Anda Termasuk yang Mana? Buzzer Moral, Fanatik, atau Komersial

Avatar photo

- Pewarta

Selasa, 8 September 2020 - 11:21 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, Tony Rosyid. (Foto : fnn.co.id)

Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, Tony Rosyid. (Foto : fnn.co.id)

Opiniindonesia.com – Dunia medsos meniscayakan tumbuh suburnya infuencer atau buzzer. Dua kata yang gak perlu dibedakan. Karena kerja dan fungsinya sama.

Jauh sebelum era medsos, influincer atau buzzer itu dipakai di dunia usaha. Untuk iklan produk. Sebagai alat pemasaran. Di era medsos, buzzer lebih banyak dimanfaatkan jasanya untuk iklan politik.

Buzzer saat ini jadi lahan pekerjaan baru yang cukup menggoda. Di sini, ada anggaran besar. Baik untuk buzzer asal-asalan, hingga buzzer kelas profesional.

Terutama di tengah angka pengangguran yang semakin besar jumlahnya di masa pandemi, buzzer menjadi salah satu alternatif lapangan kerja yang menggiurkan.

Tak semua buzzer itu negatif dan destruktif. Banyak orang yang “secara suka rela” menjadi buzzer atas nama keprihatinan dan moral. Tentu saja, gratisan.

Namanya juga relawan. Aktifitas buzzer oleh para relawan dijadikan sebagai alat perjuangan. Buzzer 212 misalnya. Motifnya adalah menuntut keadilan. Ini, tentu positif. Selama tetap menjaga obyektifitas.

Kalau kelompok buzzer diklasifikasi, setidaknya ada tiga jenis buzzer.

Pertama, buzzer moral. Tidak terikat kecuali pada obyektifitas moral. Pembelaannya hanya pada kebenaran yang dianggapnya rasional.

Kalau harus membela dan mendukung seseorang, itu karena secara moral orang tersebut layak dan perlu dibela. Baca, cocok, lalu share. Ini buzzer moral.

Pembelaan dilakukan bukan karena faktor kedekatan, juga tidak ada motif uang dan jabatan. Tidak ada ikatan sosiologis karena satu etnis atau organisasi.

Tidak pula ada ikatan psikologis, karena teman atau pernah mendapat bantuan. Murni karena yang bersangkutan itu tepat dan rasional untuk dibela.

Rilisbisnis.com mendukung program publikasi press release di media khusus ekonomi & bisnis untuk memulihankan citra yang kurang baik ataupun untuk meningkatan reputasi para pebisnis/entrepreneur, korporasi, institusi ataupun merek/brand produk.

Fenomena dukungan masif terhadap Anies-Sandi di pilgub DKI 2017 menggambarkan hadirnya buzzer moral.

Para buzzer tidak membela Anies-Sandi, tetapi melawan ketidakadilan penguasa yang dianggap terlalu jauh intervensinya di pilgub DKI. Bukan semata-mata faktor Ahok, tapi kekhawatiran sejumlah pihak jika Anies nyapres 2019.

Secara teoritis, semakin banyak model buzzer moral, negara akan menjadi lebih baik. Sebab, proses pengelolaan negara akan secara ketat mendapatkan kontrol atau pengawasan.

Disinilah terjadi check and balances. Dengan begitu, negara “relatif” bisa diselamatkan dari segala bentuk penyalahgunaan. Buzzer model seperti ini diperlukan untuk menjaga moralitas bangsa.

Kedua, buzzer fanatik. Buzzer macam ini sangat militan. Faktor psikologis dan sosiologis seringkali menjadi dasar bagi lahirnya buzzer fanatik.

Karena satu kampung, sesama etnis, berada dalam satu partai atau organisasi, simpati berlebihan terhadap performence tokoh, terhipnotis oleh pencitraan, karena faktor “kegantengan” membuat para buzzer itu seringkali bersikap tidak rasional.

Bahkan ada yang gak peduli benar salah. Mereka militan dan bela mati-matian. Bahkan buzzer model ini rela berkorban dan siap mati untuk para tokoh yang dibela.

Para buzzer fanatik ini lahir diantaranya karena kekagumannya terhadap kharisma seorang tokoh. Seperti Habib Rizieq di kalangan FPI, Megawati di mata kader PDIP, para tokoh agama bagi para jemaatnya.

Tokoh-tokoh kharismatik umumnya berlimpah dukungan buzzer fanatik. Tidak berarti bahwa para pendukung tokoh kharismatik itu hanya dari kalangan orang-orang yang abai terhadap rasionalitas.

Tidak! Jangan salah paham. Hanya saja, secara teoritis, orang yang tingkat rasionalitasnya tinggi biasanya tidak terlalu fanatik.

Ketiga, buzzer komersial. Orang menyebutnya sebagai buzzerRp. Menjadi buzzer adalah profesi. Disini, mereka numpang hidup dan cari nafkah.

Sistem kerjanya bervariasi. Mulai ngoceh di medsos, bikin akun palsu, produksi video dan meme, kerahkan demo, sampai menulis artikel.

Tugas mereka hanya dua. Pertama membuat iklan untuk pihak yang mensponsori. Namanya juga iklan, pasti bagus-bagus. Mana ada kecap nomor dua.

Kedua, melakukan counter attack, atau serangan balik. Untuk menjalankan tugas yang kedua, mereka bersikap reaktif. Muncul hanya ketika ada yang menyerang pihak pembayar.

Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.

Ciri utama mereka, menyerang orang atau kelompok. Seringkali membabi buta. Kalau ada sedikit otak, mereka menggunakan data.

Data yang digunakan kadang ngawur. Dipaksakan supaya analisisnya meyakinkan. Dan di dalam narasinya sering ada kebohongan, bahkan fitnah. Pokoknya, bebas moral. Yang penting dibayar.

Biasanya, buzzer komersial ini tidak banyak jumlahnya. Ini berkaitan dengan keterbatasan anggaran. Tapi, mereka profesional.

Ini bisa dilihat pada buzzer penguasa sebagai samplenya. Yang bicara di tv, nge-vlog, bikin video, buat tulisan, komen di medsos, ya orang-orang itu aja.

Peluang bagi aktivis pers pelajar, pers mahasiswa, dan muda/mudi untuk dilatih menulis berita secara online, dan praktek liputan langsung menjadi jurnalis muda di media ini. Kirim CV dan karya tulis, ke WA Center: 087815557788.

Yang pakai blankon, udeng-udeng, kaca mata, nulisnya keinggris-inggrisan. Jumlahnya gak lebih dari 10 orang. Karena gencar, masif, terlatih dan ada fasilitas, akibatnya berisik juga. Seolah isi medsos hanya mereka.

Mereka hanya muncul saat ada kritik pada kebijakan pemerintah. Sekali lagi, ini hanya sekedar sample. Sample yang lain adalah munculnya para konsultan politik berbungkus survei saat pemilu.

Kalangan ini lebih banyak iklan. Dan mereka dibayar untuk terus beriklan. Ngecap, maksudnya. Sesekali bikin meme. Namanya juga lagi nyari duit. Inilah buzzer komersial.

Maraknya dunia per-buzzer-an di Indonesia ini cukup menghawatirkan. Sebab, dunia persepsi rakyat akan dikendalikan oleh iklan. Tepatnya, pencitraan.

Jadi, banyak pemimpin daerah, anggota DPR, boleh jadi juga presiden yang terpilih bukan karena integritas dan kemampuannya, bukan pula karena track record kerjanya, tapi karena iklan. Ini bahaya! Dan inilah yang terjadi selama ini. Maka muncullah istilah “petruk dadi ratu”.

Jika banyak bupati, walikota, gubernur, anggota DPR dan presiden lahir karena iklan buzzer, maka negeri ini sudah jadi “Republik Buzzer”. Sungguh ini telah jadi petaka!

Oleh : Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa.

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru