Exorbitante Rechten Dan Ancaman Kriminalisasi Terhadap Tokoh Rakyat

Avatar photo

- Pewarta

Senin, 29 Oktober 2018 - 18:52 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

DI ANTARA hak yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda sewaktu berkuasa ialah hak Exorbitante Rechten, dengan hak ini sekali gebuk orang atau kelompok yang tidak disukai oleh penguasa dapat dikriminalisasi, ditangkap, difitnah, dizolimi atau diasingkan tanpa diadili.

Para tokoh pendiri bangsa yang membela kepentingan bumiputera dari penindasan kaum penjajah dulu banyak dikenakan oleh hukuman seperti ini. Diasingkan ke tempat-tempat yang jauh sebagaimana dialami oleh Sukarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Tiga Serangkai: Cipto Mangunkusumo-Ki Hadjar Dewantara-Danudirdjo Setiabudi, serta banyak tokoh lainnya.

Para tokoh lokal dalam cerita pemberontakan petani Banten, 1888, sebagaimana dikisahkan oleh guru utama sejarawan Indonesia Profesor Sartono Kartodirdjo, juga banyak mengalami nasib yang sama.

Hak Exorbitante Rechten juga menjadi alat kriminalisasi tokoh-tokoh informal dalam perlawanan terbesar para petani terhadap ketidakadilan sistem pajak dan penjualan hasil tani, pasca Perang Jawa dan era Tanam Paksa itu.

Sukarno sendiri menjadikan petani sebagai salah satu soko guru politik. Basis ideologinya, Marhaenisme, diambilnya dari nama seorang petani miskin, Marhaen, sewaktu dia melakukan semacam tourney politik di Cigereleng, Bandung Selatan.

Dalam sebuah panen raya yang melimpah ruah ketika telah menjadi presiden, Sukarno sangat bersuka cita karena Indonesia mampu bertahan tidak mengimpor beras, sehingga ia menamakan salah satu jenis padi dengan nama Padi Marhaen. Salah satu lambang dari Pancasila, yaitu padi dan kapas, merefleksikan tekad akan kemandirian bangsa Indonesia dalam bidang pangan dan sandang nasional.

Bagaimana hari ini ?

Nasib petani, petambak garam, termasuk nelayan, yang jasanya dimuliakan oleh Sukarno itu kini masih terabaikan. Bahkan PDIP yang notabene katanya mengemban ajaran Sukarno dan merupakan the ruling party terkesan tidak punya terobosan yang signifikan dan bukti nyata memihak kepada kepentingan kaum marginal tersebut.

Kebijakan impor yang dilakukan Mendag Enggartiasto Lukita belakangan ini oleh banyak kalangan dinilai sangat merugikan petani, antara lain impor beras dilakukan pada masa panen raya dengan kuota yang dilebihkan, meski menurut Kepala Bulog Budi Waseso stok beras nasional aman hingga Juni 2019.

Para mafia impor sering secara sengaja melebih-lebihkan kuota impor untuk meraup keuntungan. Hal ini juga dikeluhkan oleh para petambak garam dan para petani tebu di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Para petani tebu mengeluh karena impor dilebihkan sekitar dua juta ton. Demikian pula halnya yang terjadi pada praktek impor garam.

Dalam suasana tidak adanya pembelaan dan keberpihakan yang jelas dari penguasa terhadap nasib kaum tani ini tokoh nasional Dr Rizal Ramli sudah sejak lama kerap melakukan tourney ke daerah-daerah untuk bertemu dengan kelompok-kelompok masyarakat terpinggirkan seperti petani, nelayan, petambak garam, dan lainnya.

Rilisbisnis.com mendukung program publikasi press release di media khusus ekonomi & bisnis untuk memulihankan citra yang kurang baik ataupun untuk meningkatan reputasi para pebisnis/entrepreneur, korporasi, institusi ataupun merek/brand produk.

Dalam pertemuan-pertemuan itu Dr Rizal Ramli mendengarkan banyak sekali keluhan, yang intinya berupa perlakuan tidak adil yang dialami oleh kaum tani, petambak garam, dan nelayan.

Suatu saat seorang petambak garam yang menggantungkan hidup dan masa depan keluarganya dari usaha garam sambil terisak mengadu kepada Rizal betapa merugikannya impor garam yang kuotanya digelembungkan sedemikian rupa, sehingga garam dari tambaknya tidak dapat terjual secara layak.

Akibatnya dua anaknya yang baru masuk bangku kuliah kini terancam tak dapat meneruskan pendidikan karena tidak adanya biaya. Kejadian seperti ini adalah salah satu dari sekian banyak contoh yang dialami oleh para petani, petambak garam, dan nelayan, yang bukan merupakan hal yang sulit untuk ditemukan faktanya di lapangan.

Tergerak oleh kesadaran sebagai tokoh pergerakan yang hatinya selalu dilekatkan di hati rakyat, dan intelektual yang memahami persoalan serta mampu memberikan solusi atas problem yang ada Rizal sudah sejak lama menyuarakan supaya pemerintah menghapus sistem kuota impor dan menggantinya dengan sistem tarif.

Namun saran Rizal yang secara esensi bakal menguntungkan kaum tani ini oleh penguasa seakan hanya dianggap bagaikan gaung belaka di tengah gurun Sahara.

Tapi ikhtiar Rizal untuk membela kaum tani tidak pernah main-main. Beberapa hari lalu misalnya ia secara langsung mendatangi Gedung KPK (Komisi Pembarantasan Korupsi) untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam praktek impor pangan.

Rizal Ramli menyertakan bukti-bukti berupa hasil audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) terkait dengan Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan Tata Niaga Impor Tahun 2015 hingga Semester I tahun 2017.

Rizal berharap KPK dapat mendalami dan menindaklanjuti laporannya tersebut. Apalagi KPK sudah berpengalaman menangani kasus impor pangan. Salah satu contoh kasusnya merujuk pada kasus yang menjerat bekas Presiden PKS Luthfi Hasan Ishak. Dimana perkaranya dapat terungkap secara tuntas dan menjadi reputasi tersendiri bagi KPK.

Tokoh-tokoh pembela rakyat selalu menempuh risiko. Memihak dan memperjuangkan kepentingan rakyat memang bukan jalan yang mudah. Seringkali risiko dan jalan yang tidak mudah itu berupa fitnah, ancaman kriminalisasi, character assassination, intimidasi, hingga hal-hal yang tidak menyenangkan lainnya.

Rizal Ramli sendiri sejak muda telah menempuh ancaman risiko seperti itu.
Rizal yang mengaku telah mewakafkan hidupnya untuk rakyat, bangsa, dan negeri ini telah banyak melakukan ibadah sosial yang nyata, baik sebagai tokoh pergerakan, ketika jadi pejabat tinggi negara maupun setelah tidak lagi menjabat.

Interestnya adalah melawan ketidakadilan.

Dari sisi ini sebagai wartawan saya melihat Rizal Ramli bagaikan the last man still standing, laki-laki terakhir yang masih tetap berdiri, yang menyuarakan dan membuktikan keberpihakan kepada kaum tani dan nelayan, sebagaimana dulu Sukarno, sebagaimana dulu para pendiri bangsa. (*)

[Oleh : Arief Gunawan. Penulis adalah wartawan senior]

(*) Untuk membaca tulisan Arief Gunawan yang lainnya, silahkan KLIK DI SINI.

Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru