Opiniindonesia.com – Pandemi Covid-19 ini masih melanda. Meski di beberapa negara menunjukkan angka-angka yang menggembirakan, di tanah air, puncak pandemi justru diprediksi baru akan dicapai pada bulan Mei. Bukan hal yang mudah bagi umat Islam yang akan memasuki bulan mulia Ramadhan.

Di sisi lain gambaran suram akan situasi ekonomi mulai terlihat sedikit demi sedikit. Bersyukurlah, masyarakat kita masih menunjukkan kepedulian yang tinggi kepada sesamanya. Gerakan-gerakan donasi masih bergerak merangkul yang membutuhkan. Tetapi tak dapat dipungkiri, bayangan kesempitan ekonomi tersebut mencemaskan.

Tetapi dunia mungkin ibarat koin yang memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi ada begitu banyak yang kesulitan, merana dan terjepit oleh situasi saat ini. Di sisi lain ada yang sedang mendulang keuntungan. Salah satunya adalah Eric Yuan, founder aplikasi Zoom.

Pemakaian aplikasi yang digawanginya membuat dirinya mendapatkan sekitar 66 triliun. Angka yang tidak sedikit. Bagaimanapun aplikasinya mampu membuat orang-orang tetap terhubung, baik untuk melanjutkan roda-roda ekonomi maupun yang saat ini marak, menggerakkan roda-roda dakwah secara daring (online).

Orang-orang yang dimaksud mendulang keuntungan tentu bukan pedagang kecil-kecilan yang mencoba berjualan masker di pinggir jalan. Tetapi pihak-pihak yang mampu mendulang untung besar-besaran di tengah situasi ini dan bahkan di atas penderitaan orang lain. Termasuk para elit politik.

Situasi pandemi yang melanda masyarakat dunia tak pelak membuat situasi serba tak pasti. Sebagian besar masyarakat dilanda kecemasan karena disorientasi, tak tahu harus berbuat apa, dan dihadapi berbagai kesulitan yang bertubi-tubi. Di momentum seperti ini lazim terjadi elit politik memasukkan agenda mereka.

Para elit politik menyelipkan agenda mereka di tengah krisis. Krisis seperti ini bisa terjadi dalam situasi seperti perang, keruntuhan ekonomi atau bencana alam. Penulis Naomi Klein menyebutnya ‘Shock Doctrine.’ Eksploitasi krisis ini memberi kesempatan pada elit politik untuk menyisipkan agenda kapitalisme bencana yang pro-korporasi.

Klein misalnya menunjuk pada tindakan politisi Mike Pence (yang kemudian menjadi Wapres AS) pasca bencana badai Katrina di AS di tahun 2005. Hanya dalam 14 hari setelah bencana tersebut menghantam, kelompok di bawah Pence menyodorkan proposal ‘Pro-pasar bebas untuk menanggapi bencana Katrina.’

Klein juga memprediksi pada tahun 2017 bahwa Donald Trump akan melakukan hal yang sama dalam merespon bencana. Menyodorkan proposal yang akan merugikan standar kelompok pekerja dan kepentingan publik. Dan prediksi itu terbukti. Trump mengajukan paket stimulus ekonomi sebesar 700 miliar dollar AS yang termasuk pemotongan pajak yang bertujuan untuk jaminan sosial.

Cara-cara lihai seperti ini tentu bukan hal yang asing. Doktrin kejutan di tengah kecemasan orang terus menerus dieksploitasi elit politik. George W. Bush sudah melakukannya dengan sangat lihai dengan mengeksploitasi peristiwa 11 September menjadi dalih untuk menyerbu Irak dengan tujuan minyak dan bisnis rekonstruksi para elit politik di AS.

Di tanah air, kontroversi merebak melibatkan para pemuda yang diharapkan membawa perubahan justru terlibat konflik kepentingan. Kartu prakerja yang diluncurkan pemerintah guna mengantisipasi dampak pandemi justru merebak sisi kontroversinya setelah perusahaan yang didirikan staf khusus Presiden, yang dikenal ‘Stafsus milenial,’ Adamas Belva Syah Devara (kini telah mengundurkan diri) menjadi salah satu mitra dalam Pelatihan prakerja program pemerintah.

Pemerintah sudah mengalokasikan anggaran senilai 20 triliun dengan total penerima kartu prakerja sejumlah 5,6 juta orang. Setiap pemegang kartu prakerja akan mendapatkan bantuan sebesar 3,5 juta rupiah, dimana satu juta rupiah akan dianggarkan untuk mitra aplikator pelatihan, termasuk Skill Academy milik Ruang Guru yang didirikan salah satunya oleh Adamas. Itu artinya akan nada 5,6 triliun yang akan dibagikan ke delapan mitra. Tentu itu bukan jumlah yang sedikit. Bahkan kalaupun hanya satu persennya. Apalagi pelatihan daring tersebut dinilai tidak efektif.

Kritik juga dilontarkan Rachland Nasidik dari Partai Demokrat yang heran mengapa pemerintah bisa dengan gampangnya menggelontorkan uang negara kepada perusahaan tersebut. “Penunjukan perusahaan stafsus itu cuma bukti: pemerintah sangat percaya diri bahwa kekuasaannya mengatasi hukum,” ucapnya.

Pengamat ekonomi, Bhima Yudhistira turut mengkritik persoalan ini. Bukan saja, ia menilai nilainya yang overprice, tetapi juga efektivitas dari pelatihan ini. Maka Bhima pun menganggap model pelatihan online secara berbayar hanyalah kepentingan segelintir orang yang mencari keuntungan dalam situasi bencana.

Begitu pula kontroversi yang membelit Andi Taufan Garuda Putra (sudah mengundurkan diri pula) yang meminta para Camat lewat surat khusus agar mendukung kegiatan perusahaannya yang akan mengedukasi soal pandemi Covid-19 ke masyarakat.

Stafsus milenial tersandung konflik kepentingan.

Konflik kepentingan seperti ini amat menyesakkan masyarakat. Apalagi dilakukan oleh staf khusus ‘milenial‘ yang digadang-gadang akan membawa penyegaran. Kenyataannya, kontroversi seperti ini malah menjadi ‘virus’ yang telah menghinggapi bangsa ini berpuluh-puluh tahun, ketika para pemegang jabatan dalam pemerintahan terlibat dalam berbagai proyek negara.

Konflik kepentingan, seharusnya dimaknai secara luas bukan hanya terjadi pengambilan keputusan ketika menjabat, tetapi juga berpotensi mempengaruhi seorang pejabat publik di masa mendatang. Itu pun tidak terbatas pada keuntungan finansial yang diperoleh, tetapi juga keuntungan non-finansial; bisa dalam bentuk informasi program pemerintah, promosi nama perusahaan, pertambahan pengguna jasa atau data masyarakat. (Choky R. Ramadhan: 2020)

Kenyataannya, istilah’ milenial’ ini hanya menjad mitos belaka akan perubahan, penyegaran apalagi reformasi dalam birokrasi. Pemuda-pemuda yang terlibat konflik kepentingan justru membuyarkan bayangan kita yang terjebak nostalgia, para pemuda pejuang kemerdekaan.

Banyak dari para pejuang kemerdekaan dahulu mengecap pendidikan barat dan berasal dari kelas menengah, tetapi mereka malah melakukan ‘bunuh diri kelas’ dengan melawan pemerintah kolonial Belanda yang memberi akses pendidikan pada mereka.

Mohammad Hatta menjelaskan mengapa mereka sampai melakukan hal ini. Menurut Hatta, para pemuda itu,
“…sudah sangat cepat mengenal kenyataan pahit: Ia melihat dengan mata kepala sendiri nasib dan penderitaan dari massa yang tertekan,…Ia merasakan dan memahami kesedihan dan penderitaan bangsanya…”

Apalagi di sekolah-sekolah milik pemerintah Belanda tersebut, mereka diharamkan berpolitik untuk menegakkan kemerdekaan. Di sekolah-sekolah Belanda tersebut, para pemuda Indonesia diajarkan bahwa pahlawan Barat seperti Mazzini, Garibaldi dan Willem van Oranje adalah pahlawan. Tetapi Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol dan Teuku Umar dianggap sebagai pemberontak, pengacau dan penjahat. (Deliar Noer: 1990)

Sulit bagi kita untuk tidak melihat betapa jungkir baliknya situasi para pemuda masa lalu dengan pemuda semacam ‘stafsus milenial’ saat ini. Mereka bukan saja terlibat konflik kepentingan tetapi juga menunjukkan dengan terbuka betapa tidak pekanya mereka di saat masyarakat dilanda kesulitan sekarang ini. Termasuk ketika Di Serang, Banten, ada warga negara Republik Indonesia yang akhirnya meninggal setelah sekeluarga tidak makan selama dua hari karena tidak ada uang.

Oleh : Beggy Rizkiansyah, kolumnis Kiblat.net