PENYANDANG GANGGUAN jiwa atau orang gila (disabilitas mental) memiliki hak pilih pada Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 menuai polemik. Rencana yg di gagas oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini dinilai berlebihan dan tak masuk di akal sehat, dan ini seolah dipaksakan, Masalahnya orang yang mengalami gangguan jiwa sudah tidak mampu mengontrol emosional, dan tidak mengenal dirinya sendiri.
Wacana orang gila memiliki hak memilih juga tentunya akan membuat, dan melahirkan polemik-polemik baru di publik yang tidak perlu dan dikawatirkan akan menimbulkan masalah masalah baru yang tidak perlu.
Wacana orang gila ikut memilih di Pemilu dan Pilpres 2019 ini menjadi kelaziman dalam proses demokrasi, karena kondisi kejiwaan mereka terganggu berdasarkan vonis dari dokter. Bahkan, dokter sendiri telah memutuskan kalau mereka (orang gila-red) tidak mampu menentukan sikap hak pilih mereka, dan ini tentu tidak dapat dipaksakan
Kondisi seperti ini, membuat masyarakat bertanya-tanya, kenapa orang yang kondisi kejiwaannya tidak sehat dipaksakan untuk memenuhi hak pilih. Sementara banyak masyarakat yang namanya belum terdaftar sebagai daftar pemilih tetap (DPT), dan seharusnya hal ini harus menjadi perhatian penyelenggaran Pemilu dan Pemerintah.
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Yang harus diprioritaskan yang belum dapat undangan, belum terdaftar sebagainya, itu harus prioritas dan masalah pemilih ganda yang diperkirakan berjumlah 25 000 000,. Ini yang seharusnya menjadi perhatian Bukannya malah membuat polemik baru dengan melibatkan orang sakit jiwa dalam ajang pilpres mendatang
Meski masalah ini tidak diatur dalam Undang-Undang (UU), akan tetapi hal yang sangat tidak lazim bila saat ini KPU menetapkan atau mewacanakan Orang sakit jiwa untuk diberikan hak suaranya, bahkan mungkin saja yang orang gila ini tidak mengetahui siapa yang dipilihnya dan siapa capres dan cawapresnya dan tentu bila ini benar terjadi tentu wajib menjadi pertanyaan Jika orang gila diberi hak pilih maka hasil pemilu dapat diragukan kualitasnya, pada akhirnya dapat terjadi pelanggaran azaz pemilu yang jujur dan adil.
orang tidak waras di dalam hukum saja tidak bisa diadili, hal ini sama saja dengan hak pilih pada penyandang gangguan jiwa.
“Ketika orang tak waras diperbolehkan memilih, tentu tak bisa mempertanggungjawabkan pilihannya, karena dalam menjalankan demokrasi tentu memiliki dan akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk rakyat yang memilih dan calon yang dipilih lalu
Bagaimana mungkin kita dapat meminta pertanggungjawaban dari orang yang sakit jiwa.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Diketahui, wacana kaum disabilitas mental memiliki hak memilih pada Pemilu dan Pilpres 2019 itu itu tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 11 tahun 2018, tentang pemilih di dalam negeri.
[Oleh : Ryanti Suryawan, politisi Partai Gerindra]