Opiniindonesia.com – Sekalipun ricuh dan akhirnya terbelah jadi dua, Partai Berkarya mulai unjuk gigi. Perpecahan itu pun masih menyimpan tanda tanya, karena terkesan merupakan bentuk intervensi pemerintah. Karena kubu Muchdi PR sebagai Ketum tandingan ternyata menyatakan mendukung pemerintahan Presiden Joko widodo (Jokowi).
Terlepas dari Partai Berkarya, Tommy sendiri ditengarai berada di belakang gerakan-gerakan yang menyerang pemerintah. Jika betul seperti kata banyak orang, uang Tommy tidak ada serinya, seperti kata Seaword, ini tentu merupakan ancaman yang serius. Terlebih dengan adanya pandemi Covid 19 ,dana pemerintah sedang megap-megap.
Sementara itu Jokowi di lain pihak sedang menebar kebencian di kalangan pendukung setianya, yakni para relawan. Setelah menang kedua kali dalam Pilpres, relawan justru tidak dianggap sebagai kekuatan politik strategis. Jokowi lebih senang dikawal oleh TNI dan Polri untuk menjaga otoritasnya.
Tetapi serangan-serangan lewat medsos yang gencar ,terus-menerus menggrogoti pengaruh dan kepercayaan kepada pemerintah. Rakyat juga semakin melihat apa yang dinyatakan dan dilakukan oleh pemerintah tidak nyambung dengan akal sehat dan suara hati terdalam masyarakat. Dalam kondisi seperti inilah Tommy Suharto mulai mengusik legalitas kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019.
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Pada pidatonya pada Munas Partai Berkarya yang baru lalu Tommy Suharto menuduh bahwa pemilu tidak demokratis salah alamat. Karena undang-undang pemilu dibuat di DPR oleh berbagai partai politik. Ini berbeda dengan proses pembuatan undang-undang pemilu di Cina atau Korea Utara.
Demokrasi juga sesuai perkembangan jaman. Dibanding Masa Orde Baru undang-undang politik dan parlemen kita lebih demokratis, karena tidak ada lagi fraksi TNI. Juga dalam hal Pilkada , sekarang rakyat bisa memilih langsung, walau di sana sini masih perlu disempurnakan.
Bahkan perorangan dan partai politik sudah bisa menggugat hasil pemilu lewat pengadilan. Sedang pada masa Orde Baru partai politik tidak bisa menampilkan figur kritis sebagai kandidat. Mereka yang kritis bisa berhadapan dengan operasi khusus yang barbar.
Tetapi kalau yang dimasalahkan Tommy Suharto adalah kelemahan dari Komisi Pemilihan Umum, itu bukan berarti tidak demokratis tetapi persoalan malpraktek. Dan itu sudah diantisipasi, karena KPU bisa mengulang pemilu jika terjadi kesalahan perhitungan. Juga setiap kecurangan bisa berakhir dengan pemecatan petugas KPU.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Jika diukur dari segi demokrasi, sekarang pemerintah sudah menjurus liberal dan keluar dari pakem politik. Karena justru partai yang kalah bisa duduk di kabinet. Sedangkan para relawan pendukung pihak pemenang disingkirkan dan dimarginalisasi, padahal pemenang Pilpres di Amerika diberi hak merekrut 10 ribu pendukungnya masuk dalam pemerintahan pusat dan negara bagian.
Oleh : S. Indro Tjahyono, pengamat politik