Transformasi “Radikal” Itu Melalui Ideologi Islam, Mungkinkah?

Avatar photo

- Pewarta

Senin, 20 Juli 2020 - 11:19 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pakar Hukum/Guru Besar Filsafat Pancasila Undip, Prof Dr Pierre Suteki SH MHum. (Foto : suaramerdeka.id)

Pakar Hukum/Guru Besar Filsafat Pancasila Undip, Prof Dr Pierre Suteki SH MHum. (Foto : suaramerdeka.id)

Opiniindonesia.com – Sehebat apapun juga ideologi manusia tidak pernah sempurna. Islam bukan sekedar sebuah religi tetapi juga sebuah ideologi. Apabila hanya sekedar ideologi buatan manusia, maka ideologi itu dapat saja rapuh oleh karena (John T Jost): (1) Ordinary citizens political attitudes lack the kind of logical consistency and internal coherence); (2) Most people are unmoved by ideological appeals; (3) There are really no substantive differences in terms of philosophical or ideological content; (4) There are no fundamental psychological differences between proponents of left-wing and right-wing ideologies.

Pancasila jika dipaksakan kedudukannnya sebagai ideologilayaknya ideologi kapitalisme, komunisme, maka Pancasila adalah ideologi ciptaan manusia, yakni founding fathers bangsa Indonesia. Oleh karenanya Pancasila, ideologi ciptaan manusia ini bisa menjadi rapuh jika 4 gejala faktor keambrukan ideologi yang sangat rawan itu melingkupi objek maupun subjek ideologi ini.

Jadi, kesaktian Pancasila akan lenyap ketika 4 faktor penumbang ideologi merangsek, menggerogoti akarnya yang rapuh. Dan boleh jadi kita sekarang masih merasa memiliki Pancasila, namun sebenarnya kita hanya sekedar memiliki jasadnya, karena ruh Pancasila tidak lagi kita miliki. Kita lebih menggeluti dan mati-matian menerapkan ideologi liberal kapitalstik dan bercampur dengan sosial komunisme yang sangat sekuler dibandingkan menggeluti dan menerapkan ideologi Pancasila itu.

Agar sustainibilitas peradaban manusia yang mulia tetap dapat berlangsung, ambruknya ideologi sekuler baik kapitalisme maupun komunisme atau yang mirip dengannya itu harus diganti dengan mengajukan proposal yang mampu menopang peradaban manusia tersebut dengan seseuatu pedoman hidup yang dibuat sendiri oleh Yang Maha Pembuat (Khalik), yakni berwujud Religi samawati, yakni Islam dengan seluruh ajarannya yang lengkap dan tidak ada keraguan di dalamnya.

Religi Islam berbeda dengan ideologi ataupun religi bumi. Islam sebagai agama dan ideologi memiliki keunggulan sebagai berikut:

Pertama: Mengubah pandangan: dari pemikiran yang dangkal ke pemikiran yang mendalam. Hal ini tercermin dalam aqidah Islam yaitu: pemikiran yang menyeluruh tentang alam dari sebelum dan sesudah kehidupan.

Kedua: Islam mengubah standar manusia dalam perbuatan, yang semula hanya untuk kenikmatan diri sendiri menjadi berstandar halal atau haram.

Ketiga: Mengubah pemahaman tentang bahagia. Bahagia bukan diukur dari telah terpenuhinya nafsu manusia saja melainkan ketika pemenuhan kebutuhan manusia berdasar ridho Alloh.

Keempat: Mengubah interaksi manusia dari yang semula hanya mengejar manfaat dan diikat hanya sukuisme, nasionalisme dan atau negeri menjadi ikatan aqidah. Orang Islam itu merasa bersaudara dengan tidak peduli dari bangsa mana ia berasal.

Benar memang, manusia hidup membutuhkan ideologi, tetapi tidak semua ideologi mampu menuntun manusia mencapai visi hidup yakni hidup setelah mati (kampung akherat). Hanya Islam sebaga ideologi yang mampu mewujudkan visi tersebut. Oleh karena itu, ideologi yang tidak mengandung kebenaran objektif cenderung akan ditinggalkan oleh pendukungnya dengan menggantinya. Religi adalah jawabnya. Lebih tepatnya Religi Islam.

Ideologi yang tidak berbasis pada aqidah adalah ideologi sesat dan akan menyesatkan pendukungnya dalam mencapai kebahagiaan sejati. Tidak mungkin kebahagiaan sejati akan tercapai tanpa ideologi yang berbasis pada aqidah dan mampu pula untuk dirunut secara rasional. Ideologi yang benar akan menjauhkan diri dari indoktrinasi. Indoktrinasi hanya akan melahirkan kepatuhan yang semu (pseudo obidience). Kepatuhan yang semu inilah awal dari sebuah ideologi memasuki senjakalanya. Pancasila ketika dipaksa pembumiannya melalui percakapan indoktrinasi bukan melalui percakapan fitrah hidup dan nalar sehat nasibnya juga akan sama, dying—sekarat. Apalagi memaksakan diri harus ada lembaga yang menangani Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan doktrin ideologi dengan sebuah Haluan (HIP), bisa diprediksikan kepatuhan yang dihasilkan juga semu

Rilisbisnis.com mendukung program publikasi press release di media khusus ekonomi & bisnis untuk memulihankan citra yang kurang baik ataupun untuk meningkatan reputasi para pebisnis/entrepreneur, korporasi, institusi ataupun merek/brand produk.

Islam itu bukan fiksi apalagi fiktif, melainkan real ADA, tetapi sayang sekali Islam tidak dipahami dengan baik bahkan oleh pemeluknya sendiri. Setelah dipahami dengan baik belum tentu diterapkan dalam seluruh bidang kehidupannya. Inilah yang makin memperburuk kejatuhan peradaban Islam yang memiliki VISI JAUH KE DEPAN. FUTURISTIK! Anda mau tetap diam tanpa melakukan apa pun dalam rangka melakukan transformasi hidup agar sesuai dengan fitrah manusia? Lalu, apa sebenarnya tujuan hidup yang tengah dan akan kita capai?

Oleh : Prof Dr Pierre Suteki SH MHum,Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru