Opiniindonesia.com – Para inisiator RUU HIP tampak sekali ingin menggeser sendi pokok Pancasila dari Ketuhanan Yang Maha Esa kepada Keadilan Sosial. Sendi pokok itu juga dikatakan sebagai oleh Buya HAMKA disebut dengan istilah urat tunggang, dan oleh M Natsir disebut dengan istilah tiang turus. Dengan demikian maka fungsi sendi pokok itu menjadi sangat penting untuk kokohnya suatu pohon besar atau sebuah bangunan. Terkait dengan Pancasila maka tiang turus Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki fungsi yang sangat urgen dan tidak boleh digeser.
Menggeser urat tunggang sama artinya merobohkan bangunan Pancasila sekaligus menggeser kiblat atau orientasi bangsa. Urat tunggang Ketuhanan Yang Maha Esa itu merupakan salah satu hal yang membedakan karakter bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Urat tunggang itu kebenarannya dapat kita rujuk melalui Pasal 29 Ayat 1 UUD NRI 1945 yang berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUD NRI 1945 tersebut, Indonesia juga dikenal sebagai Religious Nation State (Negara Bangsa Yang Religius).
Sendi pokok itu menentukan arah atau kiblat atau juga disebut orientasi bangsa. Penggeseran sendi pokok Ketuhanan Yang Maha Esa (karakter religius) menjadi Kedailan Sosial (karakter profan, material) juga akan mengarahkan kiblat kita kepada perwujudan kehidupan bangsa dan negara ke arah dua kemungkinan, yaitu sekular kapitalis atau ateis komunis. Keduanya sebenarnya musuh Pancasila sejati. Mestinya Pancasila bukan sebuah TABULA RASA, melainkan ideologi yang memiliki blue print kokoh seperti ideologi besar dunia lainnya yaitu ideologi kapitalisme, komunisme dan Islam. Namun, sejak awal tampaknya memang Pancasila tidak memiliki blue print yang jelas dan tegas untuk menentukan titik koordinatnya yang pasti.
Kenyataan sejarah membuktikan, isi dan pelaksanaan Pancasila diwarnai oleh rezim yang berkuasa yang tergantung pada kiblat sesaat pada ideologi tertentu. Pancasila terbukti bisa sangat liberal kapitalis, juga bisa sangat sosial komunis atau sekarang ini Pancasila diisi oleh keduanya, mixed antara kapitalis-komunis. Sistem politik pemerintahannya terkesan totaliter otoritarian (meniru gaya komunis) sedangkan sistem ekonominya terkesan kapitalis (meniru gaya ekonomi liberal kapitalistik).
Sebenarnya kalau kita mau konsisten, Pancasila sebagai Dasar Negara sebagaimana tercantum dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 telah ditafsirkan secara otentik pertama kali dalam Pasal-pasal Batang Tubuh UUD NRI 1945 (yang asli). Para penyelenggara negara yang tergabung dalam Pemerintah Negara Indonesia (legislatif, eksekutif dan yudikatif) adalah pihak yang pertama kali bertanggung jawab untuk menjalankan Pancasila itu dalam merumuskan dan mengimplementasikan sila-sila Pancasila ke dalam kebijakan publiknya. Jadi, bukan warga negara yang dikejar-kejar mengamalkan Pancasila Dasar Negara melalui sarana formal misalnya dengan UU HIP yang didukung dengan UU BPIP. Kedua UU ini justru berpotensi menjadi penyebab disintegrasi bangsa karena akan lahir tafsir tunggal Pancasila dan Badan Kontrol terhadap pelaksanaan Pancasila baik oleh perorangan, ormas, orpol maupun kelembagaan negara. Sementara di sisi lain para penyelenggara justru menerbitkan kebijakan publik yang sangat liberal (UU Minerba, UU Covid, RUU Omnibus Law) dan sangat otoriter, misalnya ada UU Ormas, Pergantian Rezim BIN, Pengaturan ASN, termasuk RUU HIP dan RUU BPIP yang juga sangat berpotensi represif.
Penafsiran tunggal terhadap Pancasila, khususnya turus tunggangnya, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa akan cukup berbahaya jika tidak dilakukan secara baik dan benar mengingat sebenarnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa Pancasila 18 Agustus itu jauh lebih radikal dibandingkan dengan sila Ketuhan, dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya. Mengapa saya katakan lebih radikal? Karena makna sila 1 Pancasila itu adalah: secara moral semua warga negara Indonesia wajib berketuhanan, namun bukan sembarang Tuhan, melainkan Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan itu siapa? Tuhan adalah “the maker and the ruler of the universe”. Selain the ruler and the maker of the universe berarti bukan Tuhan yang pantas untuk dijadikan sesembahan. Juga harus dimaknai Tuhan Yang Maha Esa. Apakah esa yang dimaksud? Esa itu tunggal tidak terbagi dan tersusun atas komponen apapun. Monoteis buka monoplural seperti ciptaannya. Mono dalam hal dzat, sifat dan perbuatan-Nya? Jadi, kalau bukan Esa, maka bukan Tuhan yang dimaksud sila 1 Pancasila 18 Agustus 1945 tersebut.
Adapun sebenarnya, para founding fathers kita sudah tepat ketika menyepakati dasar negara kita adalah lima sila yang tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni1945, yang bunyinya: Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya. Sila ini bermakna bahwa hanya warga negara yang Islamlah yang wajib menjalankan syariat Islam, termasuk meyakini Tuhan Yang Maha Esa (bertauhid). Artinya, warga negara yang beragama lain tidak wajib berketuhanan yang maha esa atau berketuhanan menurut keyakinan agama masin-masing. Boleh bertuhan siapa saja, baik animisme, dinamisme, politeisme bahkan mungkin tidak bertuhan pun tidak ada pemaksaan. Jadi, sebenarnya sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itu lebih moderat dibandingkan dengan sila 1 Pancasila 18 Agustus 1945, yang saya katakan lebih radikal.
Kembali kepada turus tunggang Pancasila. Jadi kalau mau dicari intinya, Pancasila itu berintikan pada sila 1, baik dalam Pancasila 18 Agustus 1945 maupun Pancasila Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Bukan pada Trisila apalagi Ekasila Gotong Royong. Gotong Royong itu tetap frase bahasa Jawa. Perlu diketahui bahwa dalam Bahasa Jawa tidak ada maksud dalam frase gotong rotong itu melebur sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan ketuhanan. Gotong royong tidak ada kaitannya dengan nasionalisme, demokrasi dan ketuhanan. Ia bisa sangat sekuler, anti demokrasi dan tidak ada berurusan dengan nasionalisme. Gotong royong bisa sangat Marxis ketika tidak didasarkan pada keadilan, proporsionalitas dan akhlak ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga gotong royong seolah tidak memiliki kredo batasan mana yang benar, mana yang salah dengan ukuran Ketuhanan Yang Maha Esa. Gotong Royong sangat mungkin menjadi perbuatan yang tidak bernilai dan tidak berpahala. Yang penting sama rasa, sama rata, satu untuk semua, semua untuk satu. Holobis kuntul baris. Dan ini adalah pola pikir kiri, kekirian, lebih tepatnya komunisme.
Oleh karena itu, urat tunggang Pancasila adalah tepat Ketuhanan Yang Maha Esa bukan Gotong Royong. Harus diyakini oleh segenap warga negara Indonesia bahwa orientasi kita harus pada Ketuhanan Yang Maha Esa (orientasi religiusitas) bukan pada gotong royong (oreintasi kefanaan/profan) yang bisa sangat sekuler atau ateis. Dalam Ketuhanan Yang Maha Esa pasti ada gotong royong, karena memang agama mengajarkan pemeluknya untuk saling membantu, bekerja sama dalam hal kebaikan, bukan gotong royong dalam hal keburukan. Namun, dalam gotong royong belum tentu terkandung atau dijiwai Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita mesti jujur dalam berpendapat, bersikap dan bertindak dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila sehingga tidak terjadi distorsi baik di ranah tekstual maupun kontekstual. Saya berkeyakinan, bahwa sebagai religious nation state kita pasti memilih tiang turus Pancasila itu Ketuhanan Yang Maha Esa dibandingkan dengan Gotong Royong.
Oleh : Prof Dr Pierre Suteki SH MHum, Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat