DALAM BEBERAPA hari terakhir Prabowo diberitakan marah kepada media massa yang tidak meliput momen monumental Reuni 212 di Lapangan Monas pada 2/12/18 yang lalu. Harian Tempo menulis berita itu dengan cara yang sinis seperti terlampir di bawah ini.
Mengapa Prabowo marah?
Tentang Prabowo
Prabowo Subianto adalah tentara dan menantu presiden yang tidak biasa. Sebagai menantu presiden kalau mau ia bisa duduk di kantor mewah, mengatur penugasan diri sendiri (yang nyaman dan tidak beresiko), dan naik pangkat lebih cepat dari siapapun.
https://opiniindonesia.com/2018/12/04/pasca-reuni-212-elektabilitas-prabowo-diprediksi-naik/
Tetapi Prabowo tidak melakukan hal itu. Ia memilih menjadi tentara biasa dengan tugas tempur. Sebagai komandan ia bukan tipe tukang perintah yang mengendalikan dari garis belakang. Prabowo berada di garis terdepan, meletakkan dirinya di tengah-tengah desingan peluru, meriskir jiwanya sama seperti apa yang dihadapi anak buahnya.
Itu sebabnya Prabowo memperoleh penghormatan luar biasa dari anak buahnya. Sampai sekarang. Namun lebih dari itu, Prabowo juga seorang musuh yang adil. Ia mendahulukan kemanusiaan daripada yang lain. Ia memperlakukan tawanan dengan baik, dalam keadaan apapun ia tidak pernah melukai perasaan rakyat di sekitar wilayah konflik.
Maka tidak heran bila Prabowo memperoleh penghormatan dari mantan musuhnya. Partai Aceh yang menghimpun para kombatan Gerakan Aceh Merdeka sepenuhnya mendukung Prabowo dalam Pilpres 2014. Aceh mempersembahkan kemenangan terbesar untuk Prabowo ketika itu.
Prabowo Sabar
Banyak orang telah mengetahui bahwa sebagai seorang tentara Prabowo adalah komandan yang keras. Dalam suatu kesempatan Prabowo mengakui hal itu, “Saya harus keras karena yang dipertaruhkan adalah jiwa.
Lebih baik sakit menderita dalam pelatihan daripada mati di medan tempur.” Kekerasan Prabowo itu terbukti tidak mengurangi cinta anak-buah kepada dirinya.
Setelah karir politiknya dihentikan secara paksa, Prabowo merintis karir sebagai pengusaha, baru kemudian ia melangkah ke jagad politik. Namun selama itu ia kenyang oleh penghinaan.
Ia dituduh melanggar disiplin militer, menculik, membunuh, bahkan setengah gila. Apakah ia marah? Sebagai manusia biasa tentu ia kesal, tetapi ia tidak pernah mengumbar kemarahan di depan publik. Utamanya, ia tidak pernah mengucap kata negatif sedikitpun kepada mantan atasan dan seniornya walau terang-terangan telah menyakiti dirinya.
Selama dua puluh tahun terakhir Prabowo berdiam-diri dan bersabar atas atas apapun penghinaan dan pelecehan orang kepada dirinya.
Prabowo Marah?
Bila kemaren ia marah sudah pasti bukan karena masalah yang berkenaan dengan dirinya pribadi. Rocky Gerung saja, seorang intelektual independen yang tidak berkepentingan dengan hasil pilpres, gusar atas boikot media mainstream atas peristiwa Reuni 212 yang monumental. Rocky menyebut boikot itu sebagai penggelapan sejarah. Dan saya disini menambahkan bahwa boikot media massa itu adalah sebentuk perongrongan demokrasi.
Reuni 212 adalah peristiwa penggerakkan massa yang terbesar sepanjang sejarah bangsa ini, bahkan dunia. Momen itu terlepas dari catatan media massa karena para penguasa media dan budak-budak mereka berupaya menggelapkan peristiwa dari sejarah, alias bermaksud mengerdilkan peristiwa itu dengan tidaknya meliputnya.
Padahal jutaan manusia dalam Reuni 212 itu membawa aspirasi dan tuntutan. Jumlahnya yang sangat besar menyiratkan bahwa tuntutan itu democratically significant. Bagaimana bisa media massa yang disebut sebagai pilar keempat demokrasi mengabaikan peristiwa itu?
Maka bukan hal yang mengejutkan bagi saya bila Prabowo memprotes keras boikot media massa mainstream itu. Sebagai seorang nasionalis ia sangat terluka oleh boikot itu dan memahami bahwa dampaknya akan luas kepada kesatuan bangsa dan demokrasi kita.
Selain tidak adil, kebijakan tersebut jelas menciderai demokrasi. Orang bisa tidak mempercayai demokrasi lagi bila nilai-nilai demokrasi ternyata ditaklukkan oleh kepentingan politik para taipan pemilik media.
Namun bagi saya peristiwa itu tetap ada hikmahnya. Itu hanya tambahan bukti seberapa jauh “uang telah mengendalikan demokrasi”. Dengan demikian semakin besar tanggung jawab kita untuk memenangkan Prabowo sebagai Presiden 2019.
[Oleh : Radhar Tribaskoro, penulis muda]