Opiniindonesia.com – Di tengah ruang publik yang hampa dan minimnya komunikasi politik antara pemerintah dan masyarakat, pasti hanya pesimisme yang muncul. Padahal dalam kondisi ekonomi yang sangat berat dibutuhkan dukungan rakyat yang optimal. Rakyat dituntut ikut menciptakan situasi kondusif dan produktif.
Salah satu bukti dari gagalnya komunikasi politik adalah mencuatnya kembali kasus tidak terrealisasinya presiden menempatkan relawan di jajaran komisaris BUMN. Adian Napitupulu, yang memperjuangkan rekan-rekannya satu organ relawan, tidak sepenuhnya salah. Semua organ relawan juga sudah diminta nama-namanya oleh Presiden untuk ditempatkan sebagai komisaris. Bedanya kalau Adian mau mempertanyakan hak-haknya, relawan lain hanya ngedumel dan malu-malu.
Rakyat Siap Mandiri
Namun andaikata pemerintah (state) mengabaikan komunitas relawan atau masyarakat (society), mereka pun tetap jalankan kewajibannya dalam membayar pajak, menegakkan hukum, dan tetap menjalankan roda ekonomi di masyarakat. Semua ini harusnya diapresiasi untuk mencegah krisis politik dan ekonomi lebih dalam. Porsi ekonomi yang dikelola secara mandiri oleh rakyat dalam kondisi normal mencapai 45% dari seluruh omzet ekonomi nasional.
Hal ini sebenarnya harus terus didukung dengan membebaskan mereka dari pungli dan biaya perijinan yang berat. Di lain pihak Undang-undang Omnibus Law dan Cipta Kerja belum mampu menjanjikan apa-apa untuk kemudahan berusaha karena menuai polemik berkepanjangan. Jika peran pemerintah dalam melakukan pelayanan publik dilakukan optimal itu pun sudah merupakan kredit positif.
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Rakyat sudah tahu pekerjaan rumah yang harus mereka lakukan karena sudah lebih dari 7 dekade mereka ditempa oleh berbagai kesulitan yang bersumber dari pusat elit kekuasaan. Tetapi apakah pekerjaan rumah untuk pemerintah sebagai enabler dan regulator sudah diselesaikan? Belum terlihat adanya birokrasi yang sehat yang dengan cepat mampu mengeksekusi perintah presiden sebagai solusi problem rakyat.
Pemerintah Gagal Melayani Publik
Komitmen pemerintah melaksanakan UU Kesehatan yang mereka inisiasi sendiri juga masih terpental-pental. Menciptakan harga kebutuhan pokok yang murah masih sekedar ilusi. Rakyat sudah teraleniasi dari negaranya dan berpikir lebih baik bertindak menyelesaikan urusan domestik daripada menunggu kebijakan-kebijakan yang membingungkan.
Dan harus diingat influence negara terhadap ekonomi hanya 45%. Kalau pemerintah mandeg negara tidak akan bubar , lihat negara gagal di Afrika yang otoritasnya diambil alih oleh civil society organization, karena entitas elitnya semua mafia bersenjata yang saling berseteru.Ekonomi Indonesia juga didominasi oleh sektor informal, karena 30-70% angkatan kerja bekerja di sektor informal yang pada 1998 menjadi penyelamat ekonomi nasional.
Pertanyaannya sebenarnya adalah masih relakah rakyat membayar pajak untuk negara yang sudah tidak melayani warganya. Apakah mendapatkan listrik merupakan pelayanan publik? Tunggu dulu. Wajarkah harga energi listrik itu, karena rakyat juga diam-diam harus menanggung beban hutang PLN sebesar 200 triliun rupiah. Apakah jalan tol layang suatu pelayanan publik jika biaya pembangunan jalan tol sebesar 300 persen lebih mahal dan harus ditanggung rakyat sebagai penggunanya.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Komitmen yang Hampa
Mengingat bahwa dalam kondisi semi resesi rakyat menjadi tumpuan harapan, maka saatnya pemerintah merebut kembali hati rakyat. Rakyat tanpa negara akan tetap hidup, tetapi negara tanpa rakyat, tak lebih hanyalah gerombolan para tiran.
Oleh karena itu mari kita sudahi sikap dan tindakan yang selalu mencederai hati rakyat. Apalagi kepada para pihak yang selama ini jelas-jelas membidani kelahiran pemerintahan Joko Widodo saat ini. Relawan tidak meminta apa-apa, tetapi hanya karena rasa keadilannya terusik: “kenapa lawan bisa dimanjakan, tetapi relawan dicampakkan”.
Tulisan ini tidak memasalahkan bagaimana perintah Pak Jokowi setelah kemenangannya tahun 2015 akan menempatkan relawan pada jajaran komisaris. Bahkan kala itu ada 300-600 lebih posisi komisaris yang diisi parpol koalisi pendukung SBY yang mau digantikan. Tapi kenyataannya perintah itu tidak pernah ditindaklanjuti dan entah ke mana larinya lebih dari 300 CV (mewakili 300 organ relawan) yang diserahkan ke KSP saat dipimpin Teten Masduki.
Berita yang terdengar, jika relawan masuk dalam jajaran komisaris adalah hasil dari manuver mereka sendiri-sendiri melobi orang sekitar istana dan Kemen BUMN. Presiden Widodo sering terkesan masgul, ketika bertanya pada relawan :”Sudah ditempatkan di mana anda? “, kemudian relawan pun: “Belum Pak”. Yang aneh ada penunjukan seseorang menjadi Wakil KSP dari presiden, tapi SKnya tidak pernah diproses.
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
Jangan Sepelekan Relawan
Jadi Erick Thohir jangan bereaksi aneh-aneh. Tahukah bahwa sebelumnya memang sudah ada komitmen dari presiden untuk menugaskan relawan sebagai komisaris sesuai bidang minatnya masing-masing. Dan masing-masing organ relawan sebenarnya terlibat dalam penyusunan rencana aksi Nawacita. Andaikata relawan menjadi komisaris pun, sebagian gajinya akan digunakan untuk menghidupi organ masing-masing.
Relawan tidak akan merengek-rengek untuk terus minta jabatan, karena dasar kami adalah kerelawanan. Tetapi sebaliknya jangan harap relawan akan tinggal diam, jika pemerintah yang mereka perjuangkan dikerumuni oleh oligarki jahat dan para pembegal. Kami menagih bukan menagih janji, tapi menagih nilai-nilai Nawacita dilaksanakan bagaikan Sabdo Palon Menagih Janji.
Oleh : S Indro Tjahyono, pengamat sosial.