Opiniindonesia.com – Selesai naruh mobil di bengkel di kawasan bintaro, saya naik angkot. Kenapa naik angkot, gak naik Grab Car? Alasan ekonomis di masa pandemi. Hehe..

Tepatnya, ingin merasakan suasana sosial yang lebih plural dengan para penumpang angkot yang lain. Di angkot ada sensasi dan inspirasi tersendiri. Ini gak ditemukan saat naik mobil pribadi atau Crab Car.

Duduk di depan, persis samping mas sopir. Satu persatu penumpang di belakang nyerahin kartu. Oleh sopir kartu itu di tempel di mesin kecil yang ada di depan. Bunyi tiiit. Lalu, kartu itu dikembalikan satu persatu ke para penumpang.

Giliran ke saya sopir nanya: mana kartunya pak? Kartu apa? Saya balik nanya. Aku gak punya kartu angkot, Jawabku. Kalau gak punya kartu, gak bisa pak. Katanya. Oh, kalau gitu, aku turun depan.

Ketika angkot berhenti, aku tanya lagi sebelum turun. Kalau kartu e-toll bisa? Bisa pak. Mandiri dll. Jawab sopir itu. Oh, kalau gitu, aku punya kartu e-toll mandiri.

Segera aku keluarin dari dompet, dan kartu ditempel di mesin kecil di depan sopir. Ternyata, bisa! Alhamdulillah, ucapku. Aku gak jadi turun. Mobil jalan lagi.

Ini gratis pak. Sudah dua tahun. Sopir kasih
Info. Seketika, Insting investigatorku on. Ada dorongan untuk wawancara ke sopir angkot. Penasaran. Maklum, insting wartawan!

Ini betul gratis? Tanyaku lagi. Betul! 0 rupiah bayarnya. Sopir itu menjawab. Aku lihat di mesin, betul. Angka 0.

Berarti digaji bulanan ya mas? Tanyaku lagi. Berapa gaji sebulan? 4,2 juta, katanya. Oh, gaji tetap, gak dikejar setoran, kerja dengan tenang. Sahutku. Sopir mengangguk.

Kutanya sopir lagi, ada berapa jumlah angkot yang gratis di DKI? Dia beri rincian per rute. Hapal betul sopir ini.