Opiniindonesia.com – Sekitar 33 tahun silam, 1986, ada perisiwa sosial-politik yang mungkin tidak banyak diketahui oleh gerenasi muda. Apalagi generasi milenial. Peristiwa itu adalah penggulingan salah seorang diktator yang paling terkenal di dunia, yaitu Ferdinand Marcos. Dia adalah presiden ke-10 Filipina. Duduk selama 21 tahun sampai akhirnya ‘people power’ (kekuatan rakyat) menyingkirkan dia.
Waktu itu belum banyak ‘hand-phone’ (HP). Boleh jadi belum ada di Indonesia. Kalau pun ada, HP di masa itu beratnya paling ringan setengah kilo. Hampir sebesar beroti 2×3. Juga tidak ada internet. Tentunya belum ada WA, Twitter, Instagram, Telegram, dlsb.
Sebagai wartawan yeng mengurusi berita luar negeri, perkembangan gejolak politik di Filipina kala itu kami ikuti lewat telex yang masuk setiap saat (24 jam) dari kantor berita Reuters, Associated Press (AP), dan Agent France Press (AFP). Jadi, kami menikmati keistimewaan dalam mengikuti perkembangan ‘people power’ di Filipina waktu itu. Menunggu telex terasa sama dengan ‘online’ hari ini. Selalu ‘exciting’. Menyenangkan. Begitulah alat komunikasi waktu itu.
Kita fokus saja ke cerita ‘people power’ 1986. Tidak mudah rakyat Filipina melepaskan diri dari cengkeraman Marcos. Dia telah membangun kekuasaan otoriter selama belasan tahun.
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Dampak sampingan dari pembangunan kekuasaan otoriter itu ialah korupsi dan kesewenangan. Dua hal ini berlangsung ‘out of control’. Tak terkendali. Bisa dipahami. Karena Marcos memerlukan orang-orang yang setia kepadanya dan siap brutal terhadap rakyat.
Marcos akhirnya sampai ke puncak kekuasaan otoriter. Di puncak keotoriteran itu hanya ada satu pertunjukan, yaitu Marcos vs Rakyat. Tanpa wasit. Aturan main pun juga tidak ada.
Petarung yang terkuat dan memiliki berbagai kelengkapan, adalah Ferdinand Marcos. Dia memiliki sejumlah jenderal yang telah dijalari virus korupsi. Tetapi, Marcos tidak memiliki militer secara utuh. Dia lebih suka polisi. Cuma, polisi Filipina sangat lemah waktu itu
Pada 1983, Marcos menjalani cangkok ginjal. Kesehatannya menurun drastis. Tetapi, istrinya, Imelda, mencoba menyambung kekuasaan otoriter suaminya. Imelda muncul sebagai ‘presiden bayangan’. Pada 21 Agustus 1983, pemimpin oposisi, Benigno ‘Ninoy’ Aquino Jr ditembak mati oleh sniper. Ninoy tergeletak berlumuran darah di landasan bandara Manila. Dia pulang dari pengasingan tiga tahun di Amerika Serikat.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Rakyat Filipina ‘mengamuk’. Rapat umum di mana-mana. Di seluruh seantero negeri. Khususnya di Manila. Corazon Aquino, istri mendiang Ninoy, dalam sekejap berubah menjadi pemimpin oposisi. Tidak ada yang menduga ibu rumah tangga ini bakal menjadi ‘orang kuat’ di barisan ‘people power’ Filipina.
Singkat cerita, Marcos dan benteng kekuatan otoriternya mulai guncang. Para petinggi di sekeliling sang diktator paham apa yang terjadi di lapangan, di grassroot. Sampai akhirnya muncul keberanian Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile untuk melawan atasannya sendiri.
Enrile menjadi bersemangat setelah seorang kolonel angkatan darat, Gregorio Honasan, membawa pasukannya untuk menggulingkan Marcos. Aksi ‘people power’ menjadi semakin kuat setelah muncul faksi militer yang dipimpin Kolonel Honasan itu.
Perlawanan yang dipimpin oleh Enrile berhasil mendesak Marcos dan keluarganya untuk meninggalkan Istana Malacanang dan selanjutnya pergi melarikan diri ke Hawaii pada 26 Februari 1986. Marcos terbang dengan pesawat Hercules C-130 milik angkatan udara AS. Dia membawa uang tunai sebesar 717 juta USD plus bukti tabungan sebesar 124 juta USD.
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
Yang menarik adalah ‘legacy’ (warisan) Marcos yang paling fenomenal. Yaitu, hutang yang sangat besar karena ambisinya membangun infrastruktur. Ambisi ini adalah janji kampanye Marcos agar bisa terpilih untuk periode kedua. Dia berjanji membangun jalan dan gedung sekolah serta proyek irigasi pertanian.
Untuk menepati janji infrastruktur itu, Marcos harus menaikkan APBN sebesar 70% dari gabungan APBN 1966-1970. Dia terpaksa mencari pinjaman luar negeri. Jebakan ini membuat pemerintahan Marcos harus membiayai pengeluarannya dengan utang (loan-funded spending). Pola ini berlanjut sampai dia digulingkan pada 1986.
Kebijakan infrastruktur ini membuat perekonomian Filipina tak stabil, dan dampaknya masih dirasakan sampai hari ini. Dampak lainnya adalah utang yang, menurut para pakar ekonomi, harus terus dibayar oleh Filipina hingga tahun 2025 nanti.
Ada kemiripan pengalaman ambisi infrastruktur Marcos dengan ambisi infrastruktur yang ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia akhir-akhir ini. Kesamaannya adalah bahwa berbagai proyek superbesar yang dibiayai utang luar negeri itu dikebut karena nilai propagandanya untuk pilpres periode kedua Marcos, dulu. Dia memang terpilih tetapi korbannya cukup banyak dan berlangsung panjang.
Begitulah kisah singkat tentang penggulingan Presiden Marcos. Ternyata, menghentikan kekuasaan otoriter itu sangat berat. Sering berdarah-darah.
Oleh : Asyari Usman, adalah Penulis wartawan senior.