Ahad pagi (30/8/1981), jarum jam masih menunjukkan angka o5.15, Jakarta masih sepi. Empat mobil sedan berwarna hitam, keluar dari halam parkir hotel Hilton, Jakarta. Tanpa pengawalan apapun, mobil meluncur cepat sekali.
Motor Kawasaki Binter GTO warna hitam yang saya naiki, tak jadi berbelok. Saya pacu untuk mengejar rombongan itu. Feeling saya mengatakan bahwa itulah sumber yang harus saya kejar. Tepat, mobil-mobil itu berbelok ke-kiri, naik ke jembatan Semangi, lalu menuju Halim Perdanakusuma, airport internasional.
Tapi, motor saya kewalahan, empat mobil hitam itu tak terkejar. Tugas dari bos saya, Bang Valens Goa Doy, desk Olahraga Kompas, tak boleh saya abaikan. Apalagi, tugas ini sangat spesial, sangat eksklusif.
“Besok jam o5.oo Mamby pulang, Nig kejar ya,” katanya menjelang dead line jam 24.oo di kantor Pal Merah, Jakarta.
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Saya coba meluruskan, maklum kami para peliput Thomas Americo vs Saoul Mamby tahu bahwa Sabtu akan ada jumpa pers. “Sore bang. Kan jam 11 ada pres konpres di Hilton,” tukas saya.
“Berubah Nig,” lanjut Bang Valens. Ya, seperti biasa, Bang Valens memang selalu dapat info-info khusus. Maklum, jaringan bos saya itu sangat luar biasa.
Karena info itulah pagi-pagi saya sudah di jalan. Padahal jujur saja, keletihan sudah menggayuti tubuh saya. Tadi malam saya meliput pertarungan Kejuaraan Dunia tinju Kelas Super ringan WBC, yang untuk pertama di gelar di Indonesia. Dan hasilnya, Saoul Mamby menang angka majority dececion atas Thomas Americo, di Istora Senayan. Bukan hanya itu. Sudah lebih dari dua minggu saya nonstop mengejar Americo. Dari situ juga liputan Kompas semakin berbeda dengan media lain. Saya dan sahabat saya Yan Sonora (radio) mengejar Americo dari Airport Kemayoran hingga ke Matraman. Pendeknya saya sungguh-sungguh seperti tak sempat bernapas.
Tapi, sebagai wartawan muda, saya berhasil membungkam rasa letih itu. Tugas khusus ini adalah kesempatan terbesar untuk saya.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
“Kabur”
Pertarungan Thomas vs Mamby sejak awal penuh liku. Bahkan promotor awal, Boy Bolang terpaksa hengkang dari tanah air. Silang sengkarut itu banyak sekali versinya. Sebelum akhirnya Herman Sarens Sudiro dari Satria Kinayungan Boxing Promotion mengambil alihnya.
Secara teknis, Thomas bukan lawan tanding yang setimpal untuk Mamby. Tapi, ada nilai politik yang tinggi di sana. Thomas pemuda asli Timor Timur yang hijrah ke Malang di bawa oleh Sida Balok dan dibina eh Walikota Malang, Soegiono. Masalah Timtim masih jadi pembicaraan di tingkat internasional.
Singkatnya, Thomas dijadikan duta olahraga untuk meredam kasak-kusuk itu. Bahkan dari kisah yang saya peroleh, Thomas 90 persen pasti jadi juara dunia.
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
“Kenapa?” tanya saya pada Pak Herman.
Dari sanalah saya tahu bahwa tinju pro itu bukan olahraga biasa. Bukan sekedar adu-jotos antar dua lelaki tanpa baju di atas ring. Tapi, politik dagang dan politik sungguhan. Di kemudian hari saya melihat tinju pro itu berada di antara MMA/UFC yang full idialis dan smack down yang murni entertaiment. Satu kali dia idialis dan tak jarang dia entertaiment.
Meski demikian, seluruh kemenangan harus diraih. Di atas ring tidak ada gol bunuh diri. Jika lawan tidak ditinju, tidak akan pernah meninju sendiri.
Nah, itulah dasarnya kata sang promotor. “Pokoknya setelah Thomas menang, silaing (bahasa Sunda yang artinya kamu) meunang Minicooper!” janji promotor.
Dari percakapan tingkat tinggi, Mamby konon sudah bersedia kalah. Ini bukan tanpa alasan. Belakangan saya dapat info, Mamby ingin menghindari mandatory fight vs Leroy Haley peringkat satu WBC kelasnya dan Univikasi dengan Aaron Prayer, juara dunia WBA super lightweight yang terkenal ganas.
Jika Mamby kalah, maka bisa melakulan remacht dengan Americo. Dan karena kelasnya memang jauh di atas, Mamby yakin akan merebut kembali sabuknya. Jika itu yang terjadi, maka ia bisa tiga kali melakulan pertarungan pilihan.
Tak heran, berulang kali Mamby, kasat mata terlihat ‘menyerahkan’ wajahnya untuk digebuk. Namun sayangnya Americo justru hanya menonton. Dan yang sangat kentara ketika ronde ke-11, Mamby benar-benar berpasrah diri. Tapi, lagi-lagi Americo tak melakukan apa-apa.
Jujur, Americo malam itu sungguh-sungguh bukan seperti petinju. Skill nya jauh dari cukup, bahkan kategori standar saja tidak. Dan paling menonjol sepanjang 15 ronde, Amarico tak pernah duduk saat jeda dan double cover nya aneh, kepalannya menghadap keluar.
Nah, entah karena kesal atau apa pun Mamby yang awalnya akan melakukan jumpa pers untuk menyatakan ,remacht batal total. Maka subuh itu Mamby dan rombongan ‘kabur’ dari hotel Hilton.
Belakangan pula, Mamby akhirnya tak bisa mengelak dari Hatley. Mereka dua kali bertemu di tahun 1982, dan keduanya Mamby kalah.
Maka, ketika mendapat info Mamby meninggal, semua bayang-bayang kisah 1981 muncul seketika. Bahkan pekik sorak sekitar 12.000 penonton yang memadati Istora Senayan seperti masih terdengar jelas. Bahkan teriakan-tetiakan: “Americo… Amarico…,” juga masih terngiang gemanya.
Bahkan wajag-wajah: Boy Bolang, Herman Sarens, Americo, Soegiono, serta Mamby masih terekam dengan baik. Mamby menjadi orang terakhir yang pergi, sementara yang lain sudah jauh lebih dulu. Americo sendiri tewas dengan kondisi sangat menyedihkan di saat masa yang tak menentu..
Selamat jalan Mamby..
[Oleh: M. Nigara. Penulis adalah Wartawan Olahraga Senior]