Opiniindonesia.com – Klimaks dari apa yang semula disebut kenyinyiran itu ternyata semakin nyata. Harus diingat bahwa ini bukan semata-mata perang antar buzzer. Ada perubahan pada konstelasi politik juga yang mungkin tidak lagi manjur untuk direspon dengan jalan kompromi.
Walau pun pilar kekuasaan utama TNI, Polri, BIN, Kemendagri, dan Kemenlu tetap mendukung pemerintah; yang namanya politik tetap didasarkan pada kepentingan dan pengaruh. Apalagi mengingat bahwa di Indonesia perubahan (politik) selalu diinisiasi oleh mass power atau people movement. Artinya legal power tetap berpeluang untuk ditundukkan oleh mass power tersebut.
DINAMIKA POLITIK JELANG PEMILU/PILPRES 2024
Dalam masa pandemi Covid 19, tidak hanya di Indonesia yang kekuatan oposisinya meradang. Saat pemerintah lemah sebagai dampak dari pandemi, saat itu pula oposisi berpikir untuk melakukan tekanan kepada pemerintah. Apalagi jika pemerintahan itu keropos, karena jajaran eksekutifnya melempem semua.
Selain itu, kekuatan pendorong gejolak politik ini, terlepas dari kekecewaan kepada pemerintah, adalah karena adanya Pemilu/ Pilpres 2024. Semua ingin berkompetisi mencari panggung dalam rangka perebutan kekuasaan 2024 tersebut. Sebagian berpikir syukur-syukur mereka bisa berprestasi menjatuhkan kekuasaan sebelum tahun 2024.
Baca Juga:
Dukungan Emosional dan Logistik PROPAMI Care Ringankan Beban Panti
Persrilis.com Siap Publikasikan Press Release Anda, Jika Ingin Tampil di Media Ekonomi dan Bisnis
Inilah latar belakang dari lahirnya macam-macam gerakan , baik yang berdalih menyelamatkan maupun yang berdalih membela NKRI. Tetapi kalau kita mau jujur, ini semua merupakan kulminasi dari pembiaran presiden atas kekecewaan yang muncul di tengah masyarakat, termasuk dari kalangan relawan. Pembiaran inilah clue dari seluruh persoalan politik yang rungsing saat ini.
PEMBIARAN
Mengapa pembiaran ini bisa terjadi? Pertama, presiden terlalu yakin dan terus diyakinkan bahwa partai politik adalah segalanya dalam membangun demokrasi moderen. Presiden tidak boleh mengandalkan terus kepada dukungan ekstra parlementer (non partisan).Akibatnya akses presiden dengan civil society dan people power terputus.
Kedua, bahwa pemerintah memandang melalui hukum dan kekuatan senjata pemerintah sudah cukup bisa bertahan. Pandangan ini bisa keliru kalau kita belajar dari berbagai perubahan, hukum dan senjata punya keterbatasan. Banyak people movement yang mampu menumbangkan rejim pemerintahan yang berpandangan bahwa revolusi bisa menjadi sumber hukum.
Ketiga, terlalu percaya pada adagium bahwa “siapa yang menguasai informasi” akan mengendalikan kekuasaan. Padahal selain informasi pertukaran materi dan energi adalah yang terpenting. Artinya transformasi terjadi karena adanya arus motivasional dan arus material, sedang informasi hanyalah salah satu aspek.
Baca Juga:
BUMN Care Dorong Lakukan Evaluasi Serius atas Insiden Blackout PLN di Bali, Cikarang, dan Bekasi
Keberpihakan Pemerintah terhadap Buruh Diapresiasi, 4 Sikap Presiden Prabowo Subianto Jadi Sorotan
IMF Turunkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2025 Jadi 4,7 Persen, Ini Tanggapan Istana
Keempat, pemerintah percaya bahwa kebijakan ekonomi akan dapat mengendalikan situasi dan kondisi masyarakat. Dan bahwa ketenangan bisa diciptakan dengan mengecer-ecer bantuan dan stimulan. Pemerintah lupa bahwa kebijakan ekonomi pemerintah hanya mengendalikan 45% dari perputaran ekonomi nasional.
Kelima, pemerintah terperangkap dengan penciteraannya sendiri yang menggambarkan bahwa kekuasaannya begitu kuat dan prima. Padahal secara substansial kekuasaannya memiliki kelemahan. Karena apa yang dilakukan pemerintah sadar atau tidak sadar hanyalah seremoni belaka.
Keenam, dalam iklim demokratis sulit menghadang hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat. Sebaliknya counter dari pemerintah yang elegan dan persuasif sama sekali tidak efektif. Pemeliharaan entitas pendukung non partai dari civil society (relawan) terlanjur tercerai berai.
Ketujuh, kalau mau jujur TNI dan Polri kurang menguasai dan kekurangan alasan legal untuk merespon gerakan-gerakan oposisi tahap awal yang berujung makar. TNI dan Polri seakan dipancing untuk bermain keras, karena mereka memang berharap ada kekerasan dan martir untuk menimbulkan efek hiperbolik dari gerakan mereka. Keterlibatan para purnawirawan TNI, intelektual, tokoh-tokoh populer bisa memperkokoh pencitraan bahwa gerakan ini mencerminkan perlawanan genuine dan bukan gerakan makar.
Baca Juga:
Dugaan Ijazah Palsu Jokowi, Polisi Periksa Ketua Umum PPN Andi Kurniawan Usai Laporkan Roy Suryo dkk
Beginilah 5 Jalan yang Dilakukan Press Release untuk Lakukan Perbaikan Citra dan Pulihkan Nama Baik
Kedelapan, pembantu presiden kurang memahami transformasi dari gerakan moral menjadi gerakan politik pada era informasi. Selanjutnya perubahan dari aksi informatif menjadi aksi agresif yang terpolitisasi dan terorganisir. Apalagi pada era informasi dan posisi dukungan yang terus tergerus akibat permainan isu, loyalis yang militan semakin langka.
Kesembilan, presiden terlalu overestimasi terhadap partai politik (parpol) seolah bisa menjadi garda terdepan dalam menghadapi gerakan oposisi. Di lain pihak presiden tidak memahami konsep demokrasi kontemporer bahwa parpol memiliki porsi kecil dalam mempengaruhi kebijakan nyata. Sementara parpol tentu lebih mengutamakan strategi menghadapi Pemilu/Pilpres 2024, daripada menjadi pendukung konyol rezim yang akan berakhir.
Kesepuluh, konsep jejaring dalam sistem sosial dan politik belum dipahami dengan baik. Bahwa aktor dan jejaring aktor sangat menentukan arah dan gerakan sosial masyarakat. Kejatuhan Suharto adalah konsekuensi dari kebodohan dalam memahami peragian gerakan oposisi menjadi aksi nyata penumbangan rejim sebagai hasil dari proses pembangunan jejaring.
KEJATUHAN BUNG KARNO
Melihat beberapa alasan pembiaran tersebut, saatnyalah presiden tampil elegan dan aktif menjelaskan semua alasan dari kebijakannya. Kejujuran adalah kunci agar penjelasan memiliki explanatory power sehingga kepercayaan pada pemerintah pulih kembali. Jangan biarkan pihak lain mendapatkan dukungan dan kekuatan hanya karena berhasil “membongkar apa yang disembunyikan”.
Kejatuhan Sukarno adalah keterlambatan memberi penjelasan yang jujur dan substansial tentang latarbelakang kebijakan politiknya. Bung Karno terlalu tricky dalam mengelabuhi massa dengan retorika dan bukan memberi penjelasan yang intelektual dan masuk akal. Rakyat dibuat mabuk oleh kesadaran palsu (false consciusness) dan bukan kesadaran sejati untuk membangun kepercayaan politik.
Bung Karno lengah bahwa kapitalisme Barat telah membangun jaringan penetratif dengan para komprador baik sipil maupun militer. Ketika jejaring sudah solid terbentuk, gerakan di tingkat elit hanyalah trigger factor ibarat menumbangkan pohon yang penampangnya sudah digergaji 90 persen. KAMI sudah didirikan di mana-mana, pendukung pemerintah dan birokrasi sibuk oleh penanganan pandemi Covid 19, dan relawan pun sudah mengalami demoralisasi serius.
Apa yang harus kita lakukan?
Oleh : S Indro Tjahyono, pengamat sosial.