Opiniindonesia.com – Diantara sekian banyak hikmah akibat pagebluk Corona adalah umat manusia bersatupadu dalam melawan angkara murka Covid-19. Namun ada pula manusia yang tidak sudi bersatupadu demi melanjutkan angkara murka kebencian memecah-belah umat manusia seperti yang dilakukan Amerika Serikat terhadap China, Kuba, Venezuela, Iran, Yaman, Suriah, Korea Utara.
Bahkan di Indonesia juga yang berpedoman Pancasila yang seharusnya lebih mengutamakan kasih-sayang ketimbang kebencian, ternyata masih saja ada yang bersemangat melanjutkan pelestarian angkara murka kekerasan batin mau pun ragawi terhadap sesama warga Indonesia akibat tampaknya memang sudah kronis menderita penyakit batin yang disebabkan oleh virus kebencian.
Falsafah
Memang banyak teori politik, antropologi, psikologi, sosiologi, etologi, kelirumologi dan lain-lain logi-logi berusaha menjelaskan kenapa manusia membenci agar manusia tidak gemar membenci. Saya pribadi selalu teringat kepada warisan wejangan ibunda saya yaitu seribu teman masih kurang, satu musuh terlalu banyak.
Baca Juga:
Dukungan Emosional dan Logistik PROPAMI Care Ringankan Beban Panti
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
Memang di masyarakat yang memuja kekerasan, falsafah seperti itu dianggap muluk-muluk serta tidak realistis bahkan sekedar citra kelemahan seorang pengecut belaka. Andaikata Kurawa berpedoman hidup seperti ibunda saya, kemungkinan besar Bharatayudha tidak pernah terjadi.
Sama halnya jika Adolf Hitler menganggap seribu teman masih kurang, satu musuh terlalu banyak maka dapat diyakini tidak ada pembantaian jutaan kaum Yahudi serta tidak ada Perang Dunia II. Layak diyakini bahwa Stalin pasti tidak sepaham dengan ibunda saya.
Kebencian
Setelah menyimak sepak-terjang Donald Trump, saya menyimpulkan bahwa pengusaha yang menjadi penguasa ini fanatik berpaham satu teman terlalu banyak, seribu musuh masih kurang. Trump memberhalakan kebencian maka malah bahagia memiliki banyak musuh.
Baca Juga:
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Bahkan terkesan Donald Duck eh Trump kerap ketagihan menampilkan gaya sikap dan perilaku profokatif demi memancing kebencian orang terhadap dirinya. Makin banyak musuh, Trump makin senang.
Setelah gemar menyebut Virus Corona sebagai “Virus China” dan “Virus Wuhan”, maka terkini Trump kreatif bikin julukan baru untuk Covid-19 yaitu “Virus Kung-Flu”.
Mohon dimaafkan saya sengaja tidak menampilkan tokoh pemberhala kebencian di Indonesia, sebab saya memang penakut maka takut melukai perasaan pihak tertentu. Di masa perang kemerdekaan madzhab kebencian mungkin cocok demi melawan kaum penjajah, namun di masa setelah 75 tahun merdeka rasanya kurang tepat warga Indonesia membenci sesama warga Indonesia.
Kemanusiaan
Baca Juga:
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Sebagai pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan, saya memang tidak setuju kebencian yang menurut keyakinan saya sangat tidak tepat untuk mengejawantahkan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Pada dasarnya falsafah seribu teman masih kurang, satu musuh terlalu banyak siap didayagunakan sebagai pendamping falsafah kasih-sayang lain-lainnya yang mendukung keyakinan bahwa Kemanusiaan adalah Mahkota Peradaban.
Falsafah itu seperti misalnya segenap makna adiluhur yang terkandung di dalam falsafah ojo dumeh, jihad al nafs, fastabiqul khoirot, ajaran Jesus Kristus: Jangan Menghakimi serta warisan wejangan Gus Dur untuk senantiasa peduli dan belarasa terhadap amanat penderitaan kaum tertindas.
Oleh: Jaya Suprana, pendiri Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan