REAKSI MARAH langsung menyeruak begitu Prabowo menolak diwawancarai oleh wartawan-wartawan. Nada tinggi paslon nomer urut 02 itu, dianggap sebagai sikap yang tidak etis. Bahkan, protes Prabowo yang menyebut bahwa pers mayoritas yang tidak meliput aksi Reuni Akbar 212 (2/2=18) di Monas sebagai intervensi.
“Kami punya hak untuk menaikan dan tidak menaikan berita. Kami punya penilaian dan kami punya kebebasan sendiri!” teriak mereka yang ‘menyerang’ sang Capres dari koalisi Gerinda, PAN, PKS, Demokrat, Berkarya itu.
https://opiniindonesia.com/2018/12/06/mengapa-media-kita-menjadi-begini/
Sampai di sini, kita sesungguhnya bisa melakukan perdebatan panjang dan tajam. Tentu, bergantung di mana kita berdiri dan dengan siapa kita beraviliasi. Untuk itu, debatnya bisa sangat panjang dan akan sangat tajam. Saya tentu tidak ingin masuk ke sana.
Baca Juga:
Dukungan Emosional dan Logistik PROPAMI Care Ringankan Beban Panti
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
Saya hanya ingin bertanya bahwa jutaan orang berkumpul bersama dan sudah terjadi tiga kali, 2016, 17, dan 18 dengan damai, tertib, serta tanpa dicukongi siapa pun, tidak menarikkah?
Nilai gotong-royong dan saling berbagai yang selalu dibanggakan oleh Bung Karno, terjadi dalam tiga aksi itu, tidak menarikkah? Jutaan bungkus makanan, kue-kue, minuman, yang berasal dari masing-masing kelompok, di bagikan secara gratis, tidak menarikkah?
Jawabnya tentu memang berpulang pada nurani kita masing-masing. Seperti saya katakan tadi, bergantung di mana posisi pers kita berdiri dan kepada siapa pers kita beraviliasi.
Pers itu sama
Baca Juga:
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Padahal, pers kita dan pers di dunia, sama. Pers di mana pun berada, nilai luhurnya adalah kejujuran dan independensi. Ruh dari pers di mana ia berada wajib menjalankan keadilan dan kesetaraan.
Jadi, di mana bedanya pers kita dan pers dunia? Sekali lagi, saya tidak ingin kita berdebat panjang dan tajam yang ujungnya merugikan.
Kembali ke soal pengabaian (mayoritas pers kita menyebutnya pilihan) fakta tentang jutaan umat yang berkumpul di Monas. Pers asing, jumlahnya puluhan dari banyak negara, memberitakannya, malah Malaysia dan Prancis, membuat aksi serupa dengan jumlah masa yang ikut pun jutaan. Nyaris tak ada yang berbeda dengan aksi 212, baik di Malaysia maupun di Prancis, semua berjalan sangat damai.
Pak Tyasno Sudarto, mantan Kasad, mengirimkan video dan foto aksi di dua negara itu dengan keterangan singkat: Bangkitnya keluatan islam. Alhamdulillah.
Kembali ke soal pengabaian atau pilihan kata mereka, sesungguhnya kita hendaknya mau berkata jujur di dalam hati kita. Benarkah ini soal pilihan? Atau sesungguhnya memang sengaja diabaikan?
Baca Juga:
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Pengamat politik Rocky Gerung dengan tegas mengatakan: penggelapan sejarah. “Bayangkan ada peristiwa besar, kok tidak diliput?”
Saya teringat kisah tahun 1990-an. Waktu itu saya masih menjadi wartawan olahraga di Kompas. Hari itu Ahad, 5 Oktober, di stasiun kereta Tanah Abang terjadi ketusuhan besar. Puluhan Mobil dan motor dibakar, gedung-gedung dirusak.
Ribuan masyarakat yang hendak ke Cilegon untuk menyaksiksn hut ABRI, tak terangkut kereta. Sehari sebelumnya Panglima ABRI Jendral TNI Edi Sudradjat, mengumumkan penonton gratis naik kereta dari Tanah Abang. Animo yang melebihi prediksi akhirnya membuat rusuh.
Saya kebetulan pagi itu sudah ada di kantor, saya menerima telpon langsung dari pihak keamanan. “Berita kerusuhan Tanah Abang tidak boleh dimuat!”. Tak lama redaktur piket menyampaikan pada para senior yang sedang asyik menyiapkan tulisan dan foto.
Begitu diberitahu, mereka membanting mesin tik karena merasa hak dan kebebasannya dibatasi. Ya, berita lurushan itu hanya bisa kita tahu dari mulut-kemulut.
Lalu, ketika jutaan umat berkumpul dan tidak ada kerusuhan, di mana kawan-kawan pers kita itu? Beruntung rakyat Merdeka menempatkannya di halaman depan sebagai head-line, sementara Kompas menaruhnya sebagai berita sampingan.
Orang awam bertanya, kok bisa? Saya mencoba menjawabnya. “Dulu panglima tertinggi media adalah Pemimpin Redaksi, sekarang pengusa media adalah pemilik.”
Jadi, kemana pemilik beraviliasi, kesitu juga irama dan liputan medianya berjalan. Saya paham, para wartawan sesungguhnya menghadapi situasi yang berat. Di sisi lain mereja berteriak tentang kebebasan dan independensi, tapi di sisi laib mereka juga harus menjaga priuk nasinya. Jika mereka memaksakan berbeda, maka pemecatan adalah ujungnya. Sedih memang.
Tapi, terus terang, tidak sedikit pers atau pekerja pers yang justru menikmati posisi seperti ini. Mereka ramai-ramai berlindung bahwa hidupnya bergantung pada perusahaan (pemilik). Untuk itu, jika perusahaan (pemilik) mau A maka mereka pun mengamininya.
Mereka tak lagi berpegang pada moralitas pers yang sesungguhnya. Saya tidak ingin mengatakan mereka telah menggadaikan jubah persnya, silahjan anda nilai sendiri.
Kita yang di luar media harus bisa memaklumi. Ya, kita memang harus memakluminya karena jika mereka dipecat dan tak mampu menafkahi keluarga, kita juga tak mampu memberikannya. Meski jujur, ada rasa malu membuncah di dada saya. Jika itu yang jadi landasan (mudah-mudah bukan itu), mereka seperti tak percaya kebesaran Allah SWT.
Nah, jika begitu, seharusnya mereka juga memaklumi jika Prabowo dan jutaan umat peserta reuni 212 protes dengan nada yang tinggi. Prabowo dan jutaan umat peserta reuni akbar 212 itu bukan orang pers dan merasa tidak diberikan keadilan dalam porsi pemberitaan.
Ya, semua berpulang pada nurani kita masing-masing. Tapi, percayalah, sesama kita bisa saling bersembunyi, tapi Allah maha tahu segalanya. Dan setiap kita akan mempertanggung jawabkan sikap dan pilihan kita nanti. Ya, nanti di saat mulut kita terkunci. Yang perlu kita ingat, saat itu sesal tak ada artinya lagi.
Sekali lagi, semoga NKRI tetap utuh meski pilihan dan cara pandang kita berbeda-beda. Aamiin.(*)
[Oleh : M. Nigara. Penulis adalah wartawan senior, mantan Wakil Sekjen PWI]
(*) Untuk membaca tulisan M. Nigara lainnya, silahkan KLIK DI SINI.