Opiniindonesia.com – Anggota DPR RI Fraksi Demokrat, Wahyu Sanjaya dalam kesempatan Rapat Kerja Komisi II DPR-RI dengan Kementerian Dalam Negeri pada hari Rabu, 24 Juni 2020 melontarkan ide terkait swastanisasi IPDN karena dianggap cukup membebani negara karena menyedot anggaran Rp.539 Milyar tahun 2020.
Dia berargumen bahwa dia belum pernah mendengarkan berita yang baik tentang IPDN dan IPDN belum terasa manfaatnya sampai dengan sekarang.
Sebuah pandangan yang kritis dan tajam terkait keberadaan institusi IPDN, namun perlu diuji dari segala sisi. Sebagai sebuah organisasi yang menampung alumni perguruan tinggi tersebut bernama Ikatan Alumni Perguruan Tinggi Kepamongprajaan kami perlu memberikan pandangan kami terkait hal tersebut.
Pertama, kami berpendapat bahwa pendapat tersebut hanya berbasis asumsi karena kurangnya pemahaman tentang sejarah pembentukan IPDN. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sejak zaman Hindia Belanda, Pemerintah membentuk OSVIA dan berubah menjadi MOSVIA, kemudian berubah menjadi Kursus Dinas C (KDC), berubah menjadi Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN), berubah menjadi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Institut Ilmu Pemerintahan, dan terakhir menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).
Baca Juga:
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Tujuannya sangat spesifik, mencetak “qualified leader and good administrative manager”, maka kader lulusan sekolah tersebut berbeda dengan lulusan sekolah umum karena tidak hanya mahir dalam administrasi tapi juga cakap dalam kepemimpinan.
Selain itu, para lulusan sekolah tersebut diharapkan jadi perekat persatuan dan kesatuan. Acuannya jelas, bahwa setiap organisasi memerlukan kader inti militan dan terorganisir yang siap digerakkan untuk mencapai tujuan organisasi, termasuk dengan pemerintahan. Itu juga yang melatarbelakangi banyak negara membangun sekolah kadet dan kader.
Kedua, asumsi anggota DPR yang menyebutkan IPDN tidak bermanfaat adalah sangat subyektif. Data menunjukkan sebaliknya, dimana kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa prestasi alumni STPDN/IPDN tersebut cukup mentereng.
Jika menilik pada sejarah, HOS Tjokroaminoto tokoh Sarekat Islam dan Soetardjo Arthohadikoesoemo tokoh Budi Oetomo adalah contoh alumni sekolah kepamongprajaan yang dulu bernama OSVIA yang sangat berkontribusi terhadap kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga:
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Kita patut berbangga karena dalam sejarah perjalanan, sekolah kepamongprajaan telah memberikan kontribusi yang besar terhadap penyelenggaraan pemerintahan Indonesia melalui lulusannya yang telah mendedikasikan diri dalam penugasan di seluruh Indonesia mulai dari pedesaan, perbatasan dan dalam jabatan mulai dari Lurah, Camat, Bupati, Walikota, Gubernur, Anggota DPRD, DPR RI, bahkan Menteri hingga Duta Besar.
Saat ini para Menteri dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Gubernur serta Bupati/Walikota telah banyak memberikan kepercayaan yang lebih kepada lulusan sekolah tinggi kepamongprajaan dalam mengemban tugas, banyak diantara alumni IKAPTK yang memiliki jenjang karir cukup cemerlang di Pemerintah Pusat maupun di Pemerintahan Daerah, dengan pengetahuan dan kemampuan yang komperhensip tentang pemerintahan.
Hal itu membuktikan bahwa banyak Kepala Daerah yang mengakui kinerja para alumni STPDN/IPDN meskipun sempat mengkritiknya pada awal awalnya. Tidak hanya berhasil dalam jabatan, setiap tahun, kita menyaksikan bahwa Lurah dan Camat terbaik adalah lulusan dari STPDN/IPDN.
Bahkan akhir akhir ini, Dua dari lima ASN terbaik kategori Future Leader 2019 adalah lulusan terbaik yaitu Didik Ismu dan Aldiwan Haira. IPDN sebagai sebuah institusi juga rajin melakukan kegiatan bersifat sosial, seperti ketika tsunami Aceh, IPDN mengirimkan prajanya selama beberapa bulan untuk membantu proses rehabilitasi.
Baca Juga:
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Prabowo Minta Para Menteri Rapatkan Barisan, Mensesneg Prasetyo Hadi: Tetap Jaga Semangat
Ketiga, jika memandang uang sebesar Rp. 539 Milyar adalah membebani anggaran negara, kita perlu merubah cara pandang kita berdasarkan prinsip prinsip manajemen saat ini. Peter Drucker (199) mengatakan bahwa sejak abad 21, asset paling berharga dari sebuah institusi baik bisnis maupun pemerintahan adalah sumber daya manusia, yaitu terkait dengan skill dan produktivitas para pekerja.
Maka jika organisasi ingin tumbuh dengan cepat, investasi yang diperlukan adalah investasi sumber daya manusia. Dalam era desentralisasi dan demokrasi saat ini, tantangan Kemendagri paling berat ada dua:
1) menjaga harmoni antar suku, agama, ras dan antar golongan agar NKRI tetap berdiri utuh;
2) menjaga agar hubungan pemerintah pusat dan daerah bisa selaras sehingga kebijakan kebijakan pembangunan dapat terdeliver dengan baik.
Kita bayangkan jika, permasalahan permasalahan konflik skala kecil di daerah tidak di kelola dengan baik oleh pemimpin lokal seperti lurah dan Camat yang cakap. Eskalasi konflik tersebut akan meluas dan membesar, berapa ongkos sosial politik yang di perlukan. Skill kepemimpinan tersebut diajarkan dan dididik tidak bisa dalam waktu singkat, maka tidak semua ASN akan mampu mempunyai skill tersebut.
Negara memerlukan aparat yang mempunyai karakter dan keterampilan seperti itu agar pondasi NKRI tetap teguh. Nah disitulah pentingnya tetap ada sekolah kader seperti STPDN/IPDN. Maka investasi tersebut akan sangat kecil dibandingkan dengan ongkos yang dikeluarkan jika terjadi masalah di kemudian hari.
Dalam era desentralisasi, negara juga membutuhkan kader pemerintahan yang bisa menjangkau seluruh level pemerintahan agar kebijakannya dapat terdeliver dengan baik. Hal tersebut akan sulit tercapai jika tidak mempunyai kader yang terdidik dan terpercaya dari pusat ke daerah, disitulah peran dan fungsi sekolah kedinasan.
Kami justru berpendapat bahwa, harus dilakukan reformasi secara menyeluruh terkait sistem Pendidikan kita. Saat ini, sistem Pendidikan kita lebih menitikberatkan pada aspek kognitif dan pengajaran dan masih sedikit menyentuh aspek yang bersifat pembentukan karakter (character building).
Akibatnya indeks produktivitas kita masih cukup rendah dibandingkan negara negara lain. Ternyata bagi banyak perusahaan maupun organisasi pemerintahan, etos kerja, kemauan kuat bekerja dan loyalitas menjadi aspek penting dan utama dalam menentukan produktivitas baru unsur unsur skill lainnya, Maka negara tidak perlu pelit untuk berinvestasi untuk memperbanyak institusi institusi Pendidikan yang bersifat khusus dengan kurikulum yang menggabungkan pengajaran dan pelatihan dengan pembentukan karakter agar pemerintahan berjalan lebih efektif.
Meskipun ada kelemahan dalam pendapat tersebut, namun ada sisi positif yang harus di jadikan evaluasi untuk IPDN. Bahwa ekspektasi dari pemerintah dan negara terhadap lulusan IPDN sangat tinggi, maka pengelolaan Pendidikan di IPDN harus dilakukan secara modern dan transparan harus menjadi komitmen bersama.
Oleh : Drs. Akmal Malik, M.Si, Ketum DPN IKAPTK