KPU akan gelar debat ketiga Pilpres 2019, hari minggu, 17 Maret 2019, di Hotel Sultan, Jakarta. Debat III hanya diikuti dua cawapres saja (Sandiaga Uno & Ma’ruf Amin). Tema yang diangkat nanti adalah pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial budaya. Sandiaga Uno (SU) bisa fokus elaborasi pelayanan kesehatan (BPJS), UMKM, lapangan kerja, subsitusi impor, OkeOce nasional, perbaikan akses pendidikan, gaji guru dan honerer, bebas pajak buku, potensi pariwisata budaya lokal, penghapusan outsourcing, serta pembangunan 1 juta rumah bersubsidi per tahun. Sementara itu, Mahruf Amin (MA), diprediksi akan fokus ceramah soal tiga kartu baru Jokowi (Prakerja, Sembako, Indonesia Pintar Kuliah), dan lain-lain. Sebagai ulama, MA memang terbiasa ceramah, bukan berdebat dengan durasi ketat. Ma jelas harus lebih banyak di training soal durasi, ketimbang SU.
Menghadapi Ma’ruf Amin (MA), dipastikan Sandiaga Uno (SU) akan santun dan hormat kepada yang jauh lebih tua. Itu memang karakternya. Muda, pintar, sholeh dan santun. Bagaimanapun, debat ya tetap debat. Memang tidak perlu ofensif terhadap ulama sepuh di podium, tetapi tetap argumentatif. Karena sejatinya MA itu tokoh agama yang berpengalaman. Jadi harus senantiasa waspada dengan trik kejutan yang bisa dipakai MA dalam debat III nanti. Ini salah satu keunggulan Kyai NU layaknya film silat Cina klasik: semakin tua semakin sakti. Itu sebabnya SU harus melihat kapasitas MA nanti sebagai politisi kawakan yang piawai dalam retorika, bukan melulu kyai yang pandai mengaji atau mahir ucapkan doa – tanpa revisi. Kyai MA sendiri diprediksi akan melengkapi debat III nanti dengan untaian ayat Al-Quran sebagai pelengkap argumen yang dilontarkannya. Jika sepenggal ayat juga bisa dilontarkan SU sesuai tema di panggung Debat III (opposite attraction), itu sesuatu banget.
Bagaimanapun, Sandiaga Uno (SU) berpotensi menjadi bintang di Debat III nanti vis a vis Mah’ruf Amin (MA). Kenapa?
Kesan jauh lebih penting dari pesan. Kesan pertama yang bermula dari penampilan fisik seseorang biasanya sulit tergoyahkan. Secara teoritis, image pertama seseorang umumnya didasarkan pada aspek visual. Karena pikiran manusia itu terbatas, maka persepsi khalayak cenderung disaring oleh filter fisiologis. Saat pemilu Jerman tahun 1998, Helmut Kohl yang begitu populer dalam survei dan prestisius, kalah dengan Gerhard Schroder yang jauh lebih muda dan tampan. Faktor penampilan fisik akan menyentuh indra para pemilih melalui layar kaca, media cetak, online, kontak personal, dan penampilan di depan umum. Faktor visual kandidat disebut sebagai ‘fenotipeoptis’ yang meliputi pesona fisik, kesehatan dan kebugaran tubuh, serta gaya penampilannya. Jika SU ingin lebih menarik perhatian undecided voters milenial di layar kaca, bisa berpakaian yang casual, tentu dengan penyesuaian aturan KPU. Karena MA walaupun punya segudang pengalaman sebagai seorang kyai tradisional, penampilannya tidak akan jauh dari kaum sarungan. Sebaliknya, jika MA mendadak mau merubah performance layaknya milenial, dipastikan bakal blunder disana sini.
Baca Juga:
Dituding Pernah Meminta Pepanjangan Jabatan Kepala Negara 3 Periode, Jokowi Beri Tanggapan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 Persen Tak Naik, Prabowo Sangat Peduli Aspirasi Rakyat
Penetapan Tersangka Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto Janggal, dan Politik Adu Domba Jokowi
Konsep ideal sosok cawapres di Pemilu 2019 simple: jika tidak menambah suara, jangan yang mengurangi suara (pemilih). Banyak survei membuktikan bahwa figur SU lebih disukai publik. Elektabilitas Jokowi cenderung turun saat mendeklarasikan MA sebagai pendampingnya. Sementara tingkat keterpilihan Prabowo justru naik pasca deklarasi dengan SU. Mungkin bisa dikatakan bahwa antusiasme masyarakat terhadap SU pada Pemilu 2019 mirip dengan sambutan publik terhadap Jokowi di 2014. Ada gejala antusisme masyarakat terhadap kunjungan Prabowo-Sandi di berbagai daerah. Itu sebab pada setiap titik kampanye 02 di beberapa daerah, selalu muncul aksi penyambutan negatif dari pendukung 01 – sebagai suatu aktivitas yang terpola.
Punya usia jauh lebih muda pasti lebih kuat dimensi positifnya. Tidak saja karena manifestasi penampilan dan wawasan, tetapi juga persepsi politik bahwa siklus regenerasi kepemimpinan nasional ada pada personifikasi SU, bukan di lawan debatnya. Ada contoh representasi politik leadership kaum muda pada diri SU. Every generation needs regeneration. That’s for sure.
[ Oleh : Igor Dirgantara, Penulis adalah Direktur Survei & Polling Indonesia (SPIN) ]