenomena sosial dan politik yang berkembang di masyarakat. Salah perhitungan dapat berakibat fatal sebagaimana dialami Megawati dan Jokowi saat ini.
Oleh : Smith Alhadar, Penulis adalah Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education.