PEMERINTAH AKAN jauh lebih mulia mengakui ketidakmampuan (inkompetensi) dalam mengatasi masalah ketimbang menghalalkan penjarahan —apa pun alasannya.
Anda, para penguasa, tidak harus malu ketika rakyat menonton impotensi Anda dalam menghadapi situasi kekurangan bahan-bahan pokok di kawasan bencana alam. Tidak perlu repot membuat definisi baru “penjarahan”.
Mengapa Menko Polhukam Wiranto tampil di depan konprensi pers untuk menjelaskan bahwa “mengambil barang dari toko” di Palu atau Donggala bukan penjarahan? Apa tidak lebih baik Pemerintah menyampaikan permintaan maaf dan mengakui saja kelemahan?
Tentu saja meminta maaf dan mengaku salah lebih terhormat daripada mencari-cari alasan untuk legalisasi penjarahan. Masa iya Anda, Pak Wiranto, menyangka publik akan menyetujui definisi “mengambil bukan hak” tidak termasuk “penjarahan”? Dengan alasan bahwa situasi darurat? Tak mungkinlah!
Konsekuensi defini baru penjarahan model Pak Wiranto bisa sangat berbahaya. Sebab, akan banyak orang yang “abusive” (suka penyelewengan) bisa menyediakan alasan kuat untuk menjarah. Tidak usahlah kita elaborasi soal kecerdasan orang mencari alasan untuk menghalalkan penjarahan. Anda bisa renungkan sendiri contoh-contohnya.
Jangan-jangan nanti orang yang melakukan korupsi membuat konprensi pers bahwa itu dia lakukan karena kondisi hidupnya yang darurat. Dan orang akan memperluas penggunaan kata “darurat” itu.
Sekali lagi, alangkan baiknya dan jantannya Anda, Pak Wiranto, kalau menyatakan terus terang bahwa pemerintah sedang sibuk dengan urusan pencitraan pilpres. Bilang saja bahwa “Kami kebingungan ketika bencana gempa dan tsunami di Palu menyebabkan kekurangan makanan pokok dan keperluan dasar lainnya.”
Katakan saja apa adanya. Katakan bahwa mesin pemerintahan sedang bekerja penuh untuk memenangkan petahana di pilpres 2019. Tak terpikir hal lain. Ini mungkin bisa dimaklumi.
[Oleh : Asyari Usman, wartawan senior]