Anak Bukan “Kue Klepon”, Renungan Hari Anak Nasional di Era Digital

Avatar photo

- Pewarta

Kamis, 23 Juli 2020 - 11:58 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jangan perlakukan anak-anak seperti kue klepon. (Foto : Istimewa)

Jangan perlakukan anak-anak seperti kue klepon. (Foto : Istimewa)

Opiniindonesia.com – Bagaimana anak di era digital diperlakukan? Sungguh tidak mudah bagi orang tua, bagi siapapun. Mendidik anak, memang bukan soal rumit. Tapi bukan pula soal sederhana. Harus pas, harus proporsional. Karena tiap anak punya potensi, karakter, dan kepekaan yang berbeda. Tiap anak memang khas, tiap anak pun unik. Seperti dirinya sendiri, bukan seperti anak-anak yang diperbandingkan.

Di Hari Anak Nasional, 23 Juli 2020 ini. Pesan sederhananya adalah “jangan perlakukan anak-anak seperti kue klepon; terlalu mudah di-gibahkan terlalu mudah dibesar-besarkan tanpa mau memberi solusi terhadap persoalan anak-anak itu sendiri”.

Sejatinya, tidak ada anak-anak yang mau dikeluhkan orang tuanya. Tidak pula ada anak yang ingin lemah atau tidak memenuhi harapan orang tua. Maka biarkan anak-anak itu berproses untuk menemukan dirinya sendiri. Tanpa harus dibanding-bandingkan atau dijerat pikiran orang tuanya sendiri. Sehingga yang terjadi bukan maunya anak. Tapi maunya orang tua.

Kadang suka kasihan pada anak-anak sekarang. Terlalu sering “dipaksa” mengikuti apa yang diinginkan orang tuanya. Dalihnya, agar anak bisa lebih berhasil dari orang tuanya. Agar masa depannya cerah. Atau agar anak-anak itu bisa sukses seperti yang dipikir dan dimau orang tuanya. Sementara anak-anak itu tidak pernah tahu, apa sebenarnya yang dimaksud “berhasil” versi orang tuanya itu?

Di zaman now, hampir semua orang tua berlomba dan bersaing mencari cara jitu dalam mendidik anak. Tidak boleh ini tidak boleh itu. Harus les ini les itu. Ikut ekstrakurikuler ini dan ekstrakurikuler itu. Dam begitu wabah Covid-19 melanda, semuanya buyar. Alias ambyar. Dan yang pusing tujuh keliling, justru kaum orang tua. Bukan anaknya. Itulah keadaan anak-anak di era revolusi industri 4.0 yang hidup dalam perangkap “kehendak” orang tua, bukan kehendak anak.

“Nak, pokoknya ayah pengen kamu begini nanti. Karena itu ayah berjuang untuk kamu…” Ada lagi dialog “Nak kalau mau sukses, Mama kasih tahu kamu harus begini begitu …” Begitulah kira-kira dialog yang terjadi antara orang tua dan anak di rumah-rumah. Orang tua hampir lupa, semua yang dilakukan anaknya adalah kehendak orang tuanya.

Maka di Hari Anak Nasional ini, Orang tua bertanyalah kepada anaknya: “Kamu, ingin apa Nak? Kamu mau bagaimana?”. Untuk mendengarkan suara hati anak yang sesunggunya. Untuk menyimak apa yang diinginkan anak-anak kepada orang tuanya.

Kamu ingin apa, Nak?
Andai anak-anak itu ditanya orang tuanya. Mungkin segudang jawaban ingin disampaikannya secara langusng. Agar orang tuanya mengerti apa yang diinginkannya, apa yang diharapkan dari orang tuanya.

Anak-anak yang ingin jadi dirinya sendiri. Anak-anak yang tidak sering dikeluhkan orang tuanya. Bahkan anak-anak yang tidak mudah dibesar-besarkan oleh orang tuanya sendiri sekalipun. Karena mereka, anak-anak yang tidak lembek tidak pula bengis. Anak-anak itu sama sekali tidak mau diperlakukan seperti “kue klepon” yang terlalu mudah dibesar-besarkan dan tdak produktif sama sekali.

Maka anak-anak itu pun akan menjawab. Bila hari ini, aku ditanya orang tua ingin apa?
Aku akan menjawab. Bahwa aku ingin ibuku membiarkan aku bermain sesuka hati, sebentar saja. Aku ingin ayahku melakukan apa saja persis seperti yang dia katakan kepadaku selama ini. Aku hanya ingin ibuku tidak menganggap diriku seperti dirinya. Aku juga ingin ayahku tidak menganggap diriku sebagai foto copy dirinya. Bahkan mulai esok, aku ingin ibuku berbicara secukupnya saja kepadaku, tentang hal yang penting saja. Dan aku ingin pula ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya sebelum menceritakan kesalahan-kesalahanku.

Kamu mau bagaimana, Nak?
Sungguh, aku tidak ingin apa-apa. Aku tidak punya banyak kemauan atau harapan. Aku hanya ingin jadi diriku sendiri. Bukan menjadi seperti yang orang tuaku mau. Karena aku memang bukan orang tuaku. Aku adalah aku, dan kini aku sedang berproses untuk bertemu dengan jati diriku sendiri.

Maka aku, hanya ingin. Ibu dan ayahku ada di sampingku. Sambil memeluk erat dan mendekap penuh kasih sayang. Karena aku khawatir. Ternyata orang tuaku lebih peduli ponsel-nya daripada aku. Ternyata orang tuaku tidak mengenal diriku yang sesungguhnya. Dan ternyata, orang tuaku lebih sering membohongiku dengan alasan untuk kebaikan.

Sungguh, anak-anak Indonesia hari ini. Hanya butuh contoh dan perilaku yang baik-baik. Bukan kritik yang berlebihan atau kebencian yang berkelanjutan. Anak-anak yang tidak perlu diajarkan untuk jadi orang sukses, orang kaya atau orang bahagia. Hanya anak-anak yang lebih optimis dalam hidupnya, bukan pesimisme atau ketakutan yang melulu.

Anak-anak yang lebih mampu menghargai nilai daripada materi. Agar tetap seimbang lahir dan batin, seimbang dunia dan akhirat. Selamat Hari Anak Nasional.

Oleh : Syarifudin Yunus, Kandidat Doktor Manajemen Pendidikan Unpak

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru