Opiniindonesia.com – Demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang berupaya untuk mengantarkan keputusan-keputusan politik secara partisipatif oleh individu-individu yang mendapatkan kekuasaan melalui persaingan yang adil (fairness competition) dalam memperebutkan suara rakyat (Leo, 2005).
Salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum yang dilaksanakan secara periodik yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan siapa yang akan mewakili mereka dalam lembaga legislatif dan siapa yang akan memimpin mereka dalam lembaga eksekutif baik itu dalam pemilihan eksekutif, maupun legislatif.
Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan berfokus pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Oleh karena itu demokrasi menuntut partisipasi aktif dari masyarakat. Dengan diberlakukannya pemilihan umum suara rakyat dapat disalurkan dengan baik tanpa adanya paksaan.
Salah satu agenda reformasi penting yang menandai dilaksanakannya transisi ke demokrasi adalah memperbaiki sisitem pemilihan umum. Penekanan pada sistem pemilihan umum ini menjadi penting karena konsep ini indikator penting dalam mewujudkan konsolidasi demokrasi (IDEA, 2010).
Kemudian dapat dilihat dalam kondisi sistem pemilu yang berkembang dari awal reformasi sampai pada saat sekarang ini, sejak tahun 1999 sampai tahun 2019 pemilihan umum dilaksanakan dengan pemilihan offline yaitu pemilihan dengan cara mencoblos atau mencontreng di atas kertas suara. Pemilihan dengan cara ini tentunya mengalamai kendala baik itu pada proses Pilkada maupun Pilpres.
Pemilu online di Tengah Pandemi
Kendala pemilihan umum ini dipersulit dengan kondisi pandemi COVID-19. Semua aktivitas dibatasi dan ruang publik beralih kedunia digital berbasis online. Pada kondisi ini persiapan pemilu baik itu Pilkada 2020 sempat terhenti bahkan muncul keinginan untuk menunda Pilkada 2020.
Jika dilihat dari persiapan tekhnologi dan komunikasi yang sudah canggih dan ketersediaan jejaring media yang sudah terintegrasi online, pemilu harus tetap dilanjutkan dengan menggunakan sistem voting online. Tidak ada alasan menunda proses demokrasi ditengah pandemi Covid-19.
Voting online ini sebagai bentuk estafet politik dan kepatuhan terhadap anjuran pemerintah untuk menjaga jarak atau social distancing di tengah pemilu, sehingga proses pemilihan beralangsung cepat dengan menjalankan protokol kesehatan. Pada dasarnya opsi ini muncul karena akhir-akhir ini permasalahan dalam penyelenggaraan Pemilu terus bertambah.
Menurut fakta yang telah dihimpun bahwa permasalahan dalam pemilu sangat beraneka ragam yang akhirnya banyak pihak yang membawa ke ranah hukum dan menjadi Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) (Widjojanto, 2009).
Banyaknya perselisihan tersebut dalam Pemilu antara lain disebabkan oleh beberapa faktor ;
Pertama, ketika proses pemungutan suara berlangsung banyak pemilih yang melakukan kesalahan dalam memberi tanda pada kertas suara akhirnya banyak kartu suara yang dinyatakan tidak sah.
Kedua, proses pengumpulan kartu suara yang berjalan lambat, karena perbedaan kecepatan pelaksanaan pemungutan suara di masing-masing daerah. Hal ini ditambah dengan kondisi geografis negara kita yang heterogen sehingga dapat menghambat distribusi kartu suara.
Ketiga, proses penghitungan suara yang dilakukan di setiap daerah juga berjalan lambat karena proses tersebut harus menunggu semua kartu suara terkumpul terlebih dahulu. Keterlambatan yang terjadi pada proses pengumpulan, akan berimbas kepada proses penghitungan suara.
Keempat, keterlambatan proses pengiriman hasil perhitungan suara. Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya infrastruktur teknologi komunikasi di daerah. Oleh karena itu seringkali pusat tabulasi harus menunggu data penghitungan yang dikirimkan dari daerah dalam jangka waktu yang lama. Akibatnya pengumuman hasil pemilu akan memakan waktu yang lama. Kelima, sangat mungkin terjadi “jual-beli” kertas suara demi untuk kepentingan kandidat tertentu yang dilakukan secara sistematis dan terselubung.
Permasalahan ini menunjukkan bahwa pemilu offline (memilih dengan cara contreng atau coblos) sangat rawan kecurangan, rawan suap atau sogok dan rawan manipulasi percetakan kertas suara, pembagian surat suara, penyimpanan kotak suara, perhitungan hasil suara dan boleh dikatakan kecurangan bisa terjadi mulai dari hulu hingga hilir.
Mengapa demikian ? Kenapa tidak coblos atau contreng ? Karena Pemilu yang dilakukan dengan membubuhkan tanda centang atau contreng menggunakan pulpen dengan sebuah alasan mulia, yakni anggapan mencontreng adalah cara yang lebih cerdas dibandingkan mencoblos.
Namun perlu diketahui, dampak utama diberlakukannnya sistem mencentang atau mencontreng disamping pembengkakan biaya karena mengganti sebatang paku dengan sebuah pulpen, juga kesulitan yang akan muncul ketika penghitungan suara dilakukan yang berimplikasi kepada masalah waktu.
Dengan melihat sebuah centangan atau contrengan dibandingkan melihat sebuah coblosan pada kertas yang cukup besar, sistem coblos sangat mudah terlihat, sementara sistem centang atau contreng membutuhkan ketelitian mata yang jauh lebih melelahkan. Apalagi dengan kondisi pulpen yang sudah tipis dan di gores pada foto atau gambar yang sewarna dengan pulpennya.
Dibutuhkan mata dan penerangan yang baik untuk bisa melihat semua itu dengan teliti. Hal ini masih ditambah lagi dengan ketentuan sah atau tidak sahnya hasil centangnya atau contrengnya, bentuk centang atau contreng, letak centang atau contreng dan jumlah centangan atau contrengan.
Tentunya ini semakin bermasalah ketika sosialisasi kepada masyarakat sebagai calon pemilih kurang memadai. Akibatnya muncul potensi suara tidak sah akibat bentuk contreng. Situasi seperti ini menurunkan kualitas dari penyelengaraan pemilu dan secara umum menurukan kualitas demokrasi. Dengan kata lain, pemilu offline sulit dipantau, sulit diaudit dan kebenarannya juga sulit dibuktikan.
Gagasan Electonic Voting (Pemilu online)
Pada kondisi keterbatasan sosial dan kemajuan tekhnologi informasi ini, sudah saatnya pemerintah menerapkan Pemilu secara online (e-voting,) sebagai bentuk modernisasi demokrasi di Indonesia. Menurut (Gritzalis, 2002) menyampaikan bahwa e-voting mempunyai prospek yang lebih baik jika diterapkan pada suatu negara.
Banyak negara yang bermaksud mengganti sistem pemilihan umumnya serta banyak negara yang tertarik pada sistem e-voting layar sentuh. Pemilihan umum online ini mempercepat proses pemilihan, menghemat waktu dan biaya. Sistem kerja electronic-voting ini dengan menggunakan KTP (Kartu Tanda Penduduk) berbasis chip atau kemudian disebut juga e-KTP.
Penggunaan e-KTP untuk mencegah pemilih melakukan pemilihan lebih dari satu kali. Sistem pemilihan ini bertujuan untuk meningkatkan penggunaan teknologi kepemiluan dengan menggunakan alat pemungutan suara elektronik (electronic voting machines atau EVM). EVM terhubung langsung dengan jaringan internet yang diletakkan pada setiap TPS, (Tempat Pemungutan Suara) kemudian masyarakat melakukan pemilihan langsung di atas mesin dengan menggunakan layar sentuh sebagai pengganti kertas suara.
Semua warga negara yang berhak memilih namanya harus tercantum di Daftar Pemilih Tetap (DPT) online yang bisa dilihat dan dipantau dari berbagai tempat. Jika ada warganegara yang merasa berhak tetapi namanya tidak tercantum, bisa memprotes atau mengirimkan data-data kependudukannya beserta nomor Kartu Tanda Penduduk atau Nomor Induk Kependudukan. Untuk menjalankan sistem e-voting ini dibutuhkan satu set perlengkapan mulai dari card reader untuk membaca kartu pemilih yang mencantumkan chip dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK), sebuah layar sentuh yang menampilkan foto kandidat, dan printer struk barcode sebagai bukti telah menggunakan hak pilih.
Pelaksanaan pemilihan umum e-voting berbasis online dapat dilaksanakan dalam beberapa metode yaitu pertama Direct Recording Electronic (DRE). Metode ini para pemilih memberikan hak suaranya melalui komputer atau layar sentuh atau panel atau papan suara elektronik.
Kemudian hasil pemungutan suara disimpan di dalam memori di TPS dan dapat dikirimkan melalui jaringan online ke pusat penghitungan suara nasional. Para pemilih masih diwajibkan untuk datang ke TPS namun data penghitungan suara sudah dapat disimpan dan diproses secara realtime dan online. Kedua, internet voting. Pemilih dapat memberikan hak suaranya dari mana saja secara online melalui komputer yang terhubung dengan jaringan di mana pemungutan suara di TPS langsung direkam secara terpusat.
Metode ini membutuhkan jaringan komunikasi data yang berpita lebar dan keamanan yang handal. Suksenya pemilhan online tentunya tidak lepas dari peran pihak-pihak yang dapat membantu mengimplementasikan gagasan ini.
Pemilihan umum online akan bisa terwujud apabila KPU (Komisi Pemilihan Umum) membangun kepercayaan dengan memberikan sosialisasi kepada masyarakat terhadap sistem pemilu e-voting. Kemudian Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerjasama dalam mengatasi permasalahan yang ada sehingga penerapan tekhnologi kepemiluan dianggap solusi yang tepat dan efektif. Penerapan e-voting diharapkan tetap mengedepankan tujuan akhir dari demokrasi yakni kesejahteraan masyarakat.
Oleh : Ikhwan Arif, Pengamat politik dan Pendiri Indonesia Political Power