Gagasan Tri Nusa Bimasakti, dan Tinjauan Teknis.
Tri Nusa Bimaksakti adalah suatu gagasan besar yang dicetuskan oleh seorang guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) tentang konsep atau ide untuk menyatukan tiga pulau di Indonesia; yaitu Pulau Sumatera, Pulau Jawa dan Pulau Bali.
Konsep atau ide besar ini dicetuskan oleh Profesor. Ir. Sedyatmo, yang mana kemudian direspon oleh Presiden Soekarno kala itu, dengan menginstruksikan agar membuat uji coba desain teknis yang mana hasilnya berupa rekomendasi untuk dibuat konstruksi sebuah terowongan/tunnel untuk menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
https://opiniindonesia.com/2018/11/01/jangan-kaitkan-free-tol-dengan-politik/
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Hasil desain yang telah disempurnakan ini, lalu ditindak lanjuti oleh Presiden Soeharto pada tahun 1989. Kemudian pada tahapan selanjutnya pihak BPPT melakukan kajian teknis kembali, yang mana berdasarkan rekomendasi Profesor Wiratman Wangsadinata dan Dr. Ir. Jodi Firmansyah, merekomendasikan bahwa sebuah ‘jembatan’ lebih tepat dan feasible jika dibandingkan menggunakan terowongan untuk menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera tersebut.
Sampai pada tahapan ini masih terus terjadi silang pendapat dan pro-kontra jika seandainya pembangunan jembatan Jawa-Sumatera tersebut benar-benar dapat dikonstruksi, apakah dari sisi teknis (teknologi) semua aspek telah terpenuhi? Mengingat perairan Selat Sunda terdapat sesar (patahan aktif) yang terdapat di Jawa dan Sumatera, khususnya sesar disekitar Bukit Barisan, dan termasuk juga potensi gempa vulkanik Gunung Anak Krakatau.
Jawaban dari kekhawatiran itu semua terjawab dengan terbangunnya Jembatan Akashi-Kaikyo di Jepang, yang mana jembatan bentang panjang ini pun berada dalam wilayah rawan gempa dan lautan berpalung sangat dalam. Jembatan Akashi-Kaikyo ini didesain tahan gempa mencapai 8,5 SR.
Jembatan Jawa-Sumatera (atau JSS) ini pun sedianya didesain (perencanaan) menggunakan teknologi Delta Qualstone S.K 125, yang mana teknologi ini merupakan kreasi dan hasil rekayasa teknis putra bangsa Indonesia sendiri. Teknologi ini diprediksi mampu mendesain konstruksi tahan gempa mencapai 9 Skala Richter.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Indonesia juga telah mampu membuktikan pembangunan Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu) di Jawa Timur sepuluh tahun lalu, Jembatan Suramadu merupakan jembatan bentang panjang terpanjang di Asia Tenggara, sebelum adanya Jembatan Penang II di Malaysia. Hal ini merupakan torehan prestasi yang patut diapresiasi, sekaligus sebagai rujukan teknis dan empirik untuk pembangunan Jembatan Jawa-Sumatera (JSS) nantinya.
Urgensi Jembatan Selat Sunda Bagi Jawa dan Sumatera.
Pulau Jawa dan Sumatera merupakan dua pulau utama di Indonesia yang memberikan kontribusi terbesar dalam struktur perekonomian Indonesia.
Pada tahun 2017 perekonomian Indonesia secara spasial masih didominasi oleh Pulau Jawa dengan kontribusi terhadap perekenomian nasional mencapai 58,49 persen.
Sedangkan Pulau Sumatera kontribusinya mencapai 21,66 persen (sumber BPS RI). Dari uraian singkat diatas dapat dikatakan bahwa hampir berkisar 80 persen kontribusi perekonomian Indonesia, berasal dari Pulau Jawa dan Sumatera.
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
Pulau Sumatera memiliki luasan berkisar 473.0000 km2, dan memiliki luas daaratan tiga kali lebih luas dari Pulau Jawa. Potensi geografi dan demografi yang dimiliki oleh Sumatera khususnya, tentu merupakan keunggulan tersendiri bagi Sumatera jika dikomparasikan dengan pulau-pulau lain di Indonesia.
Hal ini yang tentunya menjadi dasar pertimbangan jika Jembatan Jawa-Sumatera, atau dengan istilah lain Jembatan Selat Sunda (JSS) dapat diwujudkan pelaksanaannya. Keberadaan jembatan ini diprediksi akan menjadi solusi percepatan dan kelancaran atas jalur distribusi barang dan jasa, jalur logistik Jawa dan Sumatera. Yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Utamanya perekonomian regional Jawa dan Sumatera.
Terhubungnya dua daratan pulau terebut juga akan memberikan dampak positif bagi Pulau Jawa, yang mana persoalan demografi (kepadatan penduduk) dan minimnya lahan pertanian dan lahan industri di Pulau Jawa akan dapat direlokasi ke Pulau Sumatera, khususnya ke wilayah provinsi Lampung atau provinsi Sumatera Selatan (tentu dengan kajian dan pertimbangan yang matang).
Dengan kata lain, keberadaan Jembatan Jawa-Sumatera (atau Jembatan Sekat Sunda) ini akan mengurangi beban Pulau Jawa dalam berbagai aspek, khususnya aspek ekonomi, sosial dan kependudukan, bahkan juga sebagai solusi politik atas wacana pemindahan pusat pemerintahan pada masa yang akan datang.
Yang mana pada satu tahun belakangan lalu, pemerintah sempat mengkaji pemindahan ibukota pemerintahan. Tentu keberadaan jembatan penghubung dua pulau ini menjadi solusi alternatif atas pertimbangan-pertimbangan dan kompleksitas masalah yang dikemukakan diatas.
Perlunya Keputusan Politik
Pemerintahan Joko Widodo, melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas dan termasuk Kementerian PUPR “telah membatalkan” program pembangunan jembatan yang menghubungkan Jawa-Sumatera (Jembatan Selat Sunda).
Yang mana berdasarkan sumber berita media massa, termasuk media online, Menteri PPN/ Kepala Bappenas saat itu, Andrinof Chaniago berpendapat bahwa keberadaan Jembatan Selat Sunda ini tidak sesuai dengan visi dan misi program pemerintahan Jokowi, yakni program membangun sektor kemaritiman dengan konsep Tol Laut.
Pernyataaan ini kemudian diperkuat oleh Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono, yang menganggap bahwa pembangunan Jembatan Selat Sunda ini akan memperlebar kesenjangan pembangunan Wilayah Timur Indonesia.
Alasan-alasan tersebut diatas, dapat dikatakan merupakan alasan pembenaran semata dan kurang berdasar. Jika kita komparasikan dengan keberadaan Jembatan Akashi-Kaikyo di Jepang, Jembatan Penang II di Malaysia, Jembatan Hong Kong-Macau di Cina, juga jembatan Suramadu di Jawa Timur, pertanyaannya adalah apakah membuat geliat sektor kemaritiman di negara-negara tersebut menjadi lumpuh dan tidak berfungsi? Seperti yang menjadi kekhawaritiran Menteri PPN/ Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago.
Apakah juga dengan keberadaan jembatan-jembatan tersebut justru menimbulkan kesenjangan antar wilayah di negara-negara tersebut, seperti yang dikhawatirkan oleh Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono?
Dalam konteks ini tentu publik sudah memiliki penilaiannya. Menyikapi keberlanjutan program Jembatan Selat Sunda, atau Jembatan Jawa-Sumatera (Jawasuma), memang diperlukan langkah progresif dan keberanian dari pemerintah untuk mewujudkannya.
Sudah barang tentu, harapan selanjutnya adalah berada pada “pemerintahan yang akan datang”, yang berkomitmen tinggi dan berpihak kepada kepentingan pembangunan nasional yang mengedepankan keadilan wilayah berdasarkan pada aspek-aspek keadilan ekonomi, sosial, perkembangan/ pembangunan wilayah, kependudukan dan keadilan politik.
[Oleh : Suhendra Ratu Prawiranegara, pemerhati infrastruktur publik]