Opiniinsonesia.com – Berapa rupiah uang yang dituangkan dari kantong dana Negara untuk keperluan penanganan Covid-19? Dari level nasional hingga ke daerah dan bawah? Apakah uang itu selamat sampai ke tujuan? Baik dalam pengertian teknis sampainya uang atau dalam arti ketepatan konteks penggunaannya, pendataan, dan pemetaannya?

Apakah ada yang bocor atau dibocorkan sebelum sampai ke sasarannya? Apakah ada yang dimanipulasi, dibelokkan, ditelikung atau dirampas atau diutil atau dijembret atau dirampok sebelum sampai ke tujuannya?

Berlangsung atau tidak berlangsungkah manipulasi dan eksploitasi dana Covid-19 entah di wilayah atau level mana? Terjadi atau tidak terjadikah kapitalisasi pengadaan alat-alat, yang tujuannya bukan kesehatan nasional melainkan keuntungan pribadi atau kelompok? Benar atau tidak benarkah perilaku “pesta pora di atas sakit dan penderitaan rakyat” dalam urusan pandemi ini? Riil atau tidak riilkah “bancakan dana Covid-19” oleh pelaku-pelaku yang memegang ototitas dan sekitarnya? Ada atau tidak adakah korupsi atas dana dan selama berlangsungnya wabah Covid-19?

Bersih dan selamatkah kita dari klaim Allah swt “Ayuhibbu ahadukum an ya`kula lahma akhihi maitan fakarihtumuh? Apakah engkau senang dan tega salah satu atau beberapa dari kalian memakan bangkai saudaranya sendiri, padahal semestinya mereka merasa benci dan jijik untuk melakukannya?”
Andaikan ada pertanyaan-pertanyaan semacam ini, siapakah yang bertanya? Siapakah yang menanyakan? Siapa yang seharusnya, sewajibnya, seyogyanya bertanya, menanyakan dan mempertanyakan? Kemudian bagaimana pertanyaan itu dikelola sampai ke tahap penelitian, penyelidikan, dan pembuktian? Apakah di Negara Indonesia ada yang melakukannya? Negara adalah suatu sistem pengelolaan kehidupan bersama, dan selazimnya dalam lingkup pengelolaan itu terdapat subjek atau Lembaga atau upaya yang mengontrolnya? Ada dan berlangsungkah itu di Negara Indonesia selama pandemi berlangsung hingga hari ini?

Pastilah saya bukan orang yang tepat untuk bertanya, apalagi menjawab itu semua. Posisi sosial politik saya, rendahnya penguasaan pengetahuan saya, tidak adanya kompetensi dan otoritas saya — hanya memungkinkan saya bertanya untuk bertanya.
Apakah ada kabar berita yang datang dari Pusat Pemberantasan Korupsi soal itu? Atau dari Kepolisian, atau institusi apapun lainnya, termasuk dari kalangan publik sendiri? Ataukah selama Covid-19 ini Indonesia bersih dan wangi, shiddiq amanah tabligh fathanah, baldatun thayyibatun tanpa ada tindakan yang membuat Rabbun tidak Ghafur? Selama pandemi menyiksa beberapa bulan terakhir ini rakyat Indonesia tetap gemah ripah loh jinawi?

Ataukah tak seorang pun punya kepekaan atau kejelian bahwa apa-apa yang ditanyakan itu bukan sesuatu yang mustahil terjadi? Ataukah karena kita tidak mungkin punya sela psikologis untuk ingat itu semua karena sepenuhnya konsentrasi hidup kita bangsa Indonesia saat-saat ini sedang ditindih oleh ketakutan terhadap pandemi, serta dipenuhi oleh kesulitan-kesulitan hidup yang kini sangat memperkeruh hati dan pikiran kita? Ataukah mungkin pada dasarnya kita memang adalah bangsa dan masyarakat yang sangat mudah lupa, sangat gampang lalai, sangat tidak waspada untuk mudah diseret-seret oleh tema-tema yang digulirkan oleh media dan kekuasaan?

Andaikan di media, di jalanan, di RR-RK, di gardu-gardu ronda, di pasar dan tempat kerumunan lain ada kabar berita seperti itu, atau di kampus-kampus, di kantor-kantor Parpol dan Ormas — lantas bagaimana kelanjutannya? Andaikan memang ada korupsi selama Covid-19, apakah akan bergulir proses nahi munkar dan penegakan hukum? Ataukah memang di Indonesia hukum selalu berdiri tegak sehingga tidak diperlukan penegak hukum?
Semua pertanyaan yang mengawali tulisan ini, sebenarnya merupakan, ataukah ngayawara, mengarang-ngarang, mengada-adakan sesuatu yang belum tentu ada — ataukah itu adalah ungkapan dari kecerdasan bernegara?

Tulisan ini tidak menyatakan apa-apa, tidak mengandung tuduhan apa-apa, apalagi kepada suatu pihak atau pihak-pihak tertentu. Pertanyaan itu hanya pengeling, piweling, indzar, aplikasi dari firman Allah “Qum fa andzir” (bangkitlah kesadaranmu dan berilah peringatan). Karena nasibmu dan keluargamu terkandung di dalam kadar kesadaran atau ketidaksadaran tentang itu semua sampai minimal tahun 2022. Dan itu juga merupakan infrastruktur dari nasib anak-anak dan cucu-cucumu hingga 20-30 tahun mendatang.

Kalau pertanyaan-pertanyaan itu tidak ada, maka jawabannya juga untuk apa ada. Sesungguhnya ini semua hanya tadabbur dari pertanyaan Allah Swt yang diulang-ulang sampai berpuluh-puluh kali dalam satu rangkaian ungkapan firman:

“Fabi ayyi ala`I Rabbikuma Tukadzdziban”.

Dan atas rahmat Tuhan yang mana (kita cerdasi dengan kelengkapannya, dialektika atau paradoksnya) yang kamu dustakan? (Sumber : Caknun.com)

Oleh : Emha Ainun Nadjib, Tokoh intelektual Muslim Indonesia.