Opiniindoneisa.com – Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 yang berisi tentang Pembubaran PKI dan Larangan Menganut dan Menyebarkan Ideologi Komunisme dan Marxisme-Leninisme di seluruh wilayah NKRI mestinya menjadi POLITIK HUKUM RUU HIP. Namun mengapa malah diabaikan? UU IDEOLOGI harus merujuk TAP MPR IDEOLOGI, bukan malah merujuk pada Tap SUMBERDAYA ALAM.
Namun, seandainya pun karena kritik masyarakat lalu Tap MPRS XXV 1966 ini dimasukkan ke RUU HIP, bukan berarti selesai masalah. Intinya RUU HIP telah MEN-DOWN GRADE PANCASILA sebagai Falsafah Dasar Negara dan Norma Dasar Negara (Grundnorm) menjadi Norma Hukum Positif yang dapat dipakai sebagai ALAT GEBUK bagi pihak yang berseberangan dengan rezim. Hal ini sudah terbukti ketika Sekjen PDIP Hasto Kristianto mengajukan bargaining position agar ketika ada larangan ideologi komunisme sekaligus dilarang ideologi yang mengancam Pancasila, yang dia sebut dengan Khilafahisme dan Radikallisme. Sementara diketahui bahwa sebelum ada RUU HIP saja, umat Islam sudah dipojokkan dengan kedua hal itu. Bisa dibayangkan nasib umat Islam jika RUU HIP atau apa pun namanya disahkan menjadi UU, termasuk dengan ganti chasing menjadi UU Pembinaan Ideologi Pancasila (UU PIP).
RUU HIP terkesan juga sulit untuk merumuskan DELIK IDEOLOGI beserta SANKSI PIDANA-nya. Hal itu akan sulit mengingat merumuskan delik ideologi itu akan menyeret kita ke orde diktator otoritarianisme yang menghendaki keseragamam palsu. Padahal kita mengaku sebagai negara demokrasi. Di samping prinsip pokok itu, secara legal formal kita sudah memiliki ketentuan tentang kejahatan terhadap keamanan negara khususnya menyangkut dasar negara/ideologi dalam KUHP. Dan terkait dengan Dasar Negara/Ideologi jelas sudah ada pengaturannya melalui UU No. 27 Tahun 1999 Tentang Perubahan Pasal 107 KUHP dengan menambahkan sisipan huruf a, b, c, d, e, dan f pada Pasal 107 tersebut.
Bunyi lengkapnya sebagai beriikut:
Baca Juga:
Dukungan Emosional dan Logistik PROPAMI Care Ringankan Beban Panti
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA.
Menambah 6 (enam) ketentuan baru di antara Pasal 107 dan Pasal 108 Bab I Buku 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara yang dijadikan Pasal 107 a, Pasal 107 b, Pasal 107 c, Pasal 107 d, Pasal 107 e, dan Pasal 107 f yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 107 a
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
Baca Juga:
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Pasal 107 b
Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dari atau melalui media apapun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107 c
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisnie/Marxisme-Leninismce yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Baca Juga:
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Pasal 107 d
Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisinc-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar
Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 107 e
Dipidana dengan pidana pcnjara paling lama 15 (lima belas tahun:
a. barang siapa yang mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atas dalam segala bentuk dan perwujudannya; atau
b. barang siapa yang mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik didalam maupun di luar tiegeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunismc/Marxisme-Leninisme atau dalam segala, bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan Pemerintah yang sah.
Pasal 107 f
Dipidana karena sabotase dengan pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 (dua puluh) tahun:
a. barangsiapa yang secara melawan hukum merusak, membuat tidak dapat dipakai, menghancurkan atau memusnahkan instalasi negara atau militer; atau diundangkan
b. barangsiapa yang secara melawan hukum menghalangi atau menggagalkan pengadaan atau distribusi bahan pokok yang mcnguasai hajat hidup orang hanyak sesuai dengan kebijakan Pemerintah.
Atas dasar pertimbangan telah adanya ketentuan yang mengatur tentang kejahatan di bidang ideologi atau faham yang ada di KUHP, ditambah dengan UU Ormas dan TAP MPR No.VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, maka tidak ada urgensi lagi untuk menetapkan suatu UU tentang HALUAN PANCASILA. UU HIP tidak mempunyai daya paksa yang kuat jika dibandingkan dengan UU lainnya yang disertai rumusan delik beserta sanksi pidana yang jelas. Jika tetap dilanjutkan, maka lebih tepat posisinya sebagai TAP MPR dengan segala REVISI RUU yang sangat substantif dan juga aspek formalitasnya.
Masih ingatkah bahwa kita pernah punya HALUAN PANCASILA yang dituangkan dalam TAP MPR NO. II Tahun 1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)? Tap MPR itu juga sempat dinilai sebagai alat legitimasi Pancasila yang digawangi oleh BP7 dengan Penataran P4 segala tipe gradasi. Memasuki era Reformasi, Tap MPR II 1978 dicabut dengan Tap MPR No. XVIII 1998 dan BP7 dibubarkan. Pada Tap MPR XVIII 1998 ditegaskan bahwa Pancasila harus dikembalikan kepada kedudukan dab fungsi pokoknya yaitu sebagai DASAR NEGARA. Jadi, membuat Tap MPR atau pun HIP adalah LANGKAH MUNDUR yang akan mengulangi kesalahan sejarah masa lalu.
Jika Pancasila diyakini sebagai ideologi ciptaan manusia, ideologi ini bisa menjadi rapuh jika terdaapat gejala faktor keambrukan ideologi yang sangat rawan itu melingkupi objek maupun subjek ideologi ini. Jadi, kesaktian Pancasila akan lenyap ketika banyak faktor penumbang ideologi merangsek, menggerogoti akarnya yang rapuh. Dan boleh jadi kita sekarang masih merasa memiliki Pancasila, namun sebenarnya kita hanya sekedar memiliki jasadnya, karena ruh Pancasila tidak lagi kita miliki. Kita lebih menggeluti dan mati-matian menerapkan ideologi liberal kapitalstik dan bercampur dengan sosial komunisme yang sangat sekuler dibandingkan menggeluti dan menerapkan ideologi Pancasila itu. Dengan indikasi ini maka dapat dikatakan bahwa RUU HIP justru mempercepat dying-nya Pancasila karena telah menyeret Pancasila terjatuh dalam pelukan filsafat materi yang mengilhami dua ideologi besar penyusup Pancasila, yaitu Komunisme dan Kapitalisme.
Ada hal yang juga penting diperhatikan yakni soal kesatuan dan persatuan bangsa. Potensi perpecahan warga bangsa terbuka karena membuka peluang debat tak berkesudahan sementara Pancasila sudah final. Pancasila bisa lumpuh karena HIP justru akan menjadikan Pancasila ditarik-tarik mengikuti falsafah ideologi lain karena sebenarnya Pancasila itu bagai TABULA RASA. Semua tergantung rezim yang berkuasa.
Akhirnya kita harus sadar bahwa RUU HIP memiliki kecacatan baik secara politik hukum maupun dari sisi substansinya. Distorsi teks dan konteks terhadap Pancasila telah terjadi sehingga terindikasi adanya dugaan makar ideologi Pancasila. Hanya ada satu kalimat yang pas untuk menyikapinya yaitu:
“TOLAK RUU HIP TANPA RESERVE” dan “USUT TUNTAS DUGAAN MAKAR IDEOLOGI”.
Oleh : Prof Dr Pierre Suteki SH MHum, Pakar Hukum/Guru Besar Filsafat Pancasila Undip