OPINI INDONESIA – Sesuai Pasal 170 UU Minerba No.4/2009, larangan ekspor bijih mineral mestinya sudah berlaku sejak Januari 2014. Ketika saatnya tiba, muncul relaksasi melalui PP No.1/2014 dan larangan ekspor mundur ke 2017. Pada 2017, kembali terjadi relaksasi melalui PP No.1/2017, sehingga larangan baru akan efektif 2022. Maka, program hilirisasi minerba pun gagal.

Ternyata, sesuai Permen ESDM No.11/2019, larangan ekspor dipercepat khusus bijih nikel, menjadi Januari 2020. Maka muncul apresiasi, karena akan diperoleh berbagai nilai tambah. Indonesia akan untung, penerimaan negara akan meningkat. Benarkah demikian?

Merujuk presentasi Ditjen Minerba (Juni 2020) cadangan bijih nikel nasional (status terbukti dan terkira) sekitar 4.59 miliar ton, terdiri dari bijih kadar Ni>1,7% sekitat 930,10 juta ton dan bijih kadar Ni<1,7% sekitar 3,66 miliar ton. Berdasarkan U.S Geological Survey, Indonesia menjadi negara pemilik cadangan nikel terbesar di dunia (24%). Urutan berikut adalah Australia (23%), Brazil (12%), Rusia (8%), Cuba (5%), dst.

Dalam hal pendapatan, karena menjadi negara produsen terbesar dunia, dari berbagai kegiatan bisnis seputar industri nikel mulai dari penambangan, smelting, produk logam, industri turunan/hilir, dan lain-lain, maka mestinya Indonesia menjadi negara yang memperoleh pendapatan tertinggi pula di dunia. Ternyata prakteknya tidak demikian.

Dari proses penambangan saja, negara Indonesia sudah dirugikan triliunan rupiah. Belum lagi jika ditelusuri pada hal-hal lain terkait proses smelting, pricing, tarif pajak, kebijakan tenaga kerja, dll. Maka akan ditemukan kerugian negara yang semakin besar, berjumlah ratusan triliun rupiah. Karena besarnya kerugian itulah maka tulisan ini kami beri judul utama, Ironi Industri Nikel Nasional.

Ini bukan halusinasi. IRESS akan membuktikan nestapa di atas secara faktual sesuai infomasi dan data pendukung, serta kajian praktis ilmiah. Semua masalah akan dijelaskan dalam tulisan berseri, yang membahas aspek-aspek eksploitasi cadangan, harga bijih (Harga Patokan Mineral, HPM), tenaga kerja (TKA China), manipulasi sistem keuangan, dan lain-lain. Tulisan pertama ini membahas masalah terkait kebijakan eksploitasi cadangan bijih nikel.

Masalah eksploitasi cadangan nikel terkait erat antara lain dengan kebijakan hilirisasi, profil cadangan bijih, jenis dan jumlah smelter, kepentingan industri nasional (logam dan produk turunan), serta orientasi keberlanjutan dan keadilan inter generasi. Karena itu, ekspolitasi SDA nikel mestinya jauh dari pola kuras sebanyak mungkin dalam waktu singkat.