Reuni 212, Apakah Masih Perlu?

- Pewarta

Senin, 2 Desember 2019 - 10:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Inilah peranan penting gerakan 212. Kekuatan ini tak bisa dianggap enteng karena didukung oleh semua lapisan masyarakat. Ada jutaan “ordinary people” (orang biasa).

Inilah peranan penting gerakan 212. Kekuatan ini tak bisa dianggap enteng karena didukung oleh semua lapisan masyarakat. Ada jutaan “ordinary people” (orang biasa).

Opiniindonesia.com – Senin 2 Desember 2019, Reuni Akbar Alumni 212 akan kembali digelar di Lapangan Monas, Jakarta.

Acara digelar bersamaan dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dan diberi tajuk Maulid Agung.

Banyak yang mempertanyakan urgensinya, perlunya reuni itu digelar setiap tahun. Apalagi di tengah upaya “rekonsiliasi,” menyatukan kembali anak bangsa yang terbelah sangat dalam, pasca Pilpres 2019.

Bagi yang tidak sepakat dengan reuni, kegiatan itu hanya akan mengganggu proses “rekonsiliasi” yang tengah diupayakan pemerintah.

Mendagri Tito Karnavian secara terbuka menyatakan alumni 212 menjadi penghambat terwujudnya stabilitas nasional.

Kendati disampaikan secara berseloroh, apa yang diucapkan Tito haruslah dilihat sebagai sikap resmi pemerintah. Bercanda, tapi serius.

Pemerintah masih tetap menganggap alumni 212 sebagai ganjalan terbesar. Kelompok yang belum/tidak bisa ditaklukkan. Semacam duri dalam daging.

Sebagai mantan Kapolri, Tito sangat paham betul dengan siapa dia berurusan.

Gerakan ini tidak mudah dipatahkan dan ditundukkan. Tidak bisa ditakut-takuti, juga tidak bisa dikooptasi. Mereka berbeda dengan kubu Prabowo.

Lepas dari ketidak-sukaan pemerintah, menarik untuk mempertanyakan apakah urgensi dari reuni tersebut?

Bagi pegiat demokrasi yang jujur, seharusnya keberadaan alumni 212 patut disyukuri. Bukan malah dimusuhi hanya karena adanya perbedaan latar belakang dan keyakinan beragama.

Rilisbisnis.com mendukung program publikasi press release di media khusus ekonomi & bisnis untuk memulihankan citra yang kurang baik ataupun untuk meningkatan reputasi para pebisnis/entrepreneur, korporasi, institusi ataupun merek/brand produk.

Mereka adalah simbol tetap hidupnya kelompok masyarakat madani ( civil society ). Kelompok yang melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah.

Kelompok yang berani menyatakan TIDAK, ketika semua instrumen demokrasi nyaris mati suri dan membebek apapun keinginan pemerintah.

Tanda-tanda negara ini dibawa menjauh dari demokrasi tampak sangat nyata. Tanda-tanda bahwa negara ini ingin kembali dibawa ke praktik kekuasaan otoriter sudah di depan mata.

Ada upaya secara sistematis mengembalikan pemilihan presiden ke MPR. Ada upaya nyata menjadikan Jokowi sebagai presiden “seumur hidup.”

Upaya itu dibungkus dengan wacana memperpanjang masa jabatan dari 5 tahun menjadi 8 tahun. Mengubah pembatasan masa jabatan dua periode menjadi tiga periode.

Bila upaya tersebut sukses, tidak tertutup kemungkinan tidak ada lagi pembatasan masa jabatan presiden seperti pada masa Orde Baru, dengan dalih kembali ke UUD 45.

Pemerintah melangkah terlampau jauh memasuki aktivitas privat masyarakat. Yang lebih memprihatinkan pemerintah terkesan terjangkit dan mengembangkan wacana Islamophobia.

Wacana perang terhadap radikalisme dikembangkan sedemikian rupa dan sasaran utamanya adalah umat Islam.

Kegiatan majelis taklim harus terdaftar. Polisi disebar untuk mengawasi masjid-masjid yang diduga sebagai tempat penyebar kebencian.

Pemerintah juga menerbitkan SKB 11 Menteri untuk mencegah paham radikalisme di kalangan aparatur sipil negara (ASN).

Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan masa depan demokrasi Indonesia, ketika tidak ada lagi elemen kritis yang terorganisasi.

Dalam konteks inilah reuni alumni 212 menemukan urgensinya. Harus terus ada kelompok yang menyuarakan sikap kritis terhadap pemerintah.

Mereka harus terus dirawat. Dijaga soliditasnya.

Jangan pandang mereka sebagai kelompok berbahaya yang harus terus dimusuhi.

Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.

Jadikan mereka partner di luar pemerintahan untuk menjaga demokrasi kita tumbuh sehat dan kuat.

Demokrasi dapat tegak berdiri tanpa oposisi, adalah ilusi. end.

Oleh : Hersubeno Arief. adalah Penulis wartawan senior Indonesia.

Opini ini sudah dipublikasikan Hersubenoarief.com.

Peluang bagi aktivis pers pelajar, pers mahasiswa, dan muda/mudi untuk dilatih menulis berita secara online, dan praktek liputan langsung menjadi jurnalis muda di media ini. Kirim CV dan karya tulis, ke WA Center: 087815557788.

Berita Terkait

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP
Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK
Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi
Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara
Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga
Idulfitri: Mengapa Penting untuk Kembali ke Fitrah yang Sejati
Ketimpangan Ekonomi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia: Masalah yang Terus Membayangi Perkembangan Demokrasi
Mengapa Peran Masyarakat Sipil Penting dalam Membentuk Kebijakan Publik di Indonesia

Berita Terkait

Selasa, 16 April 2024 - 11:04 WIB

Hangatnya Pertemuan Idul Fitri: Diskusi Perkembangan Pasar Modal di BNSP

Minggu, 15 Oktober 2023 - 10:43 WIB

Pemutusan Batas Usia Calon Presiden: Analisis Dr. Fahri Bachmid Menjelang Putusan MK

Rabu, 24 Mei 2023 - 09:10 WIB

Dewan Sengketa Konstruksi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Konstruksi

Rabu, 12 April 2023 - 20:52 WIB

Martabat MPR Pasca Amandemen UUD 1945, Yusril: Kita Kehilangan Ide Dasar Bernegara

Selasa, 11 April 2023 - 22:00 WIB

Solusi agar Independensi KPK Bisa Diimplementasikan dengan Baik Tanpa Bubarkan Lembaga

Berita Terbaru